Ditulis oleh Agustianto
Sepanjang 1 abad belakangan ini, krisis keuangan terus terjadi dan
berulang. Setelah didera krisis hebat sejak tahun 1929, ekonomi dunia
tak pernah sepi dari krisis yang kekerapannya lebih dari 20 kali krisis.
Kini di tahun 2008 perekonomian global kembali mengalami goncangan
dahsyat. Bermula dari subprime mortgage crisis di Amerika Serikat (A.S.)
tahun 2007 yang lalu, dalam waktu relatif singkat kemudian dalam tahun 2008 berubah menjadi tsunami keuangan yang melanda sistem dan pasar keuangan global, tak terkecuali pasar keuangan Indonesia.
Menurut Stiglitz, krisis keuangan di AS yang menjalar menjadi krisis
keuangan global saat ini lebih buruk dari Great Depression pada era
1930-an. Krisis ini telah membuka mata masyarakat internasional akan
rapuhnya sistem kapitalisme yang dianut Negeri Paman Sam. Sistem ini
terbukti, pada akhirnya hanya membuat mereka yang menganutnya menjadi
sengsara dan menderita .(Washington Post)
Sementara itu, menurut
Krugman, peraih Nobel Ekonomi 2008, ekonomi dunia akan mengalami
resesi dalam kurun waktu yang lama. Dia mengakui bahwa krisis ini memang
menakutkan, Pernyataan senada diungkapkan Investor dunia, George Soros.
Dia menilai krisis yang menerjang pasar finansial saat ini sangat
serius. Krisis ini, menurutnya, lebih hebat dibanding krisis finansial
lainnya sejak berakhirnya Perang Dunia kedua,. Soros menegaskan yang
terancam resesi bukan hanya perekonomian Amerika Serikat saja, tapi juga
Eropa.
Sebagai negara adi daya dengan gross domestic bruto (GDP)
terbesar di dunia, Amerka Serikat seharusnya mempunyai tanggung jawab
yang lebih besar dalam menjaga kestabilan dan kesehatan sistem dan pasar
keuangan di negaranya, karena akan berdampak besar bagi negara-negara
lain. Tetapi justru Amerika Serikat yang tersungkur jatuh ke jurang
krisis keuangan yang sangat dalam. Dalam sistem ekonomi konvensional
kapitalisme yang anutnya, dihalalkan kegiatan bisnis derivatif dan
spekulatif di pasar uang dan pasar modal. Praktek bunga, maysir dan
gharar menjadi kebiasaan.
Menurut perspektif ekonomi syariah,
penyebab utama krisis yang terjadi saat ini adalah (satanic trinity),
yaitu trinitas setan yang terdiri dari riba,
maysir dan gharar. Sistem dan pasar keuangan dan capital market di
Amerika telah didominir oleh setan tiga serangkai atau trinitas setan
(satanic trinity) yang terdiri dari (1) bunga (riba)
dalam transaksi keuangan; Praktek riba terlihat jelas pada bisnis
derivatif yang sangat laris di pasar uang dan pasar modal AS. (2) Produk
derivatif yang tak jelas underline transactionnya itu disebut juga
dengan gharar, karena ketidak jelasan produk riilnya. Produk gharar ini
disamarkan dengan istilah produk hybrids dan derivatives yang
dibungkus dan dikemas dengan mekanisme securitisation insurance atau
guarantee; (3) Peri laku dan praktek spekulatif atau untung-untungan
(maisir) yang juga tanpa dilandasi transaksi riil. .
Sebenarnya,
krisis keuangan global dapat dibedakan kepada dua macam krisis, Pertama
krisis di pasar modal (capital market) dan kedua krisis di pasar uang
(money market). Kedua bentuk financial market itu membuka peluang kepada
transaksi dengan tingkat spekulasi yang tinggi. Keduanya menggunakan
bunga sebagai instrumen. Keduanya juga memisahkan sektor moneter dan
sektor riel sebagaimana diajarkan sistem ekonomi kapitalisme.
Di
capital market konvensional, sangat dimungkinkan terjadinya short
selling dan margin trading . Kegiatan bisnis tersebut sangat sarat
dengan motif spekulasi. Sementara di pasar uang terdapat dua kesalahan
besar yang berakibat kepada krisis, pertama, kegiatan transaksi valas
yang bermotif spekulasi, baik spot maupun bukan, seperti forward,
options dan swaps transaction. Kedua bahwa yang menjadi standar keuangan
international adalah fiat money.
Islam yang berdasarkan wahyu yang
diturunkan Allah dari langit tentu memiliki ajaran yang unggul, rasional
dan ilmiah dan empiris. Menurut ekonomi Islam, sektor moneter dan
sektor riil tidak boleh terpisah, sedangkan dalam sistem ekonomi
kapitalisme keduanya terpisah secara diametral. Akibat keterpisahan itu,
maka arus uang (moneter) berkembang dengan cepat sekali, sementara arus
barang di sektor riil semakin jauh tertinggal. Sektor moneter dan
sektor riil menjadi sangat tidak seimbang.
Pakar manajamen tingkat
dunia, Peter Drucker, menyebut gejala ketidakseimbangan antara arus
moneter dan arus barang/jasa sebagai adanya decopling, yakni fenomena
keterputusan antara maraknya arus uang (moneter) dengan arus barang dan
jasa.
Fenomena ketidakseimbangan itu dipicu oleh maraknya bisnis
spekulasi pada kedua pasar keuangan di atas, yaitu di pasar modal dan
pasar valas (money market) sehingga ekonomi dunia terjangkit penyakit
yang bernama balon economy (bubble economy). Disebut ekonomi balon,
karena secara lahir tampak besar, tetapi ternyata tidak berisi apa-apa
kecuali udara. Ketika ditusuk, ternyata ia kosong. Jadi, bublle economy
adalah sebuah ekonomi yang besar dalam perhitungan kuantitas moneternya,
namun tak diimbangi oleh sektor riel, bahkan sektor riel tersebut amat
jauh ketinggalan perkembangannya.
Sekedar ilustrasi dari fenomena
decoupling tersebut, misalnya sebelum krisis moneter Asia, dalam satu
hari, dana yang gentayangan dalam transaksi maya di pasar modal dan
pasar uang dunia, diperkirakan rata-rata beredar sekitar 2-3 triliun
dolar AS atau dalam satu tahun sekitar 700 triliun dolar AS.
Padahal
arus perdagangan barang secara international dalam satu tahunnya hanya
berkisar 7 triliun dolar AS. Jadi, arus uang 100 kali lebih cepat
dibandingkan dengan arus barang (Republika, 18-8-2000).
Dalam
tulisan Agustianto di sebuah seminar Nasional tahun 2007 di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, disebutkan bahwa volume transaksi yang terjadi di
pasar uang (currency speculation and derivative market) dunia berjumlah
US$ 1,5 trillion hanya dalam sehari, sedangkan volume transaksi pada
perdagangan dunia di sektor riil hanya US$ 6 trillion setiap tahunnya
(Rasio 500 : 6 ), Jadi sekitar 1-an %. Celakanya lagi, hanya 45 persen
dari transaksi di pasar, yang spot, selebihnya adalah forward,
futures,dan options. Sementara itu menurut Kompas September 2007, uang
yang beredar dalam ransaksi valas sudah mencapai 1,3 triliun dalam
setahun. Data ini menunjukkan bahwa perkembangan cepat sektor keuangan
semakin melejit meningalkan sektor riel. Dengan demikian balonnya
semakin besar dan semakin rawan mengalami letupan. Ketika balon itu
meletus, maka terjadilah krisis seperti yang sering kita saksikan di
muka bumi ini.
Gejala decoupling, sebagaimana digambarkan di atas,
disebabkan, karena fungsi uang bukan lagi sekedar menjadi alat tukar dan
penyimpanan kekayaan, tetapi telah menjadi komoditas yang
diperjualbelikan dan sangat menguntungkan bagi mereka yang memperoleh
gain. Meskipun bisa berlaku mengalami kerugian milyaran dollar AS.
Berdasarkan realitas itulah, maka Konferensi Tahunan Association of
Muslim Scientist di Chicago, Oktober 1998 yang membahas masalah krisis
ekonomi Asia dalam perspektif ekonomi Islam, menyepakati bahwa akar
persoalan krisis adalah perkembangan sektor finansial yang berjalan
sendiri, tanpa terkait dengan sektor riel.
Kegiatan bisnis yang
memisahkan sektor moneter dan riil, tidak lain adalah praktek riba.
Istilah kontemporer menyebutnya derivatif. Dalam transaksi derivatif
saat ini, sesungguhnya telah menyatu tiga serangkai riba, maysir dan
gharar. Sistem bisnis derivatif dalam pandangan Islam, merupakan sebuah
kejahatan besar, sehinga pelakunya abadi di neraka (2:275), karena
dosanya tak termaafkan. Dampaknya bisa menghangcurkan ekonomi banyak
negara sebagai mana yang kita rasakan dan saksikan saat ini. Jika sebuah
negara terjun ke jurang krisis, maka ratusan juta bisa menderita,
Bayangkan jika 10, 20 atau 30 negara diterpa krisis, berapa milyard umat
manusia yang menjadi sengsara dan makin miskin akibat sistem yang
salah, sistem yang menghalalkan riba, maysir dan gharar. Oleh karena
jahatnya transaksi derivatif, maka George Soros menyebutnya sebagai
hydrogen bombs, sementara Warren Buffett menjulukinya sebagai financial
weapons of mass destruction
Transkasi derivatif telah menjelma
menjadi bom waktu yang setiap saat bisa meledak dan menciptakan
mega-catastrophic yang dapat meluluhlantakkan sistem finansial global.
Hal ini disebabkan ekspansi derivatif telah menciptakan bubble yang
sangat besar dalam ekonomi dunia.
Para ekonom dan pakar keuangan
telah mengidentifikasi dan berkonklusi bahwa transaksi derivatif menjadi
punca dan penyebab utama semua bencana ekonomi besar yang terjadi sejak
tahun 1929 di Amerika Serikat. Sistem riba, maysir dan gharar
(derivative) jugalah yang berada di belakang crash pasar saham Wall
Street tahun 2001 yang dikenal sebagai Black Monday, juga krisis
keuangan dan perbankan di tahun 1987
Bisnis derivative ini jugalah
menjadi penyebab terjadinya krisis finansial Asia 1997/1998; penyebab
kolapsnya hedge fund raksasa Long Term Capital Management (LTCM) tahun
1998; ambruknya bank dagang tertua Inggris, Barrings Bank; kolapsnya
Enron; pemicu krisis ekonomi Argentina; serta menjadi pemantik krisis
keuangan dan ekonomi global saat ini. Hal ini terjadi karena, menurut
Kavaljit Singh (2000), transaksi derivatif yang awalnya digunakan untuk
mengurangi risiko (hedging) akibat pergerakan harga tidak lagi wujud,
malahan menjadi instrumen spekulasi.
Upaya saat ini yang banyak
dibahas untuk mengurangi dampak buruk derivatif adalah membuat regulasi
dan supervisi yang sophisticated (Bisnis, 20 Maret). Namun, Menurut Aziz
Setiawan, pakar ekonomi Islam Paramadina, ketika regulasi tidak
menyentuh pembatasan kemampuan bermutasi dan bermetamorfosis derivatif,
ancaman krisis sistemik akan selalu ada. Metamorfosis dan mutasi
derivatif berkembang ketika terjadi pemisahan risiko dari aktivitas
ekonomi riil, sehingga risiko bertransformasi menjadi “komoditas” dan
membuatnya dapat ditransaksikan secara terpisah.
Komoditisasi risiko
membuat risiko menjadi semakin berbiak. Ketika risiko terpisah dari
sektor riil, tidak ada batasan jenis risiko yang bisa ditransaksikan,
mulai dari saham, obligasi, komoditas, indeks, valuta, rating
perusahaan, penyelesaian takeover, cuaca serta risiko lainnya. Lebih
jauh lagi bahkan, derivatif dapat diturunkan dari derivatif lainnya,
sehingga lahirlah options on futures, futures on options, options on
options, dan lain-lain.
Hal ini, membuat volume dan pertumbuhan
derivatif terpisah dari sektor riil. Karena sektor riil jauh lebih
kompleks dan dihadapkan pada berbagai kendala, maka pertumbuhan pasar
derivatif jauh lebih cepat dari barang dan jasa riil. Maka tak
mengherankan bila volume derivatif telah berbiak lebih sepuluh kali
lipat dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB) seluruh dunia yang
hanya US$60 triliun.
Berdasarkan data Bank for International
Settlements (BIS), volume transaksi derivatif dalam 6 tahun terakhir
telah membengkak lebih dari enam kali lipat; dari sekitar US$100 triliun
menjadi US$683 triliun tahun 2008. Akhirnya regulasi tanpa menyentuh
aspek pembatasan kemampuan bermutasi dan bermetamorfosis derivatif,
tidak akan terlalu membantu meredam daya ledak bom waktu ini.
Dalam
sebuah seminar di STAN Jakarta, di mana saya dan Aviliani ketika itu
sebagai pembicara, beliau mengatakan, bahwa perbandingan transaksi
sector riil dan sector keuangan telah membengkak secara spektakuler,
yakni 1 banding 3000. Ini Artinya, jika transaksi bisnis riil hanya 1
triliun US dolar seathaun, maka transaksi derivative di sector keuangan
3000 kali lipatnya, yakni sebanyak 3000 triliun US dollar dalam setahun.
Percepatan ini terjadi dalam 6 tahun belakangan ini.
Alquran dan transaksi derivatif
Pelarangan riba yang secara tegas terdapat dalam Al-Qur’an (QS: 2
:275-279), pada hakikatnya merupakan pelarangan terhadap transaksi maya
atau derivatif . Firman Allah, “Allah menghalalkan jual-beli (sektor
riel) dan mengharamkan riba (tranksaksi maya)”.
Dalam transaksi
maya, tidak ada sektor riel (barang dan jasa) yang diperjualbelikan.
Mereka hanya memperjualbelikan kertas berharga dan mata uang untuk
tujuan spekulasi. Tambahan (gain) yang diperoleh dari jual beli itu
termasuk kepada riba, karena gain itu diperoleh bighairi wadhin, yakni
tanpa ada sektor riel yang dipertukarkan, kecuali mata uang atau
kertas-kertas itu sendiri. Dalam transaski derivatif juga tidak ada
ma’kud ’alaih, berupa barang/jasa yang menjadi rukun dalam transaksi
bisnis. Transaski inilah yang dilarang Alquran dan hadits dengan
istilah riba dan gharar.
Pencipta alam semesta dan pencipta manusia,
Dialah Allah Rabbbul ‘Alamin, Dialah yang paling dan Maha pintar dari
siapapun. Dia sudah memberikan jawaban dalam kitabnya Alquran bahwa akar
masalah kerusakan ekonomi adalah riba (QS.30 : 39 -41) . Dalam semua
Kitab suci yang diturunkanya Taurat dan Injil, dia juga telah
mengharamkan riba. Tak diragukan sedikitpun bahwa akar masalah yang
paling utama adalah sistem riba yang menjadi instrumen dan jantung
kapitalisme dalam seluruh transaksi keuangan. Walaupun harus diakui
bukan riba satu-satunya yang menjadi akar terjadinya krisis finansial
tersebut.
Dalam surah Ar-Rum ayat 41 Allah berfirman, :”Telah nyata
kerusakan di darat dan di laut, karena ulah tangan manusia, supaya kami
timpakan kepada mereka akibat dari sebagian perilaku
mereka.Mudah-mudahan mereka kembali ke jalan Allah”
Konteks ayat ini
sebenarnya berkaitan dengan dampak sistem moneter ribawi yang
dijalankan oleh manusia, pendekarnya adalah Amerika dan Eropa dan
selanjutnya diikuti oleh Indonesia dan negara lainnya. Ayat sebelumnya
yakni ayat 39 berbicara dengan jelas bahwa sistem riba tidak akan
menumbuhkan ekonomi masyarakat, tetapi malah merusak perekonomian.
Firman Allah “Apa yang kamu berikan (pinjaman) dalam bentuk riba agar
harta manusia betambah, maka hal itu tidak bertambah di sisi Allah”
(QS.ar-Rum : 39)
Ayat Alquran tersebut berbicara dalam konteks
ekonomi makro, artinya menganalisis ekonomi secara agregat, bukan secara
mikro, seperti membandingkan harga jual beli murabahah dengan bunga
bank konvesnional. Bunga bank konvensional bagi banyak orang tak begitu
terasa bagi kerusakan ekonomi, tetapi ketika bunga sudah menjadi sistem
finansial global dan nasional, maka dampaknya luar biasa jahat bagi
pembangunan ekonomi. Bunga, sedikit atau banyak tetap disebut riba,
sebagaimana daging babi yang sedikit dengan yang banyak, yang sedikit
tetap daging babi juga. Hadits Nabi Saw, “Sedikit dan banyaknya hukumnya
haram”. Demikian pula riba, baik diterapkan dalam ekonomi mikro maupun
makro tetap haram.
Kerusakan ekonomi dunia dan Indonesia berupa
krisis saat ini adalah akibat ulah tangan manusia yang menerapkan riba
yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
Pakar
Ekonomi Islam asal USA, Prof.Dr.Monzer Kahf mengatakan, “Riba has a
great contribution to the current crisis but it is alone not the sole
element in it, of course Riba contributed through creating layers of
financial transactions that resulted in a domino effect of institutions
and the economy at large, but there is the lust for profit that caused
over stretching of finance to persons who cannot continue paying their
debts, their also the expanded consumerism in the American society that
shares in creating unbearable debt burdens, etc.”
Jadi menurutnya,
riba’ telah memberikan kontribusi yang besar kepada krisis ini meskipun
ia mengakui bahwa riba’ itu sendiri bukanlah satu-satunya elemen
penyebab krisis. Riba memberikan konstribusi melalui
transaksi-transaski derivative dan spekulatif pada institusi institusi
keuangan. Penyebab lainnya ialah hawa nafsu serakah mencari keuntungan
dari mereka yang tidak berdaya meneruskan pembayaran hutang. Sikap ini
juga adalah gejala dari expanded consumerism dalam masyarakat Amerika
itu sendiri.
Kegagalan sistem keuangan sebagai akibat dari trinitas
setan itu, dengan bahasa yang berbeda, secara implisit diakui oleh Henry
Poulson, Menteri Keuangan A.S. Dalam laporannya sebagai Ketua
President’s Working Group(PWG) on Financial Markets (April 2008),
Poulson dengan tegas menyatakan bahwa penyebab utama terjadinya krisis
subprime mortgages di A.S. adalah: (1) merosotnya mutu/standar
penjaminan bagi subprime mortgages; (2) erosi yang signifikan terhadap
disiplin pasar yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait dengan
proses sekuritisasi, termasuk originators, underwriters, credit rating
agencies, dan global investors; (3) kegagalan dalam menyediakan dan
memperoleh informasi risiko (risk disclosures) yang memadai; (4)
kelemahan yang mencolok (significant flaws) pada perusahaan pemeringkat
kredit, khususnya dalam menilai: a) subprime residential mortgage backed
securities (RMBS) dan b) collateralized debt obligations (CDOs)yang
dikaitkan dengan RMBS dan asset backed securities (ABS) lainnya; (5)
kelemahan manajemen risiko pada sejumlah institusi keuangan besar di
A.S. dan Eropa; dan (6) kelemahan regulasi termasuk mengenai persyaratan
modal dan keterbukaan informasi (disclosure) yang gagal dalam
memitigasi kelemahan manajemen risiko.
Keenam hal tersebut di atas
yang menurut Poulson marak terjadi sejak tahun 2004, bertepatan dengan
masa jabatan kedua Presiden Bush, secara sengaja atau tidak sengaja,
telah ikut menyuburkan transaksi yang bersifat gharar dan maisir
sehingga transaksi keuangan yang seharusnya didasarkan kepada underline
asset, keterbukaan dan fairness berubah menjadi transaksi keuangan yang
bersifat sangat spekulatif dan juga addictive yang sangat berbahaya dan
sulit dihentikan.
Interaksi pasar modal yang penuh gharar dan maisir
dengan perbankan yang ribawi, selain dengan cepat menggoyahkan
sendi-sendi sistem dan pasar keuangan–akibat asset write down yang
menggerus aset dan modal serta bad debt yang menggerus laba, juga
semakin menjauhkan kegiatan sektor keuangan dari sektor riil. Lebih
buruk lagi, dampak negatif tersebut juga harus dirasakan oleh perusahaan
dan negara yang sebelumnya tak ada permasalahan serius.
Hindari Maghrib
Perlu ditegaskan kembali bahwa ekonomi kapitalisme yang rawan krisis
itu, tidak melarang praktik maghrib, sedangkan ekonomi Islam sangat
keras mengecamnya. Magrib adalah akronim dari maysir, gharar dan riba.
Tiga macam praktik terlarang inilah yang menjadi faktor dan biang utama
krisis. Maysir adalah kegiatan bisnis yang berbentuk judi dan spekulasi.
Spekulasi selalu terjadi di pasar modal dalam bentuk short selling dan
margin trading. Sedangkan gharar ialah transaksi maya, drivatif dan
karena itu ia menjadi bisnis resiko tinggi). Riba ialah pencarian
keuntungan tanpa dilandasi kegiatan transaksi bisnis riel. Di pasar
modal seringkali para investor meraup keuntungan tanpa adanya underlying
asset, atau sektor riel yang melandasinya. Tujuan investor bukan untuk
menanam saham secara riil di sebuah emiten, tetapi semata untuk meraih
gain melalui praktik margin trading. Selain itu harus diketahui bahwa di
dalam financial market, margin trading dan fiat standart ditetapkan
berdasarkan instrumen bunga.
Di pasar uang kegiatan transaksi
spekulasi valas semacam transaksi swap, forward dan options selalu
terjadi. Semua transaksi tersebut bertentangan dengan syariah, karena
mengandung riba. Sementara itu, ekonomi syariah adalah ekonomi yang
berusaha menempatkan keseimbangan antara sektor keuangan dan sektor riil
(atau bisa disebut economy 1 on 1). Artinya ekonomi yang mengkaitkan
secara ketat antara sektor moneter dan sektor reil. Tegasnya, one
monetery unit for one real asset. Dalam kerangka itulah Ekonomi Islam
mengajarkan kegiatan bisnis riel melalui jual beli, bagi hasil dan
ijarah
Jantung dari sistem ekonomi kapitalisme adalah riba. Riba
adalah punca dari segala macam krisis. Artinya riba adalah biang utama
terjadimya krisis. Kegiatan spekulasi dalam bentuk margin trading dan
short selleing di pasar modal adalah riba, karena tanpa dilandasari oleh
underlying transaction yang riel. Kegitan traksaksi derivatif di bursa
berjangka dan bursa komoditi semuanya adalah riba. Kegiatan spekuasi
valas dengan motif untuk spekulasi, bukan untuk transaksi adalah
kegiatan ribawi. Sedangkan untuk jaga-jaga (preceutionary) hukumnya
makruh.
Ambillah 100-an buku-buku Islam (fiqh, tafsir dan hadits),
lalu lihat dan analisis-lah definisi riba. Dari ratusan definisi riba
itu disimpulkan, bahwa riba ialah az-ziyadah lam yuqabilha ‘iwadh,
artinya, riba adalah tambahan yang diperoleh tanpa didasarkan adanya
‘iwadh. Iwadh ialah transaksi bisnis riel yang terdiri dari 3 macam,
yaitu jual beli, bagi hasil dan ijarah, Jual beli contohnya ialah
seperti jual beli dengan segala macamnya (jual beli murabahah, salam,
istisna), Transaksi bisnis riel juga dapat diwujudkan dengan bagi hasil
dan ijarah,. Bagi hasil diwujudkan dengan konsep mudharabah, syirkah,
mudharabah musytarakah, musyarakah mutanaqishah dan muzara’ah. Sedangkan
ijarah diwujudkan dengan ijarah biasa, ijarah muwazy (paralel), IMBT.
Transaksi mudharabah dan musyarakah serta transaksi jual beli
murabahah, salam, istisna’ dan ijarah (leasing), memastikan keterkaitan
sektor moneter dan sektor riel. Oleh karena itu pula salah satu rukun
jual beli ialah ada uang ada barang (ma’kud ‘alaihi). Dengan demikian,
future trading dan margin trading yang tidak diikuti dengan pengiriman
barang adalah tidak sah. Jelasnya bahwa konsep ekonomi Islam menjaga
keseimbangan sektor riel dan sektor moneter. Begitu pula dengan
perbankan Islam yang pertumbuhan pembiayaannya tidak dapat terlepas dari
pertumbuhan sektor riel yang dibiayainya.
Yang jelas tidak boleh
ada tambahan (keuntungan) tanpa adanya transaksi bisnis riel. Seorang
spekulan mata uang, yang maraup keuntungan dari selisih harga beli
dollar dan jualnya, adalah pelaku riba. Dalam ekonomi Islam, uang tidak
boleh dijadian sebagai komoditas sebagaimana yang banyak dipraktikkan
dewasa ini dalam kegiatan transaksi bisnis valuta asing. Menurut Ekonomi
Islam, transaksi valas hanya dibenarkan apabila digunakan untuk
kebutuhan transaksi di sektor riel, seperti membeli barang untuk
kebutuhan import, berbelanja atau membayar jasa di luar negeri dan
sebagainya. Jual-beli valas untuk kepentingan spekulasi, amat dilarang
dalam Islam. Jual-beli valas untuk kepentingan spekulatif menimbulkan
dampak negatif bagi perekonomian.
Dampak spekulasi valas ialah nilai
suatu mata uang dapat berfluktuasi secara liar. Solusinya adalah
mengatur sektor finansial agar menjauhi dari segala transaksi yang
mengandung riba, seperti transaksi-transaksi maya di pasar uang.
Mengambil gain dan keuntungan tanpa didasarkan pada kegiatan bisnis
sektor riil adalah riba, baik di pasar uang maupun di pasar modal. Maka,
seorang spekulan saham di pasar modal juga telah melakukan praktik
riba.bahkan lebih jauh ia telah masuk kepada praktik gharar dan maysir.
Demikian pula seorang yang ikut dalam transaksi bursa berjangka juga
telah melakukan transaksi ribawi.
Karena ekonomi Islam tidak
memisahkan sektor moneter dan sektor riil, maka jumlah uang yang beredar
menurut Islam, ditentukan oleh banyaknya permintaan uang di sektor riel
atau dengan kata lain, jumlah uang yang beredar sama banyaknya dengan
nilai barang dan jasa dalam perekonomian. Demikian kata Ibnu Taymiyah di
buku Majmu’ Fatawa pada abad pertengahan Islm
Dalam ekonomi Islam,
sektor finansial mengikti pertumbuhan sektor riel, Inilah perbedaan
konsep ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional, yaitu ekonomi
konvensional, jelas memisahkan antara sektor finansial dan sektor riel.
Akibat pemisahan itu, ekonomi dunia rawan krisis, Sebab, pelaku ekonomi
tidak lagi menggunakan uang untuk kepentingan sektor riel, tetapi untuk
kepentingan spekulasi mata uang.
Spekulasi inilah yang dapat
menggoncang ekonomi berbagai negara,apalagi negara yang kondisi
politiknya tidak stabil. Akibat spekulasi itu, jumlah uang yang beredar
sangat tidak seimbang dengan jumlah barang di sektor riel.
Spekulasi
mata uang yang mengganggu ekonomi dunia, umumnya dilakukan di
pasar-pasar uang. Pasar uang di dunia ini saat ini, dikuasai oleh enam
pusat keuangan dunia (London, New York, Chicago, Tokyo, Hongkong dan
Singapura). Nilai mata uang negara lain, bisa saja tiba-tiba menguat
atau sebaliknya. Lihat saja nasib rupiah semakin hari semakin merosot
dan nilainya tidak menentu.
Di pasar uang tersebut, peran spekulan
cukup signifikan untuk menggoncang ekonomi suatu negara. Lihatlah
Inggris, sebagai negara yang kuat ekonominya, ternyata pernah
sempoyongan gara-gara ulah spekulan di pasar uang, apalagi kondisinya
seperti Indonesia, jelas menjadi bulan-bulanan para spekulan. Demikian
pula ulah George Soros di Asia Tenggara tahun 1997..
Bagi spekulan,
tidak penting apakah nilai menguat atau melemah. Bagi mereka yang
penting adalah mata uang selalu berfluktuasi. Tidak jarang mereka
melakukan rekayasa untuk menciptakan fluktuasi bila ada momen yang
tepat, biasanya satu peristiwa politik yang menimbulkan ketidakpastian.
Menjelang momentum tersebut, secara perlahan-lahan mereka membeli
rupiah, sehingga permintaan akan rupiah meningkat. Ini akan mendorong
nilai rupiah secara semu ini, akan menjadi makanan empuk para spekulan.
Bila momentumnya muncul dan ketidakpastian mulai merebak, mereka akan
melepas secara sekaligus dalam jumlah besar. Pasar akan kebanjiran
rupiah dan tentunya nilai rupiah akan anjlok. Para spekulan meraup
keuntungan dari selisih harga beli dan harga jual. Makin besar
selisihnya, makin menarik bagi para spekulan untuk bermain.
Kesadaran ekonom dan negara maju
Sebenarnya, sebagian pakar ekonomi dunia telah menyadari kerapuhan
sistem moneter kapitalisme seperti itu. Teori Bubble growth dan random
walk telah memberikan penjelasan yang meyakinkan tentang bahaya
transaksi maya (bisnis dan spekulasi mata uang dan bisnis (spekulasi)
saham di pasar modal).
Para pemimpin negara-negara G7 pun, telah
menyadari bahaya dan keburukan transaksi maya dalam perekonomian. Pada
tahun 1998 mereka menyepakati bahwa perlu adanya pengaturan di pasar
uang sehingga tidak menimbulkan krisis yang berkepanjangan. Jadi, bila
negara-negara G7 telah menyadari bahaya transaksi maya, mengapa
Indonesia masih belum melihat dampak negatifnya bagi perekonomian dan
segera mendorong konsep dan blueprint ekonomi Islam..
Selanjutnya,
untuk meminimalisir kegiatan spekulasi dan bubble economy para ekonom
Barat mengusulkan untuk mengetatkan regulasi investasi. Ben Bernake,
Chairman of Federal Reserve bahkan sampai meminta kepada konggres AS
untuk menyetujui penambahan regulasi bagi bank investasi agar tidak
terjadi spekulasi yang berlebihan di pasar aset keuangan. Pendapat
senada juga diutarakan oleh Direktur IMF Strauss-Kahn mengenai perlunya
penambahan aturan dan transparansi untuk menghidari krisis yang lebih
parah. Meskipun kedua pernyataan ini terdengar berlawanan dengan
semangat kapitalisme AS, namun akhirnya sebagian ekonom dan pengamat
pasar keuangan sepakat bahwa liberalisasi pasar keuangan cenderung
mendorong kepada ketidakstabilan ekonomi.
Joseph Stiglitz, pemenang
Hadiah Nobel 2002 dari Harvard University mengatakan, “Pada akhirnya,
Negara AS yang selama ini membangga-banggakan sistem kapitalisme yang
dianutnya ke berbagai negara di dunia, mendapat kritikan tajam setelah
AS sendiri tidak mampu membuktikan bahwa model ekonomi yang dianutnya
adalah model ekonomi yang bisa mensejahterakan umat manusia”.
Menurut Stiglitz, krisis keuangan di AS yang menjalar menjadi krisis
keuangan global bahkan lebih buruk dari Great Depression pada era
1930-an, telah membuka mata masyarakat internasional akan rapuhnya
sistem kapitalisme yang dianut Negeri Paman Sam. Sistem ini terbukti,
pada akhirnya hanya membuat mereka yang menganutnya menjadi sengsara dan
menderita .(Washington Post)
Sementara itu, menurut Krugman, peraih
Nobel Ekonomi 2008, ekonomi dunia akan mengalami resesi dalam kurun
waktu yang lama. Dia mengakui bahwa krisis ini memang menakutkan,
PernyAtaan senada diungkapkan Investor dunia, George Soros. Dia menilai
krisis yang menerjang pasar finansial saat ini sangat serius. Krisis
ini, menurutnya, lebih hebat dibanding krisis finansial lainnya sejak
berakhirnya Perang Dunia kedua,. Soros menegaskan yang terancam resesi
bukan hanya perekonomian Amerika Serikat saja, tapi juga Eropa.
Karena kegawatan sistem moneter global tersebut, PM Inggris Gordon Brown
mengatakan agar dibentuk arsitektur keuangan dunia baru menyerupai
Bretton Woods yang muncul setelah Perang Dunia II. Bagi Eropa, krisis
ini begitu dalam, AS harus siap dengan sistem baru itu, Christian de
Boissieu, ekonom dan penasihat Presiden Sarkozy. mengatakan pembentukan
sistem itu kemudian harus melibatkan pengganti Presiden Bush.
Di
samping itu, Kanselir Jerman Angela Merkel mendukung pertemuan G-8, yang
juga dihadiri pemimpin China, Brasil, dan India di New York. Pertemuan
itu mengusulkan pembentukan Bretton Woods II, seperti usulan Perancis.
Sementara
itu, negara-negara kaya dan berkembang yang tergabung dalam Kelompok
20 (G-20) yang menguasai 85 persen perekonomian dunia, menyatakan, bahwa
mereka bertekad akan menggunakan segala cara untuk mengatasi krisis
finansial yang mengguncang pasar dunia. untuk menjamin stabilitas dan
berfungsinya dengan baik pasar financial.
Para pemimpin Asia dan
Eropa yang bertemu dalam Konferensi Tingkat Tinggi Ke-7 Asem di Beijing,
China, pada 25 Oktober 2008 telah mnyepakati untuk segera melakukan
perombakan sistem moneter dan finansial internasional secara menyeluruh
dan efektif. Mereka juga menyerukan kepada Dana Moneter Internasional
(IMF) agar segera mengambil peran utama dalam membantu negara-negara
yang kesulitan keuangan.
Usulan perombakan sistem moneter dan
finansial internasional sebelumnya keras disuarakan Eropa. Kini suara
itu makin menguat dengan dukungan dari negara-negara Asia melalui KTT
Asem yang dihadiri para pemimpin dari 43 negara itu.
Presiden
Perancis Nicolas Sarkozy menyatakan, ”Eropa berusaha menawarkan untuk
keluar dari krisis keuangan yang di luar perkiraan. Ini adalah pertemuan
tingkat tinggi yang sangat bermanfaat dan menjanjikan. Eropa dan Asia
memiliki banyak hal yang bisa dilakukan bersama.
Dengan menyatunya
suara Eropa dan Asia itu, tinggal Amerika Serikat yang masih harus
menetapkan pendirian. AS selama ini diketahui enggan merombak sistem
finansialnya yang memiliki banyak kelemahan dalam hal kontrol.
Alasannya, karena khawatir akan mengganggu asas perdagangan bebas.
Ekonom
Universitas Indonesia, Faisal Basri, pernah mengungkapkan, kapitalisme
mutakhir yang digerakkan sektor keuangan (financially-driven capitalism)
tumbuh pesat luar biasa sejak awal dasawarsa 1980-an. Transaksi di
sektor keuangan meroket ratusan kali lipat dibandingkan dengan nilai
perdagangan dunia
.
Di negara-negara maju, lalu lintas modal
bebas bergerak praktis tanpa pembatasan. Sementara itu, makin banyak
saja negara berkembang yang mengikuti jejak meliberalisasikan lalu
lintas modal. Jika pada tahun 1970-an hanya 20 persen emerging market
countries yang tergolong liberal dalam lalu lintas modal mereka, dewasa
ini sudah meningkat dua kali lipat.
Uang dan instrumen keuangan
lainnya tak lagi sekadar sebagai penopang sektor produksi riil,
melainkan telah menjelma sebagai komoditas perdagangan, diternakkan
beranak pinak berlipat ganda dalam waktu singkat. Produk-produk keuangan
dengan berbagai macam turunannya menghasilkan ekspansi kapitalisme
dunia yang semu.
Sumber : pesantrenvirtual.com
Sabtu, 11 Februari 2012
Bahaya Transaksi Derivatif
Sabtu, Februari 11, 2012
No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Pendapat:
Posting Komentar