Pasar Gede Solo (sumber: arumsekartaji.files.wordpress.com) |
Pasar
tradisional yang dikenal sebagai pusat kegiatan jual beli masyarakat Indonesia
dari jaman dulu hingga saat ini, merupakan salah satu warisan budaya yang masih
digunakan fungsinya sebagai pondasi ekonomi kerakyatan. Lingkungan yang ramai
dengan hangatnya keakraban antara penjual dan pembeli, canda yang ringan, dan
juga tawar menawar yang ramah menambah kesan elegan dari pasar tradisional itu
sendiri.
Namun
dari waktu ke waktu, perkembangan jaman yang cukup pesat (globalisasi)
mengakibatkan munculnya berbagai macam pasar yang menawarkan fasilitas yang
lebih menarik dan nyaman dibanding dengan pasar tradisional, seperti Carrefour,
Giant, Indomaret, atau Alfamart. Ironisnya retailer-retailer yang masuk ke
Indonesia dengan begitu cepat tanpa adanya controlling
dari pemerintah membuat sedikit pedagang pasar tradisional harus mengencangkan
ikat pinggang mereka. Masyarakat pun dengan dinamisnya mengikuti perkembangan
jaman yang harus serba cepat, instan, dan nyaman harus berpaling dari pasar
tradisional ke pasar modern tersebut.
Fakta
berkata benar bahwa pasar modern menawarkan lebih baik daripada pasar
tradisional. Bisa dilihat mulai dari display
yang menarik, service yang cepat,
sampai kenyamanan yang minim copet membuat masyarakat terpana dengan pesonanya.
Berbanding terbalik dengan pasar tradisional dimana display yang tidak tertata rapi, jalanan yang becek, dan juga
tingkat keamanan membuat masyarakat gelisah dan berpikir dua kali untuk berbelanja.
Kurangnya
kontrol dari pemerintah mengakibatkan semakin banyaknya pasar modern di tengah
masyarakat bak jamur yang terus menyebar di seluruh penjuru. Sama halnya dengan
kasus yang terjadi di Solo beberapa waktu yang lalu dimana akan dibangunnya
kawasan perbelanjaan (mall) di samping pasar buah tradisional Purwosari. Banyak
pedagang yang protes dengan proyek yang akan dibangun tersebut karena
ditakutkan akan merugikan pedagang setempat. Namun sekali lagi, dengan
kepedulian dan merakyatnya walikota Solo, akhirnya proyek itupun ditunda sampai
ada kejelasan dari pihak yang berwenang. Lalu dengan adanya kasus tersebut pun
walikota Solo akhirnya membuat kebijakan untuk membatasi pasar modern di kota
Solo.
Namun
bukan rahasia umum lagi, dibalik kelebihan pasti ada kekurangan bahwa pasar
modern sendiri pun bersaing harga dengan pasar tradisional. Adanya tawar
menawar menjadi keunggulan bagi pasar tradisional itu sendiri, berbeda dengan
pasar modern yang sudah mematok harga pasti dan tidak boleh ditawar lagi. Masyarakat
Indonesia yang sebagian besar masih berada di kelas menengah ke bawah juga membuat
lega para pedagang tradisional untuk meramaikan pasar tradisional. Kebijakan
pemerintah pun tidak kalah menariknya untuk dapat mendukung terus perkembangan
pasar tradisional dengan konsep revitalisasinya. Sebagian pemerintah di kota
besar pun juga sudah menerapkan konsep tersebut seperti di kota Jogja contohnya.
Kepedulian
pemerintah untuk terus menopang pondasi ekonomi kerakyatan ini terus
dikembangkan agar tidak tenggelam oleh pasar modern. Ada baiknya kita pun
sebagai warga negara Indonesia untuk terus mendukung dengan berbelanja di pasar
tradisional, karena tidak ada salahnya kita mengenal sekaligus belajar
bagaimana bertransaksi yang baik sekaligus melestarikan warisan budaya bangsa
kita. Cintailah Indonesia dengan membeli produk dalam negeri.
Punto
Jatmiko
Mahasiswa
Jurusan Ilmu Ekonomi
Fakultas
Ekonomi
Universitas
Sebelas Maret Solo
0 Pendapat:
Posting Komentar