Rabu, 26 Oktober 2011

Kail Lurus Tak Berumpan

Diambil dari buku 8 x 3 = 23! Karya Budi S. Tanuwibowo dengan berbagai penyesuaian. :)
Raja mendapat banyak laporan dari para menteri dan pembantunya. Dilaporkan bahwa ada orang tua aneh yang berhari – hari memncing dan tidak pernah mendapatkan ikan satu ekor pun. Yang membuat orang bertanya – tanya adalah keanehannya. Bagaimana mungkin seseorang memancing dengan mata kail yang lurus tanpa umpan? Mustahil dapat menangkap seekor ikan. Jangankan ikan biasa, ikan kelaparan atau ikan paling bodoh dan sial pun kiranya tak mungkin dapat tertangkap.
Raja yang mendapat cerita itu menyimpulkan bahwa pemancing bukanlah orang yang biasa tapi merupakan orang yang arif bijaksana. Ia melakukan hal aneh untuk tujuan tertentu. Raja pun memutuskan untuk menemui orang tersebut. Tapi ia sama sekali tidak dihiraukan oleh pemancing itu. Cuek dan tidak peduli!
Sebagai raja yang berpengalaman, ia mencoba untuk mengendalikan diri. Dengan penuh kesabaran, ia berdiam diri di tempat sambil mengamati gerak gerik pemancing. Setelah menunggu cukup lama, raja akhirnya duduk di sebelah pemancing. Pemancing itu menarik kailnya sambil menggeleng-gelengkan kepala kecewa pancingnya belum mendapatkan ikan. Tapi ia tetap saja sama, cuek dan menganggap tak ada orang bersamanya.
Adu kesabaran pun terjadi dan sedikit perubahan pun terjadi. Pemancing tersebut tak hanya menggeleng – gelengkan kepala tapi mulai mengomel “dasar dunia telah kacau. Semakin kacau, kacau balau! Semua orang berhati bengkok. Ikan pun ikut – ikutan berhati bengkok. Sudah berhari – hari tak kutemui ikan yang berhati lurus. Mau berkorban tanpa diberi umpan. Lurus, di jaman sekarang ini, sama artinya dengan bodoh. Celakanya tidak ada ikan bodoh yang mampir ke mata kailku.”
Raja pun tetap bertahan supaya ia memahami apa maksud dari pemancing itu. Semakin siang, pemancing itu pun berceletuk,” dasar ikan bodoh, tolol. Kenapa kamu tak mau mencoba kailku. Dunia telah kacau, hancur, tak ada harapan. Tak ada seorang pun yang menyelamatkan. Tak ada pemimpin atau raja yang diandalkan. Entah rakyat harus menunggu berapa lama lagi dalam penderitaan? Rasanya mustahil mengharapkan pemimpin sama muskilnya dengan menunggu ikan bodoh yang mau datang menyapa mata kail lurus tak berumpan! Kasian!”
Raja pun tersenyum dalam hati. Ia mulai mengerti maksud dari pemancing itu. Keadaan saat itu, negara sedang dikuasai oleh pemimpin yang lalim. Jika pemimpinnya lurus, otomatis pengikutnya juga ikut-ikutan. Demikian pula jika rajanya bengkok, rajanya lalai mengurus negara, berfoya – foya dll.
Kembali ke soal memancing. Hari menjelang sore, pemancing mulai mengomel, “ benar-benar sial! Sampai sekian lama belum ada ikan bodoh berhati lurus. Kata orang, di Barat ada ikan besar yang bodoh, suka mata kail lurus dan tak berumpan. Tapi ternyata tak terbukti. Sial. Aku dibohongi. Benar – benar sial. Ikan yang dianggap bodoh memang besar. Tapi dia pun Cuma diam saja. Membatu. Tak berani memakan kailku. Mungkin dia malas melihat tak ada umpannya. Ah, ternyata dimana – mana sama saja. Yang bodoh pun sama dengan yang pintar, butuh umpan. Butuh makanan. Butuh kekayaan. Butuh atribut. Butuh jabatan. Butuh kekuasaan.”
Kini raja mulai mengetahui arah pembicaraan itu. Jika intrepretasinya benar, yang dimaksud ikan besar bodoh di barat adalah dirinya, yang memang raja muda dari barat. Dan dari makna tersirat, raja mulai menangkap maksud dari pemancing bahwa ia mengharap dirinya melawan negara yang pemimpinnya lalai tersebut.
“ dasar bodoh ikan di wilayah barat ini. Bodoh, bodoh. Tidak kecil tidak besar. Semua sama saja, semua bodoh, pengecut dan tak mau berusaha. Yang paling besar juga penakut lagi peragu. Diam terus kayak batu. Diam. Diam. Diam. Lebih baik aku pulang kampung, tidur panjang dan baru bangun jika dunia sudah berbenah.”
Kini pemancing itu bangkit dan bersiap meninggalkan tempat. Dibuangnya pancing yang tak berguna. Namun dengan sigap raja meraih pancing itu. Kini keduanya berhadapan. Saling memandang, saling mengukur kekuatan. Mata bertemu mata, hati bertemu hati, rasa bertemu rasa, makna bertegur sapa. Cukup lama mereka bertatapan dengan sorot mata tajam menyelidik. Kata – kata menjadi tidak perlu dan tak berarti. Kalimat menjadi kehilangan makna. Yang ada jalinan suara hati. Satu getaran, satu frekuensi. Resonansi terjadi!
Lantas terjadilah klimaks. Keduanya tertawa terbahak, saling mengadu kekuatan, saling menjajaki hati. Bergema. Menggetarkan hati siapa saja.
Klimaks kedua pun menyusul kemudian. Keduannya berpelukan erat tak terlepaskan. Menyalurkan kehangatan. Menyalurkan energi masa depan. Dua hati telah dipertemukan. Aura orang besar menyatu. Dunia kini menunggu perubahan . :)

0 Pendapat: