Tulisan berikut tidak akan membahas kehalalan atau keharaman riba,
karena keharamannya telah disepakati oleh setiap Muslim berdasarkan
ayat-ayat Al-Quran serta ijma’ seluruh ulama Islam, apa pun mazhab atau
alirannya. Yang dibahas adalah apa yang di maksud sesungguhnya oleh
Al-Quran dengan riba yang diharamkannya itu?
Para ulama sejak dahulu hingga kini, ketika membahas masalah ini, tidak melihat esensi riba guna sekadar mengetahuinya, tetapi mereka melihat dan membahasnya sambil meletakkan di pelupuk mata hati mereka beberapa praktek transaksi ekonomi guna mengetahui dan menetapkan apakah praktek-praktek tersebut sama dengan riba yang diharamkan itu sehingga ia pun menjadi haram, ataukah tidak sama.
Perbedaan pendapat dalam penerapan pengertian pada praktek-praktek transaksi ekonomi telah berlangsung sejak masa sahabat dan diduga akan terus berlangsung selama masih terus muncul bentuk-bentuk baru transaksi ekonomi.
Perbedaan-perbedaan ini antara lain disebabkan oleh wahyu mengenai riba yang terakhir turun kepada Rasul saw. beberapa waktu sebelum beliau wafat, sampai-sampai ‘Umar bin Khaththab r.a. sangat mendambakan kejelasan masalah riba ini. Beliau berkata: “Sesungguhnya termasuk dalam bagian akhir Al-Quran yang turun, adalah ayat-ayat riba. Rasulullah wafat sebelum beliau menjelaskannya. Maka tinggalkanlah apa yang meragukan kamu kepada apa yang tidak meragukan kamu.”
Keragu-raguan terjerumus ke dalam riba yang diharamkan itu menjadikan para sahabat, sebagaimana dikatakan ‘Umar r.a., “meninggalkan sembilan per sepuluh yang halal”.
Sebelum membuka lembaran-lembaran Al-Quran yang ayat-ayatnya berbicara tentang riba, terlebih dahulu akan dikemukakan selayang pandang tentang kehidupan ekonomi masyarakat Arab semasa turunnya Al-Quran.
Sejarah menjelaskan bahwa Tha’if, tempat pemukiman suku Tsaqif yang terletak sekitar 75 mil sebelah tenggara Makkah, merupakan daerah subur dan menjadi salah satu pusat perdagangan antar suku, terutama suku Quraisy yang bermukim di Makkah. Di Tha’if bermukim orang-orang Yahudi yang telah mengenal praktek-praktek riba, sehingga keberadaan mereka di sana menumbuhsuburkan praktek tersebut.
Suku Quraisy yang ada di Makkah juga terkenal dengan aktivitas perdagangan, bahkan Al-Quran mengabarkan tentang hal tersebut dalam QS 106. Di sana pun mereka telah mengenal praktek-praktek riba. Terbukti bahwa sebagian dari tokoh-tokoh sahabat Nabi, seperti ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib (paman Nabi saw.), Khalid bin Walid, dan lain-lain, mempraktekkannya sampai dengan turunnya larangan tersebut. Dan terbukti pula dengan keheranan kaum musyrik terhadap larangan praktek riba yang mereka anggap sama dengan jual beli (QS 2:275). Dalam arti mereka beranggapan bahwa kelebihan yang diperoleh dari modal yang dipinjamkan tidak lain kecuali sama dengan keuntungan (kelebihan yang diperoleh dari) hasil perdagangan.
Para ulama sejak dahulu hingga kini, ketika membahas masalah ini, tidak melihat esensi riba guna sekadar mengetahuinya, tetapi mereka melihat dan membahasnya sambil meletakkan di pelupuk mata hati mereka beberapa praktek transaksi ekonomi guna mengetahui dan menetapkan apakah praktek-praktek tersebut sama dengan riba yang diharamkan itu sehingga ia pun menjadi haram, ataukah tidak sama.
Perbedaan pendapat dalam penerapan pengertian pada praktek-praktek transaksi ekonomi telah berlangsung sejak masa sahabat dan diduga akan terus berlangsung selama masih terus muncul bentuk-bentuk baru transaksi ekonomi.
Perbedaan-perbedaan ini antara lain disebabkan oleh wahyu mengenai riba yang terakhir turun kepada Rasul saw. beberapa waktu sebelum beliau wafat, sampai-sampai ‘Umar bin Khaththab r.a. sangat mendambakan kejelasan masalah riba ini. Beliau berkata: “Sesungguhnya termasuk dalam bagian akhir Al-Quran yang turun, adalah ayat-ayat riba. Rasulullah wafat sebelum beliau menjelaskannya. Maka tinggalkanlah apa yang meragukan kamu kepada apa yang tidak meragukan kamu.”
Keragu-raguan terjerumus ke dalam riba yang diharamkan itu menjadikan para sahabat, sebagaimana dikatakan ‘Umar r.a., “meninggalkan sembilan per sepuluh yang halal”.
Sebelum membuka lembaran-lembaran Al-Quran yang ayat-ayatnya berbicara tentang riba, terlebih dahulu akan dikemukakan selayang pandang tentang kehidupan ekonomi masyarakat Arab semasa turunnya Al-Quran.
Sejarah menjelaskan bahwa Tha’if, tempat pemukiman suku Tsaqif yang terletak sekitar 75 mil sebelah tenggara Makkah, merupakan daerah subur dan menjadi salah satu pusat perdagangan antar suku, terutama suku Quraisy yang bermukim di Makkah. Di Tha’if bermukim orang-orang Yahudi yang telah mengenal praktek-praktek riba, sehingga keberadaan mereka di sana menumbuhsuburkan praktek tersebut.
Suku Quraisy yang ada di Makkah juga terkenal dengan aktivitas perdagangan, bahkan Al-Quran mengabarkan tentang hal tersebut dalam QS 106. Di sana pun mereka telah mengenal praktek-praktek riba. Terbukti bahwa sebagian dari tokoh-tokoh sahabat Nabi, seperti ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib (paman Nabi saw.), Khalid bin Walid, dan lain-lain, mempraktekkannya sampai dengan turunnya larangan tersebut. Dan terbukti pula dengan keheranan kaum musyrik terhadap larangan praktek riba yang mereka anggap sama dengan jual beli (QS 2:275). Dalam arti mereka beranggapan bahwa kelebihan yang diperoleh dari modal yang dipinjamkan tidak lain kecuali sama dengan keuntungan (kelebihan yang diperoleh dari) hasil perdagangan.
Sumber : zonaekis.com
0 Pendapat:
Posting Komentar