KEI FEB UNS

Kajian Ekonomi Islam Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNS

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Islam Pasti Menang!

Dialah yang mengutus rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama meskipun orang musyrik membenci." {QS. Ash Shaff (61): 9}

Tampilkan postingan dengan label Profil. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Profil. Tampilkan semua postingan

Kamis, 12 Agustus 2010

PROF DR KH DIDIN HAFIDHUDDIN, Cinta Ilmu, Cinta Guru

-->Oleh: Ir. Budi Handrianto MPdI (Peneliti INSISTS)



Siang itu, Sabtu 23 Juni 2007, sekitar 1000-an orang yang hadir di Graha Wisuda Institut Pertanian Bogor (IPB) Darmaga terhening sejenak. Sang pembicara di atas podium tengah berusaha menahan haru sembari mengu sap air matanya. Ya, berdiri di atas podium itu adalah Didin Hafidhuddin, yang tengah membacakan ucapan terima kasih kepada guru-gurunya pada saat acara orasi ilmiah dalam rangka pengukuhannya sebagai guru besar di IPB. Satu persatu guru yang sangat berjasa mulai dari guru TK, SD/SR-nya, SMP sampai perguruan tinggi, guru di pesan trennya hingga seniornya para tokoh/ulama terkenal seperti M. Natsir, KH Sholeh Iskandar, KH Abdullah bin Nuh, KH. Abdullah Syafii, KH. Noer Ali, Dr. Anwar Haryono, KH. Hussein Umar, KH. Rahmat Abdullah, dan lain-lain. Bahkan supir pribadinya pun tak ketinggalan disebutkan.

Siapa tak kenal Ustadz Didin? Pang gil an akrab Prof. Dr. KH. Didin Hafidhud din, MS. Di pesantren yang diasuhnya, Ulil Albaab, ia akrab disapa dengan “Pak Kyai”. Ulama yang santun namun aktif bergerak ini menuturkan pengalaman yang menyebabkan dirinya menjadi seperti saat ini.
“Saya bersyukur kepada Allah bahwa saya lahir dari keluarga yang cinta kepada ilmu,” tuturnya. Ayahnya, KH Mamad Ma’turidy, seorang kyai atau dalam bahasa Sunda disebut ajengan merupakan dzuriyyah atau keturunan yang juga kyai. Uwak (paman)-uwaknya juga kyai, di antaranya cukup terkenal yaitu KH. Anwar Sanusi dan KH. Dadun Abdul Kohhar.
Apa yang menjadi rahasia sukses kakek dari ustadz Didin sehingga keturunannya bisa menjadi kyai semua. Ternyata, rahasianya cukup sederhana yaitu cinta kepada ilmu dan cinta kepada guru. “Jadi siapa saja orang yang memberikan ilmu kepada anak-anaknya, banyak atau sedikit ia hormati,” begitu kenang Ustadz Didin. Sang kakek juga dikenal, kalau mengirim biaya untuk anaknya belajar, ia juga mengirim biaya untuk gurunya. Dan nilainya sama persis. Jadi kalau putranya (maksudnya ayah Ustadz Didin) belajar pada seorang guru dikirim biaya -misal kan sekarang Rp 500.000/bulan, ia juga mengirim sejumlah itu pada gurunya. Hal itu yang diterapkan pula oleh ayah Ustadz Didin kepadanya ketika nyantri di pesantren Cibadak. Jadi dalam proses belajar mengajar ada hubb atau kecintaan terhadap guru karena kecintaannya terhadap ilmu. Itu yang sekarang ini kurang terlihat di pendidikan umum. “Orang berpikir, mengirim anak untuk belajar ya sudah selesai dengan membayar sekian-sekian. Sampai di situ saja. Tidak ada hubungan batin antara orang tua, anak dan guru,” kata Ustadz kelahiran 21 Oktober 1951 ini.

Ustadz Didin belajar agama mula pertama dari orang tuanya. Dan ia mulai belajar dari tafsir, bukan dari ilmu alat. Dari tafsir tersebut ia diperkenalkan dengan Al Quran sebagai pedoman hidupnya. iapun disuruh menghafal ayat-ayat penting beserta tafsirnya. Hadits pun diajarkan bahkan kitab hadits arbain ia harus hafalkan. Metode ini sangat ber pe ngaruh terhadap pembentukan karakternya. Dari sinilah ia berpendapat bahwa Al Quran dan Sunnah harus diperkenalkan secara intensif kepada anak sedini mungkin. Kemudian apa bila mau belajar apa pun setelah itu ilmu lain silahkan saja. Kalau landasannya su dah kuat yaitu dari Al Quran dan Sunnah sampai kapanpun tidak akan tersesat. Selain itu, menurutnya, anak akan memiliki pe mikiran yang komprehensif. Sebab al Qur an itu bukan hanya ilmu pengetahuan semata tapi juga ada semangat di situ, ada ruh atau spirit di dalamnya. Berbeda dengan kitab-kitab yang lain. Ruh atau spiritnya nggak ada. hanya sekedar ilmu pengetahuan saja.

Yang menarik dari pendidikan orang tuanya waktu kecil, selain mengajar ilmu kepadanya, sang ayah juga mengajaknya untuk hadir di pengajian-pengajian yang diasuhnya. Walaupun kadang Ustadz Didin kecil hanya tidur saja di sana. Tapi di situ ada pendidikan rihlah da’wiyah yaitu pengenalan terhadap perjalanan dakwah secara tidak langsung. Dari situ akan timbul kecintaan terhadap umat dan masyarakat serta berbagai pengenalan problematika dakwah yang dihadapi.
“Saya sering diajak dakwah dengan berjalan berkilo-kilo untuk menghadiri pengajian. Pengajian mualimin namanya,”aku lelaki lima anak ini. Bahkan seringkali ketika sudah agak besar ia sering disuruh membaca kitab tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu. Kitab yang dibaca adalah kitab yang diajarkan sang ayah kepada kyai-kyai yang belajar kepadanya. Rupanya itu adalah proses kaderisasi yang dilakukan sang ayah kepadanya secara tidak langsung. Tujuannya adalah untuk menanamkan kepercayaan kepada jamaahnya bahwa anaknya itu bisa diandalkan, bisa dipercaya. Dan hal itu menurut Ustadz Didin sistem kaderisasi yang luar biasa efektif. Sekarang ini banyak anak kyai baru tampil setelah ayahnya meninggal.

Ustadz Didin sekolah di sekolah umum (SMP dan SMA). Di sana ia aktif di pengajian. Berbagai macam aktivitas diikutinya, terutama kegiatan yang mendukung aktivitas dakwah. Ia pun pernah menjuarai pidato tingkat sekolah waku di SMP. “Hanya saja waktu itu belum ada pildacil, jadi belum terkenal…..” katanya sambil tertawa. ia juga pernah satu panggung untuk berpidato bersama dengan Prof. Dr. Hazairin, profesor yang terkenal waktu itu. Kebetulan profesor tersebut diundang dalam sebuah acara di pesan tren uwaknya KH Dadun (waktu SMP, Ustadz Didin dititipkan kepada uwaknya ini. Waktu itu ada acara kuliyatul mualimin, suatu acara besar di mana Ustadz Didin muda tampil bersama sang profesor.

Selain di lingkungan pengajian, pengkaderan di sekolah pun dilakukan. Ustadz Didin sewaktu SMP dan SMA berada di sekolah umum sehingga tantangan dakwahnya lebih banyak. Dengan demikian ia lebih banyak berinteraksi dan berpolemik dengan kelompok di luar Islam seperti sosialis dan nasionalis. Pada waktu SMA, Ustadz Didin juga pernah menjabat sebagai ketua PII (Pelajar Islam Indonesia).

Memasuki bangku kuliah Ustadz Didin makin bertambah aktivitasnya. Waktu itu ia sudah dakwah di mana-mana. Memang lulus SMA ia tidak langsung kuliah karena nyantri dulu di sebuah pesantren di Sukabumi, yang letaknya cukup jauh dari rumahnya sehingga ia harus berjalan kaki jauh. Di situ ia khusus mendalami ilmu-ilmu agama seperti tafsir al Quran, hadits, fiqh, ushul fiqh dll. Baru kemudian ia meneruskan perguruan tinggi di IAIN Jakarta.

Di masa-masa akhir perkuliahan ia mulai diajak oleh KH Sholeh Iskandar, ulama terpandang di Bogor waktu itu. Kyai Sholeh adalah Ketua BKSPP (Badan Kerjasama Pondok Pesantren). Ustadz Didin sering diajak ngaji, diajak organisasi (sempat menjadi sekretaris BKSPP Jawa Barat) dan diajak berkenalan de ngan ulama maupun tokoh nasional. Di sini Ustadz Didin merasa sedang dikader oleh Kyai Sholeh untuk mengenal perjuangan dakwah lebih dalam lagi. Di si tulah pula ia diperkenalkan dengan Pak Natsir.

Perkenalan pertamanya waku itu dengan Pak Natsir di PP Darul Falah. Ketika itu sedang disusun pendidikan Islam di mana masjid, pesantren dan kampus terintegrasi menjadi satu. Ketika itu Ustadz Didin merasakan sosok luar biasa dari seorang Muhammad Natsir. Ia waktu itu masih muda sekali. Belum dikenal siapa-siapa. Tapi Pak Natsir yang pada waktu itu sedang pada puncak-puncaknya, memberi perhatian luar biasa terhadapnya. Pemikiran yang dilontarkan Ustadz Didin sering diterimanya. Dari pertemuan-pertemuan itu jadilah Pesantren Ulil Albab yang menyatu dengan Kampus Universitas Ibn Khaldun dengan Masjid Al Hijri di dalamnya. Konsep ini lahir untuk mem-back up mahasiswa yang mempunyai ilmu kealaman yang tinggi tetapi hatinya dekat dengan Allah dan dekat dengan pesantren.

Saat ini, suami Nining Suningsih ini, dikenal sebagai ulama yang aktif menyerukan zakat, ekonomi syariah maupun perbankan syariah. Keterlibatan di dunia itu bukan sesuatu yang disengaja. Kala itu ia diminta mengisi rubrik zakat di harian Republika oleh Pemimpin Redaksi Harian itu, Zaim Ukhrawi sekaligus menjadi pembina Dompet Dhuafa Republika. Mulailah Ustadz Didin dikenal sebagai “Ustadz Zakat”. Karena zakat merupakan bagian dari ekonomi syariah mulailah ia mengembangkan diri mempelajari ekonomi syariah.

Dari ekonomi syariah ini ia mendapat pelajaran bahwa ilmu itu tidak boleh bebas nilai. Memang sebetulnya tidak ada ilmu yang bebas nilai. Mengapa ekonomi sekarang menciptakan jurang yang lebar antara di kaya dan si miskin? Karena sistem perekonomian yang dianut seka rang adalah sistem ekonomi kapitalisme dan liberalisme. Suatu sistem ekonomi yang hanya melihat keuntungan semata. Segala sesuatu diuangkan dengan paradigma modal yang sekecil-kecilnya harus mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Itulah akibat kalau ilmu dianggap bebas nilai. Sebetulnya bukan bebas nilai, tapi bebas nilai-nilai ketuhanan dan sarat dengan nilai kapitalisme.

Menurutnya, ilmu modern -termasuk ilmu ekonomi yang dipandang bebas nilai telah melahirkan egoisme dan kesombongan. Dengan pandangan bebas nilainya mereka beranggapan bahwa semua persoalan bisa diselesaikan dengan ilmunya. Ahli ekonomi merasa bisa menyelesaikan persoalan masyarakat dengan ilmu ekonominya. Padahal jangankan menyelesaikan problema masyarakat, menyelesaikan problem ekonomi saja tidak mampu. Oleh karena itu ke depan, menurut Ustadz Didin apabila ingin membangun peradaban Islam, ilmu-ilmu itu harus diislamisasi, tidak boleh dipandang netral.

Nabi saw bersabda bahwa pedagang yang jujur/terpercaya itu bersama para syuhada. Ini menunjukkan bahwa dalam Islam, ilmu ekonomi tidak sekedar masalah duit, tapi juga masalah nilai-nilai agama, ideologi dan juga pandangan hidup.
Oleh karena itu ilmu ekonomi syariah ini harus dikembangkan juga di perguruanperguruan tinggi umum.
Ustadz Didin kini memegang banyak amanah. Di bidang sosial, ekonomi dan kemasyarakatan ia memegang 24 jabatan. Kurang lebih 25 bukunya telah diterbitkan. Prestasinya di bidang akademispun tidak main-main. Ia pernah menjadi sarjana muda terbaik IAIN Jakarta (1976), sarjana terbaik IAIN Jakarta (1980), Magister Sains terbaik IPB (1987) dan Doktor terbaik UIN Syarif Hidayatullah (2001). Namun ia tetap tawadhu’ dan rendah hati.

SUMBER:

PROFILE M. SYAFII ANTONIO, M.Ec, Ph.D


Dr. Muhammad Syafii Antonio, M.Ec (d/h Nio Cwan Chung)

Saya lahir di Sukabumi, Jawa Barat, 12 mei 1967. Nama asli saya Nio Cwan Chung. Saya adalah WNI keturunan Tionghoa. Sejak kecil saya mengenal dan menganut ajaran Konghucu, karena ayah saya seorang pendeta Konghucu. Selain mengenal ajaran Konghucu, saya juga mengenal ajaran Islam melalui pergaulan di lingkungan rumah dan sekolah. Saya sering memperhatikan cara-cara ibadah orang-orang muslim. Kerena terlalu sering memperhatikan tanpa sadar saya diam-diam suka melakukan shalat. Kegiatan ibadah orang lain ini saya lakukan walaupun saya belum mengikrarkan diri menjadi seorang muslim.
Kehidupan keluarga saya sangat memberikan kebebasan dalam memilih agama. Sehingga saya memilih agama Kristen Protestan menjadi agama saya. Setelah itu saya berganti nama menjadi Pilot Sagaran Antonio. Kepindahan saya ke agama Kristen Protestan tidak membuat ayah saya marah. Ayah akan sangat kecewa jika saya sekeluarga memilih Islam sebagai agama.
Sikap ayah saya ini berangkat dari image gambaran buruk terhadap pemeluk Islam. Ayah saya sebenarnya melihat ajaran Islam itu bagus. Apalagi dilihat dari sisi Al Qur’an dan hadits. Tapi, ayah saya sangat heran pada pemeluknya yang tidak mencerminkan kesempurnaan ajaran agamanya.
Gambaran buruk tentang kaum muslimin itu menurut ayah saya terlihat dari banyaknya umat Islam yang berada dalam kemiskinan,keterbel akangan,dan kebodohan. Bahkan, sampai mencuri sandal di mushola pun dilakukan oleh umat Islam sendiri. Jadi keindahan dan kebagusan ajaran Islam dinodai oleh prilaku umatnya yang kurang baik.
Kendati demikian buruknya citra kaum muslimin di mata ayah, tak membuat saya kendur untuk mengetahui lebih jauh tentang agama islam. Untuk mengetahui agama Islam, saya mencoba mengkaji Islam secara komparatif (perbandingan) dengan agama-agama lain. Dalam melakukan studi perbandingan ini saya menggunakan tiga pendekatan, yakni pendekatan sejarah, pendekatan alamiah, dan pendekatan nalar rasio biasa. Sengaja saya tidak menggunakan pendekatan kitab-kitab suci agar dapat secara obyektif mengetahui hasilnya.
Berdasarkan tiga pendekatan itu, saya melihat Islam benar-benar agama yang mudah dipahami ketimbang agama-agama lain. Dalam Islam saya temukan bahwa semua rasul yang diutus Tuhan ke muka bumi mengajarkan risalah yang satu, yaitu Tauhid. Selain itu, saya sangat tertarik pada kitab suci umat Islam, yaitu Al-Qur’an. Kitab suci ini penuh dengan kemukjizatan, baik ditinjau dari sisi bahasa, tatanan kata, isi, berita, keteraturan sastra, data-data ilmiah, dan berbagai aspek lainnya.
Ajaran Islam juga memiliki system nilai yang sangat lengkap dan komprehensif, meliputi system tatanan akidah, kepercayaan, dan tidak perlu perantara dalam beribadah. Dibanding agama lain, ibadah dalam islam diartikan secara universal. Artinya, semua yang dilakukan baik ritual, rumah tangga, ekonomi, sosial, maupun budaya, selama tidak menyimpang dan untuk meninggikan siar Allah, nilainya adalah ibadah. Selain itu,disbanding agama lain, terbukti tidak ada agama yang memiliki system selengkap agama Islam.Hasil dari studi banding inilah yang memantapkan hati saya untuk segera memutuskan bahwa Islam adalah agama yang dapat menjawab persoalan hidup.

Masuk Islam
Setelah melakukan perenungan untuk memantapkan hati, maka di saat saya berusia 17 tahun dan masih duduk di bangku SMA, saya putuskan untuk memeluk agama Islam. Oleh K.H.Abdullah bin Nuh al-Ghazali saya dibimbing untuk mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat pada tahun 1984. Nama saya kemudian diganti menjadi Syafii Antonio.
Keputusan yang saya ambil untuk menjadi pengikut Nabi Muhammad saw. Ternyata mendapat tantangan dari pihak keluarga. Saya dikucilkan dan diusir dari rumah. Jika saya pulang, pintu selalu tertutup dan terkunci. Bahkan pada waktu shalat, kain sarung saya sering diludahi. Perlakuan keluarga terhadap diri saya tak saya hadapi dengan wajah marah, tapi dengan kesabaran dan perilaku yang santun. Ini sudah konsekuensi dari keputusan yang saya ambil.
Alhamdulillah, perlakuan dan sikap saya terhadap mereka membuahkan hasil. Tak lama kemudian mama menyusul jejak saya menjadi pengikut Nabi Muhammad saw. Setelah mengikrarkan diri, saya terus mempelajari Islam, mulai dari membaca buku, diskusi, dan sebagainya. Kemudian saya mempelajari bahasa Arab di Pesantren an-Nidzom, Sukabumi, dibawah pimpinan K.H.Abdullah Muchtar.
Lulus SMA saya melanjutkan ke ITB dan IKIP, tapi kemudian pindah ke IAIN Syarif Hidayatullah. Itupun tidak lama, kemudian saya melanjutkan sekolah ke University of yourdan (Yordania). Selesai studi S1 saya melanjutkan program S2 di international Islamic University (IIU) di Malaysia, khusus mempelajari ekonomi Islam.
Selesai studi, saya bekerja dan mengajar pada beberapa universitas. Segala aktivitas saya sengaja saya arahkan pada bidang agama. Untuk membantu saudara-saudara muslim Tionghoa, Saya aktif pada Yayasan Haji Karim Oei. Di yayasan inilah para mualaf mendapat informasi dan pembinaan. Mulai dari bimbingan shalat, membaca Al-Qur’an, diskusi, ceramah, dan kajian Islam, hingga informasi mengenai agama Islam. (Hamzah, mualaf.com)