Sabtu, 11 Februari 2012

Pasar Tradisional: Ekonomi Kerakyatan yang Semakin Memudar


Pasar Gede Solo (sumber: arumsekartaji.files.wordpress.com)



Pasar tradisional yang dikenal sebagai pusat kegiatan jual beli masyarakat Indonesia dari jaman dulu hingga saat ini, merupakan salah satu warisan budaya yang masih digunakan fungsinya sebagai pondasi ekonomi kerakyatan. Lingkungan yang ramai dengan hangatnya keakraban antara penjual dan pembeli, canda yang ringan, dan juga tawar menawar yang ramah menambah kesan elegan dari pasar tradisional itu sendiri.
Namun dari waktu ke waktu, perkembangan jaman yang cukup pesat (globalisasi) mengakibatkan munculnya berbagai macam pasar yang menawarkan fasilitas yang lebih menarik dan nyaman dibanding dengan pasar tradisional, seperti Carrefour, Giant, Indomaret, atau Alfamart. Ironisnya retailer-retailer yang masuk ke Indonesia dengan begitu cepat tanpa adanya controlling dari pemerintah membuat sedikit pedagang pasar tradisional harus mengencangkan ikat pinggang mereka. Masyarakat pun dengan dinamisnya mengikuti perkembangan jaman yang harus serba cepat, instan, dan nyaman harus berpaling dari pasar tradisional ke pasar modern tersebut.
Fakta berkata benar bahwa pasar modern menawarkan lebih baik daripada pasar tradisional. Bisa dilihat mulai dari display yang menarik, service yang cepat, sampai kenyamanan yang minim copet membuat masyarakat terpana dengan pesonanya. Berbanding terbalik dengan pasar tradisional dimana display yang tidak tertata rapi, jalanan yang becek, dan juga tingkat keamanan membuat masyarakat gelisah dan berpikir dua kali untuk berbelanja.
Kurangnya kontrol dari pemerintah mengakibatkan semakin banyaknya pasar modern di tengah masyarakat bak jamur yang terus menyebar di seluruh penjuru. Sama halnya dengan kasus yang terjadi di Solo beberapa waktu yang lalu dimana akan dibangunnya kawasan perbelanjaan (mall) di samping pasar buah tradisional Purwosari. Banyak pedagang yang protes dengan proyek yang akan dibangun tersebut karena ditakutkan akan merugikan pedagang setempat. Namun sekali lagi, dengan kepedulian dan merakyatnya walikota Solo, akhirnya proyek itupun ditunda sampai ada kejelasan dari pihak yang berwenang. Lalu dengan adanya kasus tersebut pun walikota Solo akhirnya membuat kebijakan untuk membatasi pasar modern di kota Solo.
Namun bukan rahasia umum lagi, dibalik kelebihan pasti ada kekurangan bahwa pasar modern sendiri pun bersaing harga dengan pasar tradisional. Adanya tawar menawar menjadi keunggulan bagi pasar tradisional itu sendiri, berbeda dengan pasar modern yang sudah mematok harga pasti dan tidak boleh ditawar lagi. Masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih berada di kelas menengah ke bawah juga membuat lega para pedagang tradisional untuk meramaikan pasar tradisional. Kebijakan pemerintah pun tidak kalah menariknya untuk dapat mendukung terus perkembangan pasar tradisional dengan konsep revitalisasinya. Sebagian pemerintah di kota besar pun juga sudah menerapkan konsep tersebut seperti di kota Jogja contohnya.
Kepedulian pemerintah untuk terus menopang pondasi ekonomi kerakyatan ini terus dikembangkan agar tidak tenggelam oleh pasar modern. Ada baiknya kita pun sebagai warga negara Indonesia untuk terus mendukung dengan berbelanja di pasar tradisional, karena tidak ada salahnya kita mengenal sekaligus belajar bagaimana bertransaksi yang baik sekaligus melestarikan warisan budaya bangsa kita. Cintailah Indonesia dengan membeli produk dalam negeri.

Punto Jatmiko
Mahasiswa Jurusan Ilmu Ekonomi
Fakultas Ekonomi
Universitas Sebelas Maret Solo

0 Pendapat: