KEI FEB UNS

Kajian Ekonomi Islam Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNS

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Islam Pasti Menang!

Dialah yang mengutus rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama meskipun orang musyrik membenci." {QS. Ash Shaff (61): 9}

Tampilkan postingan dengan label Fiqh. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fiqh. Tampilkan semua postingan

Rabu, 14 Agustus 2013

Judi, Apa Itu??

Maisir atau judi, dalam bahasa Arab, sebagaimana dalam Mu’jam Wasith: 2/1064, adalah segala bentuk taruhan. Istilah “maisir” digunakan untuk taruhan orang Arab dengan menggunakan anak panah, atau bermain dengan anak panah dalam segala hal.



Istilah maisir juga digunakan untuk segala jenis taruhan, sampai-sampai mainan anak kecil dengan buah pala (kalau di tempat kita, kelereng atau sejenisnya, pent.). Demikian pula, maisir digunakan untuk daging unta yang dipertaruhkan oleh orang Arab.

Rabu, 26 Juni 2013

Harta Haram

Harta haram sudah seharusnya dijauhi. Artinya, kita tidak boleh mencari pekerjaan dari usaha yang haram. Jika terlanjur memilikinya, harus dicuci atau dibersihkan dari harta yang halal. Adapun pembagian harta haram secara mudahnya dibagi menjadi harta haram karena zat -seperti daging babi- dan karena pekerjaan -seperti harta riba dari bunga bank-.

Jangan makan harta haram, yaa...


Pembagian Harta Haram

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan, harta haram ada dua macam: pertama, haram karena sifat atau zatnya, kedua haram karena pekerjaan atau usahanya atau cara mendapatkannya.

Minggu, 09 Januari 2011

Membangun Karakter Bank Syariah


AM Hasan Ali
DPS PT Promitra Finance & Komite NR BRIS

Seiring dengan perjalanan waktu, perkembangan industri perbankan syariah di Indonesia senantiasa terus tumbuh dan berkembang. Berdasarkan data statistik yang dilansir oleh Bank Indonesia per September 2010, saat ini tercatat 179 pelaku di industri perbankan syariah dengan perincian 10 Bank Umum Syariah (BUS), 23 Unit Usaha Syariah (UUS), dan 146 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Kini, jaringan kantor yang dimiliki oleh bank syariah sudah mencapai angka 1.666 dengan total pekerja sebanyak 3.068 orang.

Realita di atas dapat dimanfaatkan menjadi modal amunisi untuk memperbesar market share pengembangan industri perbankan syariah di Indonesia yang saat ini masih jauh dari seimbang jika dibanding dengan perolehan market share industri perbankan konvensional. Pengembangan industri perbankan syariah di Indonesia sejatinya sudah memperoleh legalitas yang kuat setelah disahkannya UU No 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Jika undang-undang tersebut ditelaah secara mendalam, akan diperoleh gambaran global mengenai langkah strategis yang diambil pemerintah untuk melakukan percepatan pengembangan industri perbankan syariah di Indonesia. 

Langkah strategis tersebut di antaranya termaktub dalam Pasal 5 ayat (7) dan (8) serta Pasal 68 ayat (1). Dalam Pasal 5 ayat (7) dan (8), dijelaskan bahwa Bank Umum Syariah (BUS) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) tidak dapat dikonversi menjadi Bank Umum Konvensional (BUK) atau Bank Perkreditan Rakyat. Maksud dari pasal ini, bank yang sudah beroperasi dengan prinsip syariah tidak dapat mengubah dirinya menjadi bank yang beroperasi dengan sistem bunga. Ini seperti halnya orang murtad yang keluar dari agama Islam.

Sedangkan Pasal 68 ayat (1) penjelasannya bersifat mandatory bagi bank konvensional yang membuka Unit Usaha Syariah (UUS) jika asetnya sudah melebihi dari aset bank induknya yang konvensional, UUS tersebut harus memisahkan diri dengan induknya (spin off) menjadi Bank Umum Syariah (BUS). Selain itu, masih mengacu pada Pasal 68 ayat (1), setelah 15 tahun disahkannya Undang-Undang Perbankan Syariah, UUS harus mengonversi menjadi BUS.

Karakter Bank Syariah

Eksistensi bank syariah saat ini merupakan hasil ijtihad para ulama kontemporer yang konsen dalam pengembangan ilmu ekonomi Islam. Mengapa merupakan bagian dari hasil jerih payah ulama kontemporer? Karena kemunculan lembaga keuangan syariah (LKS) yang dimotori oleh industri perbankan syariah baru ada pada saat era modern. Tercatat beberapa pemikir ekonomi Islam kontemporer yang mempunyai konstribusi dalam pengembangan konsep perbankan syariah, di antaranya adalah M. Nejatullah Siddiqi, M. A. Manan, Afzalur Rahman, Manzer Kahf, dan M. Umer Chapra.

Bagi KH Ma'ruf Amin, keberadaan bank syariah tidak lain dalam rangka mengembalikan (ruju' wal 'audah) tatanan perekonomian dari fikrah al-iqtishadiyah ar-ribawiyah ke fikrah al-iqtishadiyyah al-islamiah (pemikiran ekonomi Islam). Karena, menurut Imam al-Jashshas, sistem iqtishadiah ar-ribawiyah telah dibatalkan dan diharamkan oleh Allah SWT semenjak datangnya Islam. Karakter bank syariah tecerminkan melalui penjelasan yang ada dalam Undang-Undang Perbankan Syariah, khususnya pasal-pasal yang terkait dengan jenis dan kegiatan usaha yang dijalankan oleh industri perbankan syariah. Dalam Undang-Undang Perbankan Syariah, jelas sekali adanya keinginan menjadikan bank syariah sebagai bank komersial dan bank universal dengan cakupan kewenangan usahanya melebihi kewenangan usaha yang dimiliki oleh bank konvensional.

Bank syariah selain mengemban amanat sebagai bank komersial yang berorientasi bisnis untuk memperoleh keuntungan (profit), bank syariah juga diberi kewenangan menjalankan fungsi sosial dengan menghimpun dana-dana sosial yang bersumber dari dana zakat, infak, sedekah, dan wakaf uang yang selanjutnya disalurkan kepada Badan Amil Zakat (BAZ), Lembaga Amil Zakat (LAZ), dan Badan Wakaf Indonesia (BWI).

Sisi universalitas yang bisa dijalankan oleh bank syariah mencakup usaha transaksi jual-beli (murabahah, salam, dan istishna), sewa-menyewa (ijarah dan ijarah muntahiya bit tamlik), dan investasi (mudharabah dan musyarakah). Di sini, letak yang membedakan antara kewenangan yang dimiliki oleh bank syariah dan kewenangan yang dimiliki bank konvensional. Secara yuridis, bank konvensional hanya diberi mandat untuk menyalurkan kredit ke nasabahnya. Hubungan yang terjalin antara bank konvensional dan nasabahnya sebatas antara kreditor dan debitur. Berbeda dengan bank syariah, relasi yang terjalin antara bank syariah dan nasabahnya dapat berupa hubungan antara shahibul mal dan mudharib, penjual dan pembeli, penyewa dan yang menyewakan, ataupun hubungan antara penitip dan pihak yang menerima titipan.
Sumber: Milis FoSSEI

Kamis, 09 Desember 2010

Menimbang Relasi Zakat dan Pajak


Menimbang Relasi Zakat dan Pajak

Yusuf Wibisono, Wakil Kepala PEBS (Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah) FEUI
Dalam proses amendemen Undang-Undang No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat, yang kini draf rancangannya sedang dalam pembahasan akhir di DPR dan ditargetkan selesai pada 2010, salah satu isu krusial yang mengemuka adalah wacana zakat sebagai pengurang pajak (tax credit). Wacana ini mengundang perdebatan hangat, manfaat dan biaya dari wacana ini banyak diulas, namun belum terlihat pilihan kebijakan yang dapat mengakomodasi berbagai kepentingan yang ada.
Relasi zakat dan pajak pertama kali diperkenalkan dalam UU No. 38/1999 sebagai insentif fiskal bagi pembayar zakat dengan menjadikan zakat sebagai pengurang pendapatan kena pajak (tax deduction). Semangat ketentuan ini adalah agar wajib pajak tidak terkena beban ganda, yaitu kewajiban membayar zakat dan pajak. Kesadaran membayar zakat diharapkan juga dapat memacu kesadaran membayar pajak.
Namun terlihat jelas bahwa masuknya insentif pajak dalam UU Zakat ini tidak melibatkan otoritas pajak. Ketika Departemen Keuangan setahun kemudian mengajukan draf revisi RUU PPh, sama sekali tidak ada ketentuan yang mendukung zakat sebagai tax deduction. Ketentuan zakat sebagai tax deduction baru diakomodasi dalam RUU PPh setelah pembahasan di DPR.
Undang-Undang No. 17/2000 mengukuhkan UU No. 38/1999, yaitu zakat yang diterima Badan Amil Zakat (BAZ)/Lembaga Amil Zakat (LAZ) dan mustahik tidak termasuk sebagai obyek pajak, serta zakat penghasilan yang dibayarkan wajib pajak (WP) orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau WP badan dalam negeri yang dimiliki pemeluk agama Islam ke BAZ/LAZ menjadi faktor pengurang dalam menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak.
Namun zakat sebagai tax deduction ini baru dapat diimplementasikan tiga tahun kemudian setelah keluarnya Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-163/PJ/2003. Dalam prakteknya, meminta zakat sebagai tax deduction ini juga tidak mudah jika muzakki gagal mendapatkan Bukti Setor Zakat dari BAZNAS sebagaimana diminta aparat pajak.
Eksperimen menarik terjadi di Aceh. Melalui UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, zakat menjadi salah satu sumber pendapatan asli daerah (PAD) pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dan dikelola secara terpisah oleh Baitul Mal Aceh dan baitul mal kabupaten/kota, serta zakat yang dibayar menjadi faktor pengurang terhadap jumlah pajak penghasilan terutang dari wajib pajak. Dengan kata lain, zakat telah menjadi tax credit di Aceh. Namun hingga kini ketentuan ini tampak belum diakomodasi Dirjen Pajak sehingga tidak dapat diimplementasikan.
Pengalaman terkini
Lemahnya koordinasi antara otoritas zakat dan otoritas pajak kembali terulang ketika Departemen Keuangan dan DPR mengukuhkan ketentuan lama perihal zakat sebagai tax deduction pada UU No. 17/2000 ke dalam UU No. 36/2008 tentang PPh. Departemen Agama, yang sejak 2008 telah memiliki wacana zakat sebagai tax credit dalam draf amendemen UU No. 38/1999, terlihat sama sekali tidak dilibatkan. Yang terjadi adalah, Departemen Agama kembali dengan memasukkan ketentuan zakat sebagai tax credit dalam RUU Zakat yang menjadi RUU Prioritas 2009, namun gagal diselesaikan oleh DPR periode 2004-2009 dan kini kembali dibahas DPR periode 2009-2014.
Seolah menafikan wacana zakat sebagai tax credit yang kini sedang menghangat perdebatannya dalam pembahasan RUU Zakat di DPR, pemerintah mengeluarkan PP No. 60/2010 sebagai amanat UU No. 36/2008, yang menegaskan bahwa zakat hanya sebagai tax deduction, dan fasilitas ini hanya berlaku bagi zakat yang disalurkan melalui BAZ/LAZ resmi yang disahkan pemerintah.
Semua pengalaman ini secara jelas memperlihatkan lemahnya koordinasi antara otoritas pajak dan otoritas zakat, dari tingkat tertinggi hingga tingkat terendah. Harmonisasi regulasi zakat dan pajak juga tidak berjalan dengan baik. Relasi pajak-zakat dibangun di rezim undang-undang nonperpajakan dan tanpa melibatkan otoritas pajak. Hal ini diganjar dengan lemahnya penegakan relasi zakat dan pajak di lapangan. Kegagalan eksperimen zakat sebagai tax credit di Aceh dan keluarnya PP No. 60 Tahun 2010 di tengah proses pembahasan RUU Zakat secara jelas memperlihatkan resistensi otoritas pajak terhadap wacana zakat sebagai tax credit. Untuk mencegah terulangnya upaya fait accompliâ, pemerintah juga kini menyertakan otoritas pajak sebagai mitra DPR dalam pembahasan RUU Zakat.
Kelemahan kerangka regulasi dan institusional zakat nasional semakin memperburuk relasi zakat-pajak ini. Hingga kini terdapat ketidakjelasan otoritas zakat. Dunia zakat nasional juga tidak memiliki tata kelola yang baik. Posisi tawar dunia zakat pun menjadi lemah di depan otoritas pajak. Dari pengamatan cepat, pelaksanaan zakat sebagai tax deduction sendiri terlihat banyak kelemahan, seperti zakat sebagai tax deduction hanya berlaku pada zakat atas penghasilan, BAZ/LAZ yang diakui oleh aparat pajak di tingkat teknis-operasional umumnya hanya BAZNAS, serta dugaan bahwa WP cenderung tidak meng-exercise fasilitas ini karena tidak seimbang antara benefit dan cost.
Arah ke depan
Zakat sebagai tax credit diperkirakan akan menjadi insentif yang memadai bagi muzakki untuk menunaikan kewajibannya. Fasilitas ini juga dianggap akan memberi dampak positif terhadap kepatuhan membayar pajak. Namun proposal ini tidak dipersiapkan dengan baik. Dalam semua draf RUU Zakat yang ada, tidak ada satu pun pasal yang berbicara tentang otoritas pajak dalam kaitan zakat sebagai pengurang pajak. Padahal wacana zakat sebagai tax credit mensyaratkan adanya koordinasi yang kuat antara otoritas pajak dan otoritas zakat, dari tingkat tertinggi hingga terbawah.
Zakat sebagai tax credit juga diperkirakan akan berdampak signifikan pada penerimaan perpajakan. Diterimanya wacana zakat sebagai tax credit, dan di saat yang sama juga dilakukan equal treatment terhadap sumbangan keagamaan wajib lainnya, akan menurunkan penerimaan perpajakan dalam negeri, yaitu penerimaan PPh nonmigas, sebesar penerimaan zakat nasional dan penerimaan sumbangan keagamaan wajib nasional lainnya.
Selain itu, implementasi zakat sebagai tax credit akan menimbulkan restitusi pajak yang proses administrasinya rumit dan potensial untuk disalahgunakan. Dengan kelemahan tata kelola dunia zakat nasional saat ini, zakat sebagai tax credit akan menjadi eksperimen yang terlalu berisiko bagi dunia zakat nasional yang kini sedang berkembang pesat.
Ke depan, wacana yang harus lebih dikedepankan adalah menata ulang hubungan koordinasi otoritas pajak-zakat nasional dengan tujuan jangka pendek untuk memperbaiki secara mendasar pelaksanaan zakat sebagai tax deduction. Di saat yang sama, dunia zakat nasional sebaiknya berkonsentrasi pada perbaikan tata kelola yang baik (good governance) di internal dunia zakat nasional dengan membentuk otoritas zakat yang kuat dan kredibel. Upaya penting lain di sini adalah konsolidasi BAZ/LAZ yang saat ini jumlahnya terlalu banyak, dalam rangka mendorong transparansi dan kredibilitas dunia zakat nasional.
Wacana yang juga perlu dikedepankan adalah bahwa insentif untuk meningkatkan kinerja zakat nasional tidak harus selalu berupa insentif kepada muzakki, terlebih ketika insentif berupa zakat sebagai tax credit memiliki potensi negatif terhadap stabilitas keuangan negara dan distribusi pendapatan.
Wacana alternatif yang lebih menarik dan progresif untuk meningkatkan kinerja dunia zakat nasional adalah integrasi zakat dalam pembangunan dengan mendorong kemitraan strategis pemerintah dan BAZ/LAZ untuk akselerasi pengentasan masyarakat miskin. UU Zakat harus mengamanatkan bahwa pemerintah akan secara aktif mengikutsertakan BAZ/LAZ dalam program penanggulangan kemiskinan.
Kemitraan pemerintah-BAZ/LAZ dalam program penanggulangan kemiskinan dapat berupa pemberian hibah (block-grant) ataupun kontrak penyediaan jasa sosial (specific-grant), dengan pemerintah menerapkan kriteria dan persyaratan (eligibility criteria) bagi BAZ/LAZ penerima dana program penanggulangan kemiskinan, seperti transparansi finansial, efektivitas pendayagunaan dana, dan kesesuaian dengan prioritas nasional/daerah. *
Sumber: Milis FoSSEI (Koran Tempo, 3 Desember 2010)

Rabu, 27 Oktober 2010

Dinamika Psikologis Perbankan Syariah


Oleh: Ahmad Ifham Sholihin, Pemerhati Ekonomi dan Sosial
Konsep Bank Syariah adalah menjalankan sistem perbankan sesuai dengan ketentuan syariah (hukum Islam). Cita-cita luhur yang diusung oleh bank syariah adalah mewujudkan kemaslahatan nasabah, menjadikan sistem perbankan yang adil, menenteramkan dan menguntungkan.
Sama halnya dengan bank konvensional, bank syariah juga memiliki produk pendanaan, pembiayaan (kredit), jasa, dan lain-lain. Namun, bank syariah dijalankan dengan konsep nirbunga.
Operasional perbankan syariah dijalankan untuk meniadakan sistem bunga dengan menggunakan akad-akad bisnis yang sesuai dengan ketentuan syariah Islam. Misalnya akad jual beli, bagi hasil, sewa menyewa, dan lain-lain.
Ada 3 cara bank syariah dalam memodifikasi produk perbankan, yaitu menyariahkan produk yang bisa disesuaikan dengan syariah, menghilangkan produk yang tidak bisa disyariahkan, dan membuat produk baru.
Tumbuh kembang perbankan syariah ini juga mendapat dukungan signifikan dari regulator seperti adanya Fatwa MUI tentang haramnya bunga bank, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Bank Indonesia serta berbagai regulasi lain yang mempermudah tumbuh kembang bisnis ini.
Namun, tetap saja bank syariah belum menjadi pilihan utama masyarakat untuk melakukan transaksi perbankan. Bank konvensional masih tetap menjadi pilihan utama masyarakat dengan berhasil menambah aset sebesar Rp.1.213 triliun hanya dalam waktu 5 tahun terakhir sehigga total aset bank konvensional saat ini adalah Rp.2.683 triliun (BI: Juli 2010).
Bandingkan dengan bank syariah yang hanya berhasil menambah aset sebesar Rp.58 triliun dalam waktu 5 tahun terakhir sehingga total aset bank syariah saat ini adalah Rp.78 triliun (BI: Juli 2010).
 Kendala
Tumbuh kembang perbankan syariah dalam 2 dekade terakhir ini, tak bisa lepas dari pengaruh faktor psikologis, sosial, ekonomi dan kultural masyarakat yang ratusan tahun terlanjur menggunakan sistem perbankan konvensional yang berbasis bunga.
Meskipun mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, namun masyarakat terlanjur memaklumi eksistensi sistem perbankan berbasis bunga, bahkan sampai saat ini pun pemerintah melegalkan dan mendukung penuh sistem ini. Pemuka agama pun seakan merestui sistem ini berkembang pesat sampai sekarang.
Sementara itu, praktek bank syariah juga tetap harus melibatkan diri dengan hegemoni sistem keuangan global berbasis bunga tersebut. Penentuan margin keuntungan dalam akad jual beli, margin bagi hasil, margin sewa, dan fee based income bank syariah terpaksa harus melirik BI Rate.
Padahal masyarakat sebenarnya berharap agar bank syariah sama sekali beda dan memiliki nilai lebih dibanding bank konvensional  baik dari segi akad, substansi maupun dampak yang dirasakan. Apalagi perbankan syariah sendiri juga menjanjikan adanya kemurnian nilai syariah dalam praktek operasionalnya.
Istilah bahasa Arab yang digunakan juga semakin menunjukkan bahwa perbankan syariah masih eksklusif. Faktor SDM, IT, manajemen serta insfrastruktur bank syariah yang kurang handal juga menjadi salah satu penyebab kurang diminatinya bank syariah.
Kondisi Ideal
Sebenarnya, perbankan syariah bisa menjadi seperti yang diharapkan masyarakat jika bank syariah bisa terlepas dari sistem fiat money (uang kertas dengan segala dampaknya) maupun interest system (sistem bunga). Fiat money bisa diganti dengan konsep ekonomi dan keuangan berbasis dinar/dirham, yaitu mata uang emas/perak yang memiliki nilai instrinsik sama dengan nominalnya, bersifat stabil, dengan nilai inflasi hampir selalau 0%.
Konsep dinar/dirham bisa meniadakan adanya faktor interest system, bisa terhindar dari time value of money, karena nilai uang tidak lagi tergantung oleh pergerakan waktu. Contoh sederhana jika nasabah membeli barang dari bank dengan harga 100 dinar, maka dia akan tetap membayar 100 dinar meskipun dibayar tunai atau secara angsuran dalam jangka waktu tertentu.
Untuk skema akad berbasis bagi hasil, sewa, atau fee based income, tentu akan menyesuaikan dengan seberapa besar bagi hasil yang diperoleh, seberapa besar margin sewa dari barang/jasa disewakan, atau fee atas jasa perbankan yang diberikan.
Lebih jauh lagi, transaksi online yang bernilai triliunan rupiah (misalnya) akan bisa dilakukan dengan tetap mencadangkan emas senilai transaksi tersebut. Kondisi ini menyebabkan seluruh transaksi bernilai riil sehingga bisa terhindar dari segala bentuk ketidakjelasan bertransaksi (gharar), dan manajemen risiko lebih terkontrol.
Bank syariah akan lebih berfungsi sebagai baytul mal yang akan mendistribusikan harta secara proporsional, namun tetap menjalankan fungsi profit maupun non profit. Nasabah tidak mampu akan diberikan prioritas yang lebih dibanding nasabah yang kaya raya.
Bank syariah juga akan mengumpulkan dana Zakat, Infak, Sedekah, dan Wakaf (ZISWAF) dari masyarakat yang mampu. Dana inilah yang akan digunakan bank syariah untuk memberikan pinjaman (qardh) kepada kaum dhuafa.
Konsep ini akan menyebabkan fungsi perbankan syariah lebih didominasi oleh investasi dan pembiayaan bersifat produktif, serta modal usaha di sektor riil. Sektor konsumsi diprioritaskan untuk melayani masyarakat tidak mampu.
Sudah saatnya pula bank syariah harus mulai memopulerkan penggunaan istilah-istilah bahasa Indonesia sehingga terasa ringan didengar, mengena, dan tidak terkesan eksklusif. SDM, IT, Infrastruktur, dan manajemen bank syariah harus dibenahi agar mampu bersaing dengan hegemoni perbankan konvensional yang sudah terlanjur matang.
Kondisi ideal tersebut bisa terwujud dengan syarat para praktisi, akademisi, dan penggiat bank syariah harus jujur bahwa praktek yang saat ini dijalankan adalah masih dalam kondisi darurat yang masih jauh dari ideal meskipun inilah praktek terbaik perbankan syariah yang bisa dilakukan untuk saat ini.
Kejujuran ini akan memicu kesungguhan berbagai elemen untuk mewujudkan sistem perbankan syariah seperti yang dicita-citakan. Sebuah kejujuran yang tentu harus didukung dengan keseriusan berbagai elemen untuk menyelesaikan tahap demi tahap menuju sistem perbankan syariah berbasis dinar/dirham.
Sumber: milis FoSSEI

Selasa, 28 September 2010

Indonesia Alami Pertumbuhan Asuransi Syariah Tercepat di Dunia

Indonesia tercatat sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan industri asuransi syariah tercepat. Penetrasi premi asuransi syariahnya mendekati 3% dengan pertumbuhan aset mencapai 63%.

Sistem syariah boleh dikatakan tengah menjadi sorotan dunia. Tak terkecuali, asuransi syariah atau lebih dikenal dengan takaful (Islamic Insurance). Secara istimewa, sistem asuransi syariah dinilai memiliki prospek model yang begitu menjanjikan, baik dilihat dari sistemnya maupun potensi pasar yang bisa digarap.

Sepanjang 2007-2008 kontribusi asuransi syariah mencapai 28% dari seluruh kegiatan ekonomi global. Negara berkembang, misalnya, mampu menghasilkan premi hingga hampir US$1,7 miliar. Sepanjang 2009 rasio antara pendapatan premi terhadap gross domestic product (GDP) negara-negara Islam mencapai 1,3%. Sementara, negara-negara berkembang secara keseluruhan mampu mencatatkan rasio lebih tinggi, yakni 2,8% terhadap GDP.

Menurut laporan Ernst & Young (E&Y) bertajuk “Laporan Asuransi Syariah Dunia 2010”, asuransi syariah berkontribusi sekitar 29% terhadap kegiatan ekonomi di dunia atau mencapai US$5,3 miliar pada 2008. Arab Saudi dan Malaysia merupakan dua negara yang memberikan sumbangan terbesar. Arab Saudi berkontribusi hingga US$2,9 miliar, sementara Malaysia US$900 juta.

Uni Emirat Arab (UEA) dan Indonesia merupakan pasar dengan pertumbuhan tercepat. Sepanjang 2005-2008 laju pertumbuhan keduanya rata-rata mencapai 39%. Sementara, Indonesia menjadi negara dengan pertumbuhan tercepat di Asia Tenggara dengan laju 35%.

Diwajibkannya asuransi kesehatan di Arab Saudi berhasil memberikan dampak signifikan terhadap pertumbuhan asuransi syariah negeri kaya minyak itu. Data Badan Moneter Arab Saudi menyebutkan, premi asuransi kesehatan menyumbang hampir 44% terhadap total premi di Arab Saudi dengan pertumbuhan 57%.

Sejak bergabung dengan Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO) pada 2006, Arab Saudi juga telah membuka investasi asing untuk asuransi syariah.

Dalam beberapa tahun terakhir asuransi syariah di dunia berhasil mencatatkan rata-rata pertumbuhan sebesar 20%-25%. Tahun ini kontribusi asuransi syariah diharapkan meningkat menjadi US$8,9 miliar, dengan catatan permasalahan seperti kurangnya kesadaran tentang produk asuransi syariah dan kurangnya keterampilan sumber daya manusia (SDM) di bisnis ini dapat diatasi.

Di Indonesia, asuransi syariah juga mencatatkan pertumbuhan kinerja yang cukup signifikan. Berdasarkan data Biro Perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK), aset asuransi syariah sampai dengan 2009 tumbuh 63%, dari Rp1,85 triliun menjadi Rp3,02 triliun. Hingga triwulan pertama 2010 aset asuransi syariah sudah mencapai Rp3,29 triliun atau naik 8,68% (year to date).

Sumber: http://www.infobanknews.com/index.php?mib=mib_news.detail&id=4501

Minggu, 19 September 2010

Pasar Sukuk Inggris Mulai Menggeliat


dakwatuna.com – London. Sukuk korporasi pertama di Inggris akhirnya terbit baru-baru ini oleh International Innovative Technologies (IIT). Bermula dari kesulitan memperoleh pembiayaan dari bank, IIT pun melirik sukuk sebagai salah satu produk.
Chairman IIT, Tom Wilkinson, meyakini terdapat potensi bagi perusahaan Inggris lainnya untuk mengakses pembiayaan sesuai syariah, termasuk sukuk sebagai sumber dana alternatif. IIT yang mengkhususkan diri dalam pembuatan mesin giling ramah lingkungan ini mulai merambah pasar internasional untuk mengumpulkan dana pada saat usaha kecil dan menengah (UKM) di Inggris mengalami kesulitan mendapatkan pembiayaan dari bank.
“Investasi ke IIT melalui struktur musyarakah merupakan salah satu cara dimana perusahaan Inggris berskala kecil, menengah, dan besar dapat menghimpun sumber dana syariah untuk memenuhi modal kerja, riset dan pengembangan, keseimbangan neraca, dan kebutuhan ekspansi,” kata Wilkinson, dikutip laman Arab News, Rabu (1/9).
Sukuk IIT memiliki tenor empat tahun dengan akad musyarakah. Total penerbitan tercatat sebesar 10 juta dolar AS. Sukuk tersebut ditempatkan secara khusus oleh Millennium Private Equity Ltd yang berbasis di Dubai International Financial Centre. Sukuk IIT memiliki nilai kupon 10 persen per tahun yang akan jatuh tempo pada 2014.
Dana yang terhimpun dari sukuk, lanjutnya, akan digunakan sebagai modal untuk menumbuhkembangkan perusahaan. Ia menjelaskan IIT telah mengembangkan teknologi penggilingan inovatif yang bisa memproduksi hasil berkualitas sangat baik dengan energi rendah.
“Sukuk ini pada dasarnya merupakan convertible sukuk, dimana Millenium Private Equity Ltd dapat mengkonversi sukuk ke ekuitas,” cetus Wilkinson. Konversi tersebut, lanjutnya, akan didasarkan pada pencapaian kinerja tertentu dimana Milenium Private Equity Ltd akan menerima kepemilikan saham sesuai kesepakatan
IIT yang berada di timur laut Inggris berlokasi tak terlalu jauh dari pusaran industri keuangan syariah global. Mulanya Wilkinson diperkenalkan dengan sukuk dan Millenium Private Equity Ltd oleh salah satu investor pelopor di IIT. “Kami tadinya memiliki beberapa kekhawatiran terhadap pembiayaan syariah, tetapi tim Millennium Private Equity Ltd membantu kami memahami prinsip-prinsip syariah. Kami percaya pembiayaan syariah memiliki beragam saran mengenai tingkat utang dan jenis usaha yang tepat untuk dimasuki. Hal-hal seperti itulah yang sebenarnya bermanfaat bagi keberhasilan bisnis,” jelasnya.
Oleh karena itu, tambah Wilkinson, sekarang ini tidak ada alasan pemerintah Inggris tidak dapat mengeluarkan sukuk negara. “Ada sumber modal tersedia yang dapat dimanfaatkan hanya melalui pembiayaan syariah. Sentimen seperti itu yang selalu disuarakan oleh pasar keuangan syariah di London,” tukas Wilkinson.
Meskipun jumlah penerbitan IIT tak terlalu besar, namun hal tersebut menjadi penggerak dan memberikan dorongan psikologis penting bagi emiten potensial di Inggris dan Uni Eropa. Pemerintah Inggris telah menjadi pendukung yang paling proaktif memfasilitasi keuangan syariah sebagai salah satu komponen penting dari sektor jasa keuangan secara keseluruhan di Inggris. Selain itu Inggris juga mempromosikan London sebagai pusat keuangan syariah, perdagangan dan investasi. (Ajeng Ritzki Pitakasari/Yogie Respati/RoL)

Minggu, 29 Agustus 2010

OJK Perlu Dikawal Syariah


Agustiarto Mingka, Sekjen IAEI

 RUU OJK yang saat ini sedang digodok juga akan memasukkan lembaga keuangan syariah di dalamnya. Dalam pelaksanaannya, OJK yang terkait lembaga keuangan syariah pun harus terus dikawal agar tetap berada dalam koridor. Demikian diungkap Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), Agustianto Mingka, kepada Yogie Respati dari Republika, seperti dipaparkan berikut ini.
 
Jika dibentuk, OJK akan mengawasi perbankan syariah. Menurut Anda?

Pegiat masyarakat ekonomi syariah perlu mengawal pelaksanaan dan operasional OJK sehingga paling tidak masyarakat ekonomi syariah ini bisa mewarnai OJK. Nantinya juga yang mengawasi bank syariah memiliki kompetensi dan ghirah syariah yang kuat. OJK harus dipersiapkan secara matang karena pengawasan bank sentral (Bank Indonesia) ke lembaga yang belum jelas strukturnya dan operasinya masih tanda tanya besar. Kita harus bekerja keras mengawal OJK agar bank syariah bisa berkembang.

Urgensi keberadaan OJK bagi perbankan syariah?
OJK bisa menjadi lembaga yang efektif mengatur bank syariah sehingga bank syariah benar-benar menjadi lembaga yang tepercaya, sehat, dan kuat. OJK juga seharusnya berperan mendorong pertumbuhan dan pengembangan bank syariah. Di lain pihak, juga perlu adanya pengawasan yang efektif, konsisten, dan tegas, termasuk pengawasan implementasi prinsip syariah.

Poin-poin apa yang penting ada di OJK?
Adanya regulasi yang mendukung pengembangan bank syariah dan penerapan regulasi yang konsisten, seperti keharusan koversi ke syariah jika UUS sudah 15 tahun atau modalnya 50 persen dari induknya. Regulasi semacam ini harus dijalankan, termasuk aturan tentang permodalan pendirian bank baru.

Regulasi OJK juga harus mempermudah perizinan dengan tetap menerapkan kehati-hatian. Selain itu, juga yang terkait dengan dorongan peningkatan kualitas SDM, seperti sertifikasi bankir sebagai direksi bank syariah, demikian pula kepala cabang, legal officer, DPS, bahkan sampai marketer dan customer service.

Di dunia asuransi syariah, keharusan sertifikasi ini sudah jalan. Di bank syariah belum. Lalu, terdapat aturan tentang pengawasan dan pelaksanaan pengawasan yang efektif dan optimal serta keharusan adanya aturan bagi setiap bank syariah agar memiliki audit syariah dalam rangka diterapkannya syariah compliance yang efektif. Selama ini, audit syariah belum ada sehingga sering kali terjadi penyimpangan yang luput dari pengetahuan DPS. Ringkasnya, OJK harus punya nyali kesyariahan yang kuat dan kompetensi yang bisa diandalkan.

Bagaimana dengan regulasi dari BI yang sudah ada saat ini?
Regulasi yang ada mencukupi, tapi dari sisi pengembangan produk ini masih perlu ditingkatkan dan sejalan dengan regulasi BI. Pegiat ekonomi syarah juga perlu sumbang pemikiran terhadap sistem dan operasional di OJK nantinya sehingga tidak seperti mengikuti air yang mengalir saja.  ed: yeyen rostiyani
Sumber : Milis FoSSEI

Sabtu, 17 Juli 2010

Berwakaf Uang Melalui Bank syariah


Sesuai dengan karakternya, benda waqaf harus bersifat abadi dan tidak cepat habis. Uang yang diwaqafkan mestilah abadi nominalnya. Misalnya, jika si A mewakafkan uang sejumlah Rp 10 Juta hari ini, maka di masa depan uang tersebut harus masih ada (eksis). Oleh karena itu, uang itu haruslah diinvestasikan ke sektor produktif yang menguntungkan, agar uang yang diwakafkan itu membuahkan hasil, di mana pokoknya tetap eksis. Sabda Nabi Saw, “Tahanlah pokoknya dan manfaatkan hasilnya”. Hasil investasi  itulah yang disalurkan untuk membantu fakir msikin dan kepentingan sosial, pendidikan dan  keagamaan lainnya.   Berdasarkan konsep wakaf uang tersebut, maka lembaga yang mengelola dan mengembangkan wakaf uang haruslah lembaga profesional. Untuk saat ini salah satu lembaga yang  dianggap paling profesional melakukan investasi dengan ilmu manajemen resiko dan analisis pembiyaan yang baik adalah lembaga perbankan, Karena itulah, Undang-Undang mengamanatkan lembaga perbankan syariah sebagai institusi  yang ditunjuk untuk mengembangkan dana wakaf produktif.

Menteri Agama telah menunjuk 5 (lima) bank syariah, sebagai lembaga yang dapat mengembangkan dana wakaf uang, yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, Bank Mega Syariah, Bank BNI Syariah dan Bank DKI Syariah. Masyarakat luas yang ingin melakukan investasi akhirat untuk mendapatkan pahala yang terus mengalir, dapat mewakafkan danaya ke Badan Waqaf Indoensia atau Waqaf Fund Management melalui bank-bank syariah yang telah ditunjuk.
Lembaga Wakaf bernama Wafq Fund Management telah bekerjasama dengan beberapa bank syariah dalam mempermudah berwakaf uang melalui ATM dan kartu kredit syariah. Jika setiap muslim bisa mewakafkan uangnya hanya Rp 1000,- perhari, dengan jumlah wakif 1 juta orang, maka dalam sebulan Wakaf Fund Management akan bisa mengumpulkan dana sebesar Rp 30 milyar sebulan.
Ini adalah potensi dana yang sangat luar biasa di masa depan.

Kualifikasi Manajemen Wakaf

Untuk mengelola dan mengembangkan wakaf uang dengan baik, dibutuhkan SDI yang amanah, profesional, berwawasan ekonomi, tekun dan penuh komitmen yang kuat.
Selain itu pengelolaan waqaf uang harus  transparan dan memenuhi prinsip God Govarnance yang baik. Oleh karena institusi wakaf uang  adalah perkara yang baru dalam gerakan wakaf di Indonesia, maka dibutuhkan sosialisasi yang terus menerus oleh para akademisi, ulama, praktisi ekonomi syariah, baik melalui seminar, training, ceramah maupun tulisan di media massa.

Kamis, 08 Juli 2010

Pasar Modal Konvensional vs Pasar Modal Syariah

-->
Salah satu progam kerja Departemen Research tahun ini adalah mengadakan pelatihan pasar modal. Alhamdulillah, acara ini akhirnya terlaksana pada hari Selasa, 15 Juli 2010 di ruang 5103 FE UNS. Pelatihan ini diisi oleh Muh. Juan Suamtoro SE, Msi. dan seorang perwakilan dari IPOT. Antusiasime peserta sangat bagus dilihat dari banyaknya peserta yang hadir yaitu sejumlah 42 orang. Acara ini diisi oleh materi dari pembicara lalu dilanjutkan dengan tanya-jawab. 

Berikut adalah resume materi training pasar modal.



Pengertian Pasar Modal
Pasar modal yaitu Pasar untuk perdagangan berbagai instrumen keuangan (surat berharga) jangka panjang (>1 th) atauTempat transaksi pihak yang membutuhkan dana (perusahaan) dan pihak yang kelebihan dana (pemodal).

Jenis-jenis pasar modal meliputi:
1)Pasar Perdana (Emiten-Pemodal melalui underwritter)
2)Pasar Sekunder (di Bursa Efek).
Pasar sekunder terdiri dari pasar reguler dan pasar non-reguler.Pasar non reguler meliputi pasar tunai dan pasar negoisasi.
Instrumen Keuangan dan Jenis Keuntungannya:
a) Saham keuntungannya dinamakan Dividen dan Capital Gain.
b) Obligasi keuntungannya dinamakan Bunga.
c) Reksadana,Tergantung Portofolionya (Saham/Obligasi/Pasar Uang).
d) Sukuk Ritel (Obligasi Syariah) keuntungannya dinamakan Imbal Hasil
e) Derivatif (Option, Index Futures) keuntungannya dinamakan Capital Gain underlying aset atau capital gain derivatif.

Pasar Modal Syariah
Perdagangan di Bursa Efek dalam Perspektif Islam:
Harta adalah amanah Allah dan Kepemilikan harta diakui dalam Islam, konsekuensinya ia memiliki hak dan kewajiban untuk mengelola harta sesuai ajaran syariah.Harta bisa dipindah tangankan dengan cara yang benar yaitu jual-beli.
Rukun dan Syarat Jual-Beli yaitu Penjual dan pembeli keduanya harus Berakal,Tidak dipaksa/suka sama suka,Bukan pemboros,Baligh,Uang (alat tukar) dan benda yang dibeli harus Suci,Bermanfaat,Keadaan barang dapat diserahterimakan,Barang itu memang milik penjual,Barang tersebut diketahui oleh penjual dan pembeli baik takaran, zat, maupun sifat-sifatnya.
Pelanggaran Syariah di Pasar Modal Konvensional diantarannya:
Penawaran palsu,Penjualan barang yang belum dimiliki (short selling),
Melakukan investasi pada perusahaan yang pada saat transaksi utangnya lebih dominan daripada modalnya,Transaksi mengandung unsur riba,Rekayasa permintaan dan penawaran,Transaksi yang tidak memenuhi syarat dan rukun jual beli,dsb.
Instrumen Bursa Efek Syariah
q)Saham (Penyertaan atau Share) yaitu Menggunakan prinsip Mudhorobah – Bagi Hasil (Profit/Loss Sharing).
b)Sukuk (Shukuk) – Obligasi Syariah yaitu Pendapatan tidak berbasis bunga tetapi pendapatan perusahaan.
Perkembangan Produk Syariah di Indonesia:
3 Juli 1997, PT Danareksa Investment Management meluncurkan Danareksa Syariah
3 Juli 2007, BEJ dan PT Danareksa Investment Management meluncurkan Jakarta Islamic Index (JII).
September 2002, Obligasi Syariah (Sukuk) Mudharabah PT Indosat Tbk.
11 Mei 2004, Obligasi Syariah Ijarah PT Indosat Tbk.
Hingga 2009 lebih dari 30 saham termasuk dalam JII.


Profesi apakah yang paling baik wahai RasuluLlah? Beliau menjawab, ”Seseorang yang bekerja dengan tangan sendiri dan setiap jual beli yang bersih.”
(HR. Al-Bazzar)