Rabu, 03 Juli 2013

Sejarah Munculnya Uang dan Tinjauan Islam

Sebelum manusia menemukan uang sebagai alat tukar, ekonomi dilakukan dengan menggunakan sistem barter, yaitu barang ditukar dengan barang atau barang dengan jasa. Menurut Syah Wali Allah ad-Dahlawy, (ulama besar asal India yang hidup pada abad 18 M), pada tahap primitif atau kehidupan rimba, manusia telah melakukan pertukaran secarabarter dan melakukan kerja sama untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.



Sistem barter ini merupakan sistem pertama kali dikenal dalam sejarah perdagangan dunia. Hal ini terjadi jauh sebelum abad VII M (sebelum masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam). Dalam sejarah kuno, binatang ternak pernah menjadi medium pertukaran yang dominan. Tetapi dalam hal ini timbul masalah (kendala), karena ternak adalah barang yang tidak awet dan terlalu besar dijadikan sebagai alat tukar.


Menurut Agustianto dalam buku Percikan Pemikiran Ekonomi Islam (2004) sistem barter banyak menghadapi kendala dalam kegiatan perdagangan dan bisnis. Kendala-kendala itu antara lain, pertama, sulit menemukan orang yang diinginkan. Kedua, sulit untuk menentukan nilai barang yang akan ditukarkan terhadp barang yang diinginkan. Ketiga, sulit menemukan orang yang mau menukarkan barangnya dengan jasa yang dimiliki atau sebaliknya. Keempat, sulit untuk menemukakan kebutuhan yang akan ditukarkan pada saat yang cepat sesuai dengan keinginan. Artinya, untuk memperoleh barang yang diinginkan, memerlukan waktu yang terkadang relatif lama.

Tanpa mata uang sebagai standar harga dan alat tukar maka proses pemenuhan kebutuhan manusia menjadi sulit. Dalam ekonomi barter, transaksi terjadi bila kedua belah pihak mempunyai dua kebutuhan sekaligus, yakni pihak pertama membutuhkan barang yang dimiliki pihak kedua dan begitu sebaliknya. Misalnya seseorang mempunyai sejumlah gandum, dan membutuhkan onta yang tidak dimilikinya. Sementara orang lain mempunyai onta dan membutuhkan gandum. Maka, terjadilah barter. Tetapi dalam hal ini, berapa banyak gandum yang akan ditukarkan dengan seekor onta, ukurannya belum jelas, harus ada standar.

Menurut Thahir Abdul Muhsin Sulaiman dalam buku ‘Ilajul Musykilah Al-Iqtishadiyah bil Islam, “Dalam mengukur harga barang-barang yang akan dipertukarkan, harus ada standar (ukuran). Dalam kasus di atas, sulit menentukan berapa banyak gandum untuk sesekor unta. Demikian pula, halnya kalau ada orang akan membeli rumah dengan baju, atau budak dengan sepatu, atua tepung dengan keledai. Proses transaksi barter seperti itu dirasakan amat sulit, karena tiadanya ukuran yang jelas mengenai harga suatu barang. Bila ini terjadi terus, maka perekonomian mandeg dan lamban.

Untuk memudahkan kondisi itu, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan dinar dan dirham sebagai hakim dan ukuran harga suatu barang. Misalnya, seekor unta sama dengan seratus dinar, sesekor kambing 20 dinar, segantang gandum 1 dirham, dsb.

Agustianto menuturkan, untuk mengatasi berbagai kendala dalam transaski barter, manusia selanjutnya menggunakan alat yang lebih efektif dan efisien. Alat tukar tersebut ialah uang yang pada awalnya terdiri dari emas (dinar), perak (dirham). Dengan demikian komoditas berharga seperti ternak, diganti dengan logam, seperti emas atau perak. Logam mulia ini mempunyai kelebihan, pertama, logam adalah barang yang awet. Kedua, ia bisa dipecah menjadi satuaan-satuan yang lebih kecil. Ketiga, uang logam emas(dinar) dan perak (dirham) senantiasa sesuai dengan antara nilai intrinsiknya dengan nilai nominalnya. Sehingga ekonomi lebih stabil dan inflasi bisa terkendali. Hal ini sangat berbeda dengan uang kertas yang nilai nominalnya tak seimbang dengan nilai intrinsiknya (nilai materialnya). Sistem ini rawan goncangan krisis dan rawan inflasi (Buku Percikan Pemikiran Ekonomi Islam, 2004)

Imam al-Ghazali mengatakan , bahwa dalam ekonomi barter sekalipun, uang dibutuhkan sebagai ukuran nilai atau barang. Misalnya unta nilainya 100 dinar dan satu gantang gandum harganya sekian dirham. Dengan adanya uang sebagai ukuran nilai, maka uang berfungsi pula sebagai media pertukaran (medium of exchange). Namun, harus dicatat, bahwa dalam ekonomi Islam, uang tidak dibutuhkan untuk uang itu sendiri. Uang diciptakan untuk melancarkan pertukaran dan menetapkan nilai yang wajar dari pertukaran barang atau jasa.

Dalam menjelaskan sejarah munculnya uang (alat tukar), Syah Wali Allah ad-Dahlawy mengemukakan teori wisdom (kebijaksanaan). Menurutnya, salah satu kebijaksanaan (wisdom) yang dimiliki manusia, adalah kebijaksanaan mengenai jual beli timbal balik, (pembeli dan penjualan), memberi hadiah-hadiah, sewa-menyewa, memberi pinjaman, hutang dan hipotik. Dengan kebijaksaaan inilah manusia menyadari bahwa pertukaran barang dengan barang (barter) tidak dapat memenuhi kebutuhannya seketika secara baik karena barter memerlukan syarat “kecocokan kedua belah pihak pada saat yang bersamaan” (double coincidence of wants). Oleh karena itu kemudian diperlukan “sesuatu” yang dapat diterima secara umun sebagai media petukaran (medium of exchange) yang sekarang disebut uang.

Sesuatu scbagai medium of exchange ini berkembang dalam berbagai bentuk (Goldfeld (1990, hal 10) mulai dari tanah hat, kulit, garam, gigi ikan, logam, sampai berbagai bentuk surat hutang (termasuk uang kertas). Sesuatu yang disebut uang itu harus dapat diterima masyarakat umum yang menurut lbn Miskawaih (1030M) harus memenuhi syarat-syarat : (1) tahan lama (durability), (2) mudah (convenience) dibawa, (3) tidak dapat dikorup ; (incorruptibility), (4) dikehendaki (desirability), (4) dikehendaki (desirability) semua orang, dan (5) orang senang melihatnya.

Berdasarkan rumusan Ibnu Miskawaih tersebut, maka dari berbagai bentuk “uang” yang disebutkan di atas hanya emas dan peraklah yang memenuhi kelima syarat uang yang dirumuskannya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam telah menetapkan emas dan perak sebagai uang. Beliau menjadikan hanya emas dan perak saja sebagai standar uang. Standar nilai barang dan jasa dikembalikan kepada standar uang dinar dan dirham ini. Dengan uang emas dan perak inilah semua bentuk transaksi dilangsungkan. Beliau telah membuat standar uang ini dalam bentuk uqiyah, dirham, mitsqal dan dinar. Semua ini sudah dikenal dan sangat masyhur pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam, di mana masyarakat Arab telah mempergunakannya sebagai alat tukar dan ukuran nilai dalam transaksi. 

Dari paparan di atas dapat diketahui bahwa, di masa awal Islam, mata uang yang digunakan adalah dinar dan dirham. Fakta sejarah telah membuktikan hal ini. Di salah satu museum di Paris, dijumpai koleksi empat mata uang peninggalan Khilafah Islam. Salah satu diantaranya sampai saat ini, dianggap satu-satunya di dunia sebagai peniggalan sejarah mata uang. Mata uang itu dicetak pada masa pemerintahan Ali Ra. Sementara tiga lainnya adalah mata uang perak yang dicetak di Damaskus dan Merv sekitar tahun 60-70 Hijriyah..

Bersambung, Insya, Allah...
 
Referensi: dakwatuna.com

0 Pendapat: