Jumat, 11 November 2011

Kesabaran Sholahuddin Al-Ayyubi

Sholahuddin Al-Ayyubi adalah seorang panglima perang ternama, termasyur keberaniannya, dan terkenal kebaikan budi pekertinya. Dalam perang, ia tak pernah menghalalkan segala cara, tapi senantiasa tampil dengan bijak dan berlandaskan kemanusiaan.
Suatu hari, Sholahuddin mendengar kabar dari telik sandi mata-mata, bahwa panglima perang musuh sedang sakit parah. Bagi seorang yang ambisius meraih kemenangan , situasi seperti itu pasti dimanfaatkan untuk segera menyerang dan menghancurkan lawan. Dalam situasi pimpinan sakit, pasukan menjadi bingung, bak ayam kehilangan induk.
Tapi Sholahuddin adalah seorang panglima yang punya kebijakan dan harga diri. Ia tak ingin mengambil kesempatan demi kemenangan semata. Itu tak adil, begitu barangkali pikirnya. Peperangan yang membanggakan hanya jika kemenangan diperoleh bukan dengan kecurangan. Kecurangan akan membuat pihak yang menang tak dapat bangga dengan kemenangannya, dan pihak kalah tak berbesar hati menerima kekalahannya. Itulah pemikiran yang bijak dalam benak Sholahuddin.
Suatu malam Sholahuddin menyelinap ke kubu lawan dan kemudian berhasil masuk ke dalam kemah si panglima pasukan Salib. Ditatapnya panglima perang lawan yang terbujur lunglai. Orang yang biasa garang dalam pertempuran, kala itu meluruh pucat pasi. Sholahuddin mendekat, hendak mengobati.
Betapa kaget, si panglima perang Salib, ada orang asing di dalam kemahnya. Betapa terkejut lagi bahwa orang asing itu tidak lain panglima perang Muslim, Sholahuddin Al-Ayyubi. Bahkan menjadi lebih kaget lagi, ternyata kedatangannya bukan untuk membuat mati, tapi justru ingin mengobati. Orang yang biasanya tampil dengan garang -babat sana, babat sini, membunuh musuh di hadapannya kali ini duduk di hadapannya dengan sabar dan rasa kasih ingin mengobati lawan. Dialah Sholahuddin Al-Ayyubi lawan tanding dalam perang Salib.
Dapat dipahami jika pada era berikutnya, ketika mendengar kabar Sholahuddin Al-Ayyubi meninggal dunia, bukan saja kaum Muslimin yang gundah gulana karena kehilangan panglima, tetapi para panglima perang musuh juga ikut menangis karena duka. Duka akibat ditinggal oleh musuh yang bijaksana, musuh yang berperang dengan menjunjung etika kemanusiaan.

0 Pendapat: