Selain
sebagai tempat untuk menyimpan dan menyalurkan dana kepada pihak
ketiga, bank syariah mempunyai banyak fungsi seperti dapat melakukan
jual beli (murabahah), menerima zakat, menyalurkan zakat, bahkan sebagai
tempat gadai (rahn). Tapi dalam hal ini bank syariah hanya bisa
menerima emas sebagai barang yang bisa digadai. Karena emas adalah salah
satu komoditas yang paling likuid. Bahkan jika melihat selama sepuluh
tahun harga emas terus mengalami kenaikan yang cukup tinggi.
Karena begitu potensial, hampir semua bank syariah membuka diri menjadi tempat gadai emas. Bahkan adanya gadai
emas yang dilakukan bank syariah dimanfaatkan beberapa orang untuk
melakukan spekulasi. Berdasarkan berita yang dilansir oleh Bisnis
Indonesia, ada nasabah gadai yang mempunyai modal 10 milyar dan bisa
mendapatkan portofolio hingga 105 milyar rupiah.
Yang dilakukan nasabah tersebut yaitu dengan mengadaikan emasnya untuk
dibelikan emas kembali. Sedangkan emas yang sudah dibeli untuk digadai
kembali dan begitu seterusnya. Leverage yang tinggi, hal inilah yang
ditakutkan, sehingga BI (Bank Indonesia) melakukan intervensi di awal
tahun 2012. Yaitu dengan pembatasan gadai dan juga pelarangan bagi
nasabah yang melakukan gadai dengan tujuan spekulasi. Walaupun peraturan
tertulisnya masih dalam proses untuk dibuat.
Menurut
tulisan Ustadz Siddiq Al Jawie yang berada di situs
wakalanusantara.com, sejujurnya gadai emas yang dilakukan oleh bank
syariah tidak syariah dan lebih condong kepada riba yang terselubung dan
hukumnya haram. Ada tiga alasan yang mendasari gadai emas yang
dilakukan oleh bank syariah hukumnya haram. Yang pertama, dalam gadai
emas terjadi pengambilan manfaat atas pemberian utang. Walaupun disebut
upah (ujrah) atas jasa penitipan, namun hakikatnya hanya rekayasa hukum
untuk menutupi riba, yaitu pengambilan manfaat dari pemberian utang,
baik berupa tambahan atau manfaat lainnya. Padahal manfaat-manfaat ini
jelas merupakan riba yang haram hukumnya.
Yang kedua, pengambilan upah jasa (Ujrah) dari biaya titip merupakan hal yang salah. Karena seharusnya yang menanggung biaya itu seharusnya adalah pihak yang menerima barang gadai, bukan pemilik barang. Dan yang terakhir yaitu, dalam gadai syariah terdapat akad rangkap, sehingga produk gadai emas ini menjadi haram dalam sudut pandang Islam.
Yang kedua, pengambilan upah jasa (Ujrah) dari biaya titip merupakan hal yang salah. Karena seharusnya yang menanggung biaya itu seharusnya adalah pihak yang menerima barang gadai, bukan pemilik barang. Dan yang terakhir yaitu, dalam gadai syariah terdapat akad rangkap, sehingga produk gadai emas ini menjadi haram dalam sudut pandang Islam.
Ketiga
argumen yang diungkapkan oleh Ustadz Siddiq al Jawie berlandaskan
hadist Rasulullah. Pada argumen yang pertama dijelaskan adanya
pengambilan manfaat dalam hutang, berikut dalil yang memperkuat argumen
Ustadz Siddiq al Jawie. “Dari Anas RA, bahwa Rasulullah berkata, Jika
seseorang memberi pinjaman, janganlah dia mengambil hadiah”. (HR
Bukhari, dalam kitabnya At-Tarikh Al-Kabir). Melihat hadist tersebut,
jika kita mau menghubungkan dengan gadai. Gadai emas itu sendiri
sebenarnya adalah hutang. Sedangkan emas itu sebagai barang yang ditahan
yang nantinya akan ditebus. Dan mengambil manfaat dengan dalih biaya
titip adalah riba.
Sedangkan pada
argumen yang kedua adalah tentang pengambilan upah dengan dalih biaya
titip, merupakan suatu kesalahan besar. Karena biaya titip baru bisa
dibebankan jika barang yang dititipkannya adalah makhluk hidup atau
kendaraan. Karena makhluk hidup itu sendiri butuh biaya perawatan agar
hewan tersebut tetap hidup. Begitu pula dengan kendaraan. Kendaraan
butuh biaya perawatan rutin agar kendaraan itu tidak rusak ketika
dititip. Dalilnya yaitu, Rasulullah SAW bersabda, Tunggangan (kendaraan)
yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya, dan binatang
ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya.
Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan
biaya perawatan dan pemeliharaan. (HR Jama’ah, kecuali Muslim dan
Nasa`i). Bahkan menurut Imam Syaukani, hadits itu memberikan pengertian
jika terkait dengan kepentingan penerima gadai seperti hanya penitipan
barang jaminan, maka yang harus menanggung biayanya adalah penerima
gadai bukan yang menggadaikan barang. (Imam Syaukani, As-Sailul Jarar,
hlm. 275-276).
Dan yang terakhir adalah
adanya akad rangkap antara gadai (rahn) dan juga biaya upah (ijarah)
sehingga tidak boleh menurut hukum Islam. Hal ini sesuai dengan hadist
yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud RA, beliau berkata, Rasulullah SAW
melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan (HR Ahmad). Akan tetapi
ada beberapa ulama yang membolehkan adanya akad rangkap. Namun, ulama
yang membolehkan adanya akad rangkap sebenarnya melarang penggabungan
akad tabarru’ yang bersifat non-komersial (seperti gadai) dengan akad
yang komersial (seperti ijarah). (Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa,
29/62; Fahad Hasun, Al-Ijarah al-Muntahiyah bi At-Tamlik, hlm. 24).
Sebenarnya
gadai itu boleh. Bahkan Nabi Muhammad pernah melakukan gadai, dengan
riwayat hadist berikut ini. “Dari Aisyah RA, bahwa Nabi Muhammad SAW
pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan pembayaran tunda sampai
waktu yang ditentukan, dan Beliau menggadaikan (menjaminkan) baju besi
Beliau.” (HR. Bukhari 2326). Dalam hadist tersebut tidak dijelaskan
adanya biaya titip kepada Rasulullah. Maka apa yang dilakukan bank
syariah dengan membebankan biaya titip adalah suatu kesalahan.
Disisi
lain dengan didukung dengan mudahnya persyaratan, yaitu cukup mempunyai
emas. Keberadaan gadai emas sebagai produk di bank syariah hanya
dimaanfatkan oleh nasabah untuk berspekulasi dan memperoleh untung dari
fluktuasi harga emas. Sedangkan melakukan spekulasi (maysir) dalam
transaksi adalah hal yang dilarang dalam Islam. Akhirnya, tujuan bank
syariah tidak tercapai sebagai sarana memberikan dana secara cepat dan
juga mempermudah rakyat kecil dalam masalah permodalan. Oleh karena itu
dibutuhkan peraturan yang mengikat kepada bank syariah agar terhindar
dari nasabah yang ingin melakukan tindakan spekulasi. Bank syariah juga
selayaknya tidak membebankan biaya titip emas. Karena bank juga
sebenarnya sudah mendapat keuntungan dengan memberikan 80% – 90% dana
kepada nasabah dari harga taksiran harga emas. Dan yang terpenting bank
syariah harus lebih memperhatikan nasabah bermodal kecil yang lebih
membutuhkan dana dibanding nasabah bermodal besar yang bertujuan untuk
berspekulasi.
Sumber: zonaekis.com
0 Pendapat:
Posting Komentar