Sabtu, 21 April 2012

Perdagangan Bebas Dalam Pandangan Ekonomi Islam

Oleh:
Imha Addin S.

      Perdagangan bebas yang di Indonesia CAFTA(China ASEAN Free Trade Area),merupakan perjanjian perdagangan antara China dengan Negara-negara di wilayah ASEAN Perdagangan bebas telah berlangsung dari 1 januari 2010 yang lalu.Banyak pro dan kontra yang menyertai perjanjian CAFTA.Salah satu masalah adalah kesiapan Indonesia dalam  menghadapi ‘gempuran’ barang-barang impor dari Negara lain,terutama China yang telah kita ketahui produk-produknya telah membanjiri pasar Indonesia mulai dari mainan anak-anak sampai dengan kebutuhan hidup masyarakat.


      Perdagangan bebas merupakan turunan dari sistem ekonomi kapitalisme yang salah satu doktrinnya adalah kebebasan dalam memiliki dan melakukan transaksi ekonomi. Perdagangan bebas dipandang sebagai metode untuk mendistribusikan barang dan jasa secara efisien. Dengan kebijakan tersebut berbagai hambatan tarif dieliminasi(di hapuskan). Harga barang pun semakin murah dan mudah didistribusi-kan ke negara lain. Kompetisi tak terelakkan. Barang yang diproduksi dan dipasarkan secara efisien akan eksis sementara yang tidak efisien akan tersingkir secara alamiah.Namun kenyataannya tidak sesederhana itu. Negara-negara miskin dan berkembang justru makin merana dengan model perdagangan tersebut. Serbuan produk-produk impor dari negara maju yang tidak jarang biaya produksi dan pemasarannya disubdisi besar-besaran oleh negara justru menggilas perekonomian mereka. Mereka pun akhirnya hanya menjadi negara konsumtif.

       Lalu bagaimanakah pandangan ekonomi Islam mengenai perdagangan bebas ini,Islam merupakan satu-satunya agama yang mengemukakan prinsip-prinsip yang meliputi semua segi kehidupan manusia, Perdagangan lintas Negara memang sudah di contohkan oleh rasullullah sejak belia seperti saat di ajak pamannya Abi Thalib berdagang ke Syam,dan lain sebagainya.Tidak hanya membicarakan tentang nilai-nilai ekonomi. Islam juga telah menanamkan kerangka kerja yang luas berdasarkan kesempatan berekonomi yang sama dan adil bagi penganutnya untuk mengarahkan mereka ke arah kehidupan ekonomi yang seimbang.

Sebagai sebuah agama dan ideologi, Islam memiki sejumlah regulasi mengenai perdagangan luar negeri yang sangat kontras dengan perdagangan bebas.                                                

      Pertama, aktivitas perdagangan merupakan hal yang mubah. Hanya saja, karena perdagangan luar negeri melibatkan negara dan juga warga negara asing, maka negara Islam, dalam hal ini khalifah, bertanggung jawab untuk mengontrol, mengendalikan dan mengaturnya sesuai dengan ketentuan syariah. Membiarkannya bebas tanpa adanya kontrol dan inter-vensi negara sama dengan membatasi kewenangan negara untuk mengatur rakyatnya. Padahal Rasulullah SAW  : "Imam itu adalah pemimpin dan ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya."
     
          Kedua, seluruh barang yang halal pada dasarnya dapat diperniagakan ke negara lain. Meski demikian ekspor komoditas tertentu dapat dilarang oleh khalifah jika menurut ijtihadnya bisa memberikan dharar bagi negara Islam. Misalnya ekspor senjata atau bahan-bahan yang bisa memperkuat persenjataan negara luar, seperti uranium, dll. Sebab, komoditas semacam ini bisa memperkuat negara luar untuk melakukan perlawanan kepada negara Islam. Khalifah juga boleh melarang ekspor komiditas tertentu yang jumlahnya terbatas dan sangat dibutuhkan di dalam negeri, sehingga kebutuhan dalam negeri bisa terpenuhi. Dalam kaedah ushul dinyatakan: "Setiap bagian dari perkara yang mubah jika ia membahayakan atau mengantarkan pada baha-ya, maka bagian tersebut menjadi haram sementara bagian lain dari perkara tersebut tetap halal."

      Ketiga, hukum perdagangan luar negeri dalam Islam disandarkan pada kewarganegaraan pedagang (pemilik barang), bukan pada asal barang. Jika pemilik barang adalah warga negara Islam, baik Muslim maupun kafir dzimmi, maka barang yang dia import tidak boleh dikenakan cukai.  Rasulullah SAW bersabda, "Tidak akan masuk surga orang yang memungut cukai". Namun jika barang yang masuk ke wilayah negara Islam adalah milik warga negara asing, maka barang tersebut dikenakan cukai sebesar nilai yang dikenakan negara asing tersebut ter-hadap warga negara Islam; atau sesuai kesepakatan perjanjian antara negara Islam dengan negara asing tersebut.

      Namun demikian demi kemaslahatan Islam, umat dan dakwah Islam, khalifah diberikan kewenangan untuk mengatur besar tarif tersebut. Ketika misalnya pasokan komoditas yang dibutuhkan oleh penduduk negara Islam langka sehingga menyebabkan inflasi, maka tarifnya dapat diturunkan. Dari Abdullah bin Umar ia berkata: "Umar mengenakan setengah 'usyur (5 persen) untuk minyak zaitun dan gandum agar barang tersebut lebih banyak dibawa ke Madinah. Sementara untuk quthniyyah (biji-bijian seperti kacang) beliau mengambil sepersepuluh (10 persen) (HR. Abu Ubaid)."

     Keempat, pedagang dari negara kafir mu'ahid (negara kafir yang memiliki perjanjian damai dengan negara Islam), ketika memasuki wilayah negara Islam akan diperlakukan sesuai isi perjanjian yang disepakati antara kedua belah pihak. Akan tetapi pedagang dari negara kafir harbi (negara kafir yang memerangi negara Islam, seperti AS, Inggris, India, Cina, Israel, dll), ketika memasuki wilayah negara Islam harus memiliki izin (paspor) khusus.

    Kelima, membolehkan perdagangan bebas dengan alasan sejalan dengan Islam, karena adanya larangan Islam terhadap penarikan cukai (al-maks) atas barang import milik warga negara Islam, tidak dapat dibenarkan. Hal ini karena perdagangan bebas asasnya adalah kapitalisme. Sementara Islam mengharamkan berbagai hadharah yang tidak bersumber dari aqidah Islam meski bisa jadi ada kemiripan.

         Keenam, pada  kenyataannya perdagangan bebas telah menjadi salah satu strategi negara-negara kapitalis untuk mendominasi negara lain. Sementara di dalam Islam haram hukumnya membiarkan negara-negara kafir menguasai kaum muslim. Allah SWT berfirman: "Dan Allah tidak membolehkan orang-orang kafir menguasai kaum muslim." (QS: an-Nisa [3]: 141).

      Menurut pandangan Ekonomi Islam Perdagangan bebas pada dasarnya boleh dilakukan,karena kita sadari juga bahwa kegiatan perdagangan antar Negara telah menjadi suatu hal yang sangat perlu dilakukan,mengingat antarnegara satu dengan yang lainnya saling membutuhkan sehingga dibutuhkan suatu hal untuk memperlancar perdagangan internasional. Salah satunya dengan di terapkannya perdagangan bebas, asalkan dalam perdagangan bebas tersebut tidak bertentangan dengan azaz-azaz di atas dan menerapkan strategi yang tepat dan melakukan proteksi terhadap perekonomian dalam negeri supaya tidak menjadi bumerang yang malah merugikan  bangsa kita ,juga perdagangan bebas harus tetap mendapat kontrol dari pemerintah,karena walau bagaimanapun juga harus tetap ada pengawas (mashalih) yang bertugas memantau lalu lintas orang yang masuk dan keluar dari perekonomian negara.

0 Pendapat: