Rabu, 25 Agustus 2010

Ekonomi Syariah, Indonesia dan Persepsi seorang Profesor dari Amerika

 Seorang Profesor dari Amerika Serikat menghubungi saya. Profesor ini sangat rendah hati dan pencinta ilmu sejati. Beliau mengajak saya untuk menulis tentang bagaimana mengajarkan ekonomi pasar pada negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Terus terang, saya langsung tertarik. Dua kali kunjungannya ke Indonesia (jakarta dan jawa timur) dan percakapan kami sepanjang perjalanan tersebut, membuat dia tertarik pada esistensi ekonomi lain, the so called “Islamic Economics”. Saya langsung setuju.

 Beberapa hari kemudian beliau mengirimkan kepada saya abstrak dari tulisan yang ingin beliau masukkan dalam sebuah ‘call for paper” seminar di Amerika dan meminta masukan dan waktu untuk berdiskusi via internet. Berikut proposal tulisannya:
 Are the key economic institutions of modern capitalism in fundamental conflict with traditional Islamic institutions? Could repugnance of some market transactions constrain economic growth and development? In this session we discuss Islamic economics and the challenges encountered in teaching market economics in an Islamic country” (Apakah institusi-institusi ekonomi yang  penting dalam kapitalisme modern secara fundamental bertentangan dengan institusi-institusi Islami? Dapatkah ketidaksetujuan terhadap beberapa jenis transaksi pasar membatasi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan? Dalam sesi ini kami mendiskusikan Ekonomi Islam dan tantangan yang dihadapi dalam pengajaran ilmu ekonomi pasar di Negara Islam)

  lebih lanjut beliau mendeskripsikan: To what extent is illegality or repugnance of key market capitalist institutions a constraint on economic development in Islamic countries? And how do Islamic law, norms, and culture impact the teaching of market economics in Islamic countries? Since people may have a real repugnance toward some types of market transactions, economists involved in teaching must take this aversion into account. In this session we will examine how Islamic institutions impact the delivery of economic education,(sejauh manakah ketidaklegalan atau ketidaksetujuan terhadap institusi-institusi kapitalis pasar yang penting menjadi suatu batasan pada pembangunan ekonomi dalam Negara Islam? And bagaimanakah hukum, norma dan budaya Islam berdampak pada pengajaran ekonomi pasar di negara-negara Islam? Karena orang mungkin memiliki ketidaksetujuan yang riil terhadap beberapa jenis transaksi pasar, ekonom yang terlibat dalam pengajaran harus memperhitungkan hal ini (dalam pengajarannya). Dalam sesi ini kami akan membahas bagaimana institusi-institusi Islam berpengaruh pada pendidikan ekonomi)

Mendapati abstrak dan deskripsi program yang beliau tulisan dan harapkan akan kami presentasikan di salah satu sesi seminar tersebut saya jadi berpikir, “Apakah saya telah memberikan “kesan yang salah” tentang “keislaman” dan ekonomi dalam beberapa kali perjumpaan dan perjalanan kami selama ini?” Sangat dimaklumi, sebagaimana banyak Profesor lainnya, profesor ini tidak mengenal Indonesia sebelumnya. Bahkan menurut salah satu senior saya, ketika  pertama kali terlibat di “pergerakan pendidikan ekonomi”, beberapa pengajar ekonomi dari Amerika mengira sistem ekonomi dan pengetahuan ekonomi kita sejajar negara-negara ex-uni soviet yang baru merdeka dan baru “membuka diri” terhadap pasar. Sebagian bahkan cukup terkejut ketika kita beritahukan bahwa buku-buku teks seperti Samuelson, Pyndick,dkk merupakan teks wajib di universitas kami.
Kembali ke proposal sang Profesor, saya sangat tergelitik dengan beberapa pertanyaan dan pernyataam yang beliau singgung (beberapa pertanyaan lainnya sepertinya telah banyak dibahas di buku-buku ekonomi Islam oleh beberapa ekonom-ekonom ekonomi Islam), seperti:
In this session we discuss Islamic economics and the challenges encountered in teaching market economics in an Islamic country. And how do Islamic law, norms, and culture impact the teaching of market economics in Islamic countries? Since people may have a real repugnance toward some types of market transactions, economists involved in teaching must take this aversion into account Pernyataan ini sungguh menggelitik buat saya. Tidak pernah di kelas manapun saya mendapatkan mahasiswa maupun guru ekonomi SMA/MA/SMK dengan agama apapun yang kemudian bertanya: Pak, jika di agama saya, kira-kira pandangannya tentang A yang bapak ajar itu seperti apa ya? Sejauh manakah ada tantangan utk mengajarkan ekonomi pasar di negeri ini. Hmmm… sepertinya tidak ada (sepertinya agak lucu jika saya katakan hal ini dengan sangat datar ke beliau). Bukankah harapannya dengan pertanyaan-pertanyaan ini beliau berhadap ada sesuatu yang significantly different dengan negara lain atau negaranya? Saya mereka-reka mengapa justru saya cenderung untuk mengatakan hasilnya mungkin insignificantly different? What rationale behind that?

Pertama, mungkin karena negeri kita memiliki dualisme dalam pendidikan dalam konteks keislaman, ada yang sekuler dan ada yang tradisional Islam (Permani 2008). Bahkan lahirnya madrasah merupakan simbol dari sekulerisme dari pendidikan islam lainnya (pesantren). Madrasah dilahirkan oleh Kyai Ma’sum dari Pesantern tebu Ireng (Dhofier 1999), yang menurut Thomas (1988) merupakan respon untuk berkompetisi dalam mendapatkan perkerjaan yang baik antara sekolah bergaya-Eropa dan sekolah muslim. Di bawah kepemimpinan Kyai Wahid Hasyim kemudian madrasah dimodenisasi. Permani (2008) lebih jauh mengatakan bahwa sekularisme dalam pendidikan diartikan sebagai penurunan peranan agama dalam pendidikan tersebut, seperti Madrasah ini yang meninggalkan hanya 30% saja mata pelajaran keagamaan (dibanding hampir 100% di pesantren salafiyah). Bahkan mulai tahun 2006, jumlah jam pelajaran yang diperbolehkan utk pelajaran-pelajaran keagamaan di madarasah dibatasi menjadi hanya 10%.

Kedua, islamisasi ilmu pengetahuan masih barang yang langka di negeri ini, bahkan di dunia islam lainnya. IIIT (International Institute of Islamic Thought) yang menjadi salah satu penggalak dalam proses ini tidak mampu menjadi mainstream dalam perkembangan ilmu pengetahuan bahkan di negara-negara berdiri organisasi tersebut.

Ketiga, dan ini mungkin yang paling merisaukan, adalah mungkin muslim sendiri tidak merasa perlu untuk mengetahui bagaimana agama mereka mengatur dan berpendapat tentang ekonomi. Sebagian mungkin akan menyalahkan sekularisme. Sebagian akan berdiri pada ketertakutan akan dipandang fundamentalis, tidak mau “berwarna”. Sebagian sesederhana merasa tidak perduli. Sebagian mungkin berpendapat kepedulian untuk hal tersebut tidak populer dan tidak memberikan akses ekonomi. Entahlah…. Jangankan untuk sistem ekonomi, kebijakan pemerintah, atau hal berat lainnya yang masih sarat perdebatan, untuk masalah sebuah barang boleh dikonsumsi muslim atau tidak saja, banyak yang tidak peduli dengan fatwa MUI. Bahkan seorang teman di fakultas ekonomi dulu ketika MUI menyatakan haram makan bre*****k, karena ada kemungkinan mengandung babi, menuliskan masak bab* teriak bab*. Mungkin karena kredibilitas MUI, atau berbagai kemungkinan lainnya. Wallahualam.

Akhirnya, saya endapkan beberapa hari pernyataan dan pertanyaan yang diajukan oleh Profesor tersebut dengan berfikir dan belum memberikan masukan terhadap proposal tersebut. Setelah beberapa hari saya akhirnya menulis;

J***, it is really an honour to be able to present in the session with you. I looked again on the session proposal you made, it is really interesting and address some important points there. I think we need to add historical background of market economics in Indonesia's economy, the Islamic reformism in Indonesia at the early 1990s and the dualism of secular and Islamic education in Indonesia. i will find several statistic and legal aspects of both. I have contacted my friend whose thesis was on the history of economics thought in Indonesia. I think I need to contact prof. D********n (our former dean and finance minister) on the market economy role on Indonesia's economy and economics teaching. I think we also need to identify "forbidden things" in Islamic perspective for economics institution. in the end, we might be able to highlight the co-existence of both system within Indonesia, banking would be my strong suggestion. What do you think about that J***?

Beberapa jam setelah saya mengirimkan imel tersebut, saya membaca kembali respon saya kepadanya. Banking would be my strong suggestion…..is this a good idea? Setelah 18 tahun lebih ada di Indonesia Islamic banking masih bertengger di putaran 3% total perbankan Indonesia, walaupun dengan tingkat pertumbuhan yang menggembirakan.

Pernyataan bunga bank Haram oleh MUI, tidak serta merta membuat bank Islam kebanjiran dana, seperti banjirnya jalan-jalan di madinah oleh Khamar karena muslim pada membuang khmar yang menjadi bagian dari budaya mereka saat itu, ketika Rasulullah menyatakan bahwa khmar itu Haram. Saya tilik kartu di dompet saya, dari sekian institusi perbankan yang saya ikuti, hanya satu yang syariah, demikian juga  dengan buku tabungan. Not significantly different with sang profesor, saya yakin.  Saya kitari buku-buku di perpustakaan pribadi saya, masih didominasi buku ekonomi, keuangan dan lainnya, hanya sedikit yang berbau Islam. Tidak jauh berbeda dengan milik sang profesor, saya rasa. Jika demikian apa bedanya yang saya dapat harapkan muncul dalam fenomena pengajaran ekonomi pasar di Indonesia? Karena toch saya yang better informed tentang keislaman, toch tidak berbeda bertindak dari sang Professor, toch insignificantly different with the professor. Sepertinya having a religion masih berbeda dengan being religious. Ini mungkin keberadaan yang jamak di masyarakat kami, muslim Indonesia. Ini yang membuat kami Insignificantly different dengan yang lain.

Then…I think I should email the professor to tell him that: the true challenge is not teaching market economics in Islamic country but teaching Islamic economics in an-already market economy. The true question is not how do Islamic law, norms, and culture impact the teaching of market economics in Islamic countries? But,  how to teach Islamic law, norms and culture to finally impact the behaviour of Moslem in the market economics?

Because there is a gap, a very wide gap, between what the religion, Islam, teaches us, and what we do……
 Bogor
Ebi Junaidi

Sumber: Milis FoSSEI

0 Pendapat: