Selasa, 23 November 2010

Kedudukan Pertanian dalam Ekonomi Syariah


oleh: Mustafa Kemal Rokan
Dosen Hukum Bisnis Fak. Syariah IAIN Sumatera Utara


Penulis menuturkan berita “miris” tentang perkembangan perbankan syariah saat ini. Penulis sebut “miris” sebab kurangnya keberpihakan perbankan syariah pada sektor pertanian. Indikasinya jelas, bahwa pembiayaan bank syariah dalam sektor pertanian masih sangat minim. Begitu banyaknya skim-skim bank syariah yang beroperasi saat ini, namun faktanya pembiayaan bank syariah dalam sektor ini masih sangat sedikit dibanding dengan sektor lainnya.  Dengan kata lain, sektor pertanian masih dipandang sebelah mata oleh perbankan syariah saat ini. Apa pasal?

Minimnya pembiayaan disektor ini disebabkan besarnya resiko yang dihadapi perbankan, sebab pembayaran terhadap pembiayaan yang diberikan tidak secepat pembiayaan dalam sektor perdagangan. Jika pada sektor perdagangan intensitas hasil dapat dihitung dalam waktu yang relatif singkat, bisa per-bulan, per-minggu bahkan per-hari. Berbeda dengan pembiayaan pertanian yang menunggu waktu yang relatif lama, empat atau enam bulan.

Concern ekonomi syariah dalam bidang pertanian

Sungguh, penulis melihat bahwa fakta ini sangatlah ironis. Paling tidak ada tiga alasan yang patut diuraikan. Pertama, bahwa perbankan syariah belum merepresentasikan perbankan yang memahami konsep syariah secara utuh, alih-alih mengatakan dan melebelkan bank yang dikelolanya adalah bank syariah. Sangat penting ditegaskan bahwa sektor pertanian adalah sektor yang utama dibicarakan dalam ekonomi syariah. Betapa tidak, satu-satunya kitab suci dan agama yang paling concern membicarakan sektor pertanian adalah Islam melalui Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw.

Menarik jika kita meneliti ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan tentang pertanian. Ratusan ayat Al-Quran yang tersebar dalam berbagai surah sungguh banyak membicarakan sektor pertanian. Paling tidak terdapat tiga surah dalam Al-Quran yang concern membicarakan sektor pertanian (agribisnis), yakni surah Yasin, Ar-Rahman dan Al-Waqiah dan puluhan ayat lainnya dalam sebaran surah lainnya.

Sebutlah beberapa contoh diantaranya, Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah bumi yang mati. kami hidupkan bumi itu dan kami keluarkan dari padanya biji-bijian, Maka daripadanya mereka makan. Dan kami jadikan padanya kebun-kebun kurma dan anggur dan kami pancarkan padanya beberapa mata air. Supaya mereka dapat makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka. Maka mengapakah mereka tidak bersyukur?. (Surah Yasin 33-35).

Dan Allah Telah meratakan bumi untuk makhluk(Nya). Di bumi itu ada buah-buahan dan pohon kurma yang mempunyai kelopak mayang. Dan biji-bijian yang berkulit dan bunga-bunga yang harum baunya. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? (QS. Ar-Rahman: 10-13).  Berada di antara pohon bidara yang tak berduri, Dan pohon pisang yang bersusun-susun (buahnya) (Al-Waqi’ah: 28-29).

Membahas ayat-ayat pertanian dalam artikel ini tentu tidak akan cukup, kita membutuhkan puluhan bahkan ratusan jilid buku untuk membahas konsep pertanian dalam Al-Quran. Yang penting dipertegas bahwa Islam adalah agama yang sangat concern dalam bidang ini.   

Kedua, dalam khazanah hukum bisnis syariah (muamalah) bahwa akad atau kontrak dalam sektor pertanian justru dibuat secara khusus. Saya mengira bahwa tidak satupun hukum kontrak yang ada didunia ini yang mengkhususkan pembahasan kontrak dalam bidang pertanian. Seperti yang dimaklumi bahwa dari lima jenis core hukum kontrak syariah yang bersifat bagi hasil yakni mudharabah, musyarakah, muzara’ah, musaqah, mukhabarah, tiga diantaranya khususu berkaitan dengan kontrak di bidang pertanian. 

Demikian juga hukum Islam secara khusus membicarakan tentang bab zakat dalam masalah pertanian. Banyaknya bentuk kontrak dalam bidang pertanian menunjukkan keberpihakan ekonomi syariah dalam bidang ini. Hal ini tentu terkait dengan kultur agribisnis yang ada pada masa Rasulullah Saw. Namun, pertanyaannya bukankah kita merupakan negara agraris?

Revitalisasi sektor pertanian

Dalam konteks inilah, penulis melihat bahwa tidak ada alasan bagi industri perbankan untuk tidak concern dalam sektor pertanian. Bukankah sebagian besar penduduk ini hidup dari sektor agraris? Khusus dalam konteks perbankan syariah yang masih enggan untuk melakukan pembiayaan pada sektor ini, menunjukkan keberpihakan perbankan syariah untuk melakukan tujuan ekonomi Islam itu sendiri menjadi diragukan. Penulis melihat telah terjadi kesalahan atau pergeseran orientasi ekonomi syariah. Padahal orientasi bisnis Islam tidak hanya mementingkan keuntungan an sich. Ekonomi Islam lahir dari rahim kasih sayang dan sifat tolong menolong. Meski mencari keuntungan sebuah keniscayaan dalam berbisnis, namun visi tolong menolong dan pemberdayaan rakyat adalah visi utama ekonomi Islam.

Dengan demikian, mengenyampingkan sektor pertanian yang merupakan salah satu objek pemberdayaan ekonomi masyarakat Indonesia berarti mengenyampingkan ajaran ekonomi Islam itu sendiri. Lebih dari itu, perbankan yang masih takut untuk concern terhadap pembiayaan sektor pertanian yang disebabkan margin keuntungan yang sedikit menunjukkan kata syariah yang dilabelkan pada perbankan tersebut patut dipertanyakan. Kondisi ini terjadi disebabkan terdegradasinya visi ekonomi syariah pada perbankan syariah, disamping ketidakmampuan perbankan syariah untuk menggali dan mendinamisasi konsep agribisnis syariah secara praktis di lapangan.   

Karenanya, sudah saatnya perbankan syariah saat ini berani menunjukkan “tampil beda” dalam melakukan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Ekonomi syariah yang diusung hendaknya sejalan dengan misi maqashid syariah itu sendiri. Sehingga, kesan bahwa perbankan dan asuransi syariah yang diklaim sebagai duplikasi atau “ganti baju” dari bank konvensional dapat diretas. Meretas stigma yang masih kuat melekat pada bank syariah tentu dengan cara mereformasi atau menyegarkan kembali visi ekonomi Islam yang berorientasi menjadikan human falah. Dengan demikian, menjadikan bank syariah sebagai bank yang hanya berorientasi profit minded tanpa memperhatikan kesejahteraan merata akan mereduksi makna kesyariahan, lebih dari itu akan mencederai ekonomi syariah itu sendiri.

Lebih penting dari itu, bahwa sudah saatnya umat Islam menggali sistem ekonomi Islam dalam bidang agribisnis yang teruji secara konsep dan praktis. Belum maksimalnya pemberdayaan ekonomi di bidang pertanian menunjukkan bahwa terjadi kesalahan dalam melihat konsep pertanian negeri ini. Adagium ibarat “petani mati di lumbung” menandakan terjadi kesalahan besar manajemen pertanian di Indonesia. Tentu pembahasan konsep ini harus dilakukan secara komprehensif dari mulai sistem pertanian, manajemen pertanian hingga tata kelola swasta dan negara dalam bidang pertanian.

bertitik tolak dari wacana di atas, tentu banyak strategi yang bisa dikembangkan oleh bank syariah.
Sumber: Milis FoSEI

0 Pendapat: