Oleh:
Punto Jatmiko
Punto Jatmiko
Fakultas Ekonomi
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Negara kepulauan
Indonesia memiliki beraneka ragam aktivitas, dan kesibukan penduduk masing-masing
didalamnya memberikan sebuah pesona yang menggambarkan keunikan dari setiap daerah. Penduduk Indonesia
yang berjumlah lebih dari 237 juta jiwa dengan berbagai ragam struktur sosial
yang ada baik dari golongan atas, menengah, maupun ke bawah telah memberikan
dinamika kehidupan sosial bagi Indonesia. Banyak kebutuhan yang diinginkan
membuat permintaan akan konsumsi sangat tinggi, baik dari sektor riil maupun
moneter. Sudah pasti masyarakat harus berusaha untuk memenuhi kebutuhannya
tersebut baik dengan cara meminta atau dengan mencari nafkah untuk memenuhi
kebutuhannya tersebut. Lantas dengan minimnya pekerjaan layak yang ada di
Indonesia mengakibatkan banyaknya masyarakat yang merasa tidak sesuai dengan
pekerjaan yang diinginkan bahkan untung-untungan bisa menjadi buruh di suatu
perusahaan. Sarjana yang saat ini menjadi standar akademik suatu perusahaan
membuat masyarakat miskin semakin berteriak karena biaya yang mahal. Buruh yang
definisinya adalah mereka yang bekerja pada majikan dan menerima upah menjadi
alternatif paling bontot yang diinginkan oleh tenaga pencari kerja supaya
mendapatkan rejeki.
Isu tentang
perburuhan saat ini merupakan salah satu
isu yang sering cepat dilupakan. Buruh yang menjadi tulang punggung
perekonomian nasional hanya dipandang sebelah mata, terlihat dari kehidupan
kaum buruh yang tak kunjung membaik. Desakan dari serikat pekerja maupun
perundingan antara pengusaha, pemerintah dan buruh selalu berujung kegagalan.
Kontribusi buruh yang sangat besar ternyata tidak mendapatkan apresiasi dari
pemerintah. Dari tahun ke tahun muncul permasalahan buruh terutama yang
berkaitan dengan kesejahteraan. Kondisi ini kemudian diperparah dengan
peraturan yang dikeluarkan pemerintah yang juga tidak memihak pada buruh.
Upah seharusnya
mencakup semuanya tetapi kenyataannya upah hanya merupakan gaji pokok tanpa
memperhitungkan tunjangan, itupun masih jauh dari kebutuhan riil pekerja. Di
Indonesia sendiri, kesejahteraan buruh sendiri hanya sebatas upah minimum yang
diberikan saja. Upah minimum menjadi patokan pemilik modal untuk memberikan
balas jasa kepada pekerjanya. Penetapan upah minimum merupakan ciri menonjol
intervensi negara pada pasar tenaga kerja dibanyak negara sedang berkembang
(Squire, 1982).
Berbanding terbalik dengan kelas
bawah, bahwa
kelas menengah atas pun tidak kalah meriahnya. Faktanya penduduk kelas menengah
di Indonesia terus mengalami pertumbuhan pesat. Bahkan, dalam satu dekade dari
1999 hingga 2009, kelompok ini telah melonjak dua kali lipat dari 45 juta jiwa
menjadi 93 juta jiwa. Menurut Drajad (2011) ada tiga faktor penyebab orang kaya
baru berkembang pesat di Indonesia. Pertama yaitu tingkat pendidikan masyarakat
Indonesia yang semakin membaik. Belakangan ini, semakin banyak penduduk yang
mengenyam akses pendidikan sejak diberlakukannya wajib belajar dulu. Kedua
adalah reformasi ekonomi dan politik telah menciptakan banyak orang kaya baru
terutama dari perkebunan, pertambangan khususnya batu bara dan sebagian
kehutanan. Kalau sebelumnya akses terhadap kekayaan sumber alam hanya dikuasai
kelompok terbatas, sekarang lebih meluas ke kaum elit-elit politik, daerah, dan
organisasi masyarakat. Ketiga, imbas dari booming
sektor keuangan, teknologi informasi dan industri kreatif menciptakan orang
kaya baru dari kelompok muda.
Namun faktanya,
pertumbuhan kelas menengah tersebut masih disertai dengan ketimpangan yang
cukup besar, terutama dengan buruh, petani dan nelayan. Jumlah penduduk miskin
masih menjadi perhatian yaitu sekitar 31 juta jiwa. Mengacu hasil survey Badan
Pusat Statistik pada tahun 1999 dan 2009, kelompok menengah meningkat hampir
tiga kali lipat, dari 7,5 juta menjadi 22 juta jiwa. Kelompok menengah atas
bahkan naik lima kali lipat dari 0,4 juta menjadi 2,23 juta jiwa. Sedangkan
kelompok yang berkecukupan naik 0,1 juta menjadi 0,37 juta jiwa. Pertumbuhan
kelas menengah ini seiring dengan pendapatan per kapita Indonesia yang meningkat
menjadi US$3000 per tahun pada 2010. Menurut Credit Suisse (2010), di Indonesia
jumlah pemilik kekayaan bersih di atas Rp 9 miliar diperkirakan mencapai 60
ribu orang dewasa. Sebagian besar, lebih dari 80 persen kekayaan orang
Indonesia tersebut diinvestasikan dalam instrumen non finansial, seperti
properti baik bangunan dan tanah. Bukan hanya untuk kelompok miliarder, secara
keseluruhan, tercatat rata-rata kekayaan orang Indonesia meningkat lima kali
lipat dalam sepuluh tahun terakhir. Jumlah kelompok ini dipastikan bakal terus
tumbuh seiring dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tergolong cukup tinggi
di Asia. Kelompok ini dikenal sebagai kalangan yang gemar konsumsi.
Realita ketimpangan antara buruh dengan orang kaya
baru di Indonesia inilah yang kemudian memunculkan marginalitas buruh, karena
ada pergeseran kepentingan yang menempatkan buruh pada posisi yang serba sulit
dan selalu harus dikorbankan. Perjuangan dan negosiasi untuk memperjuangkan
kesejahteraan justru dilawan oleh pengusaha dan negara dengan kebijakan dan
aturan yang semakin menenggelamkan harapan buruh. Pemecahan masalah
kesejahteraan buruh bisa dilakukan dengan salah satunya adalah dengan memupuk
kesadaran kelas dalam serikat-serikat buruh untuk memperjuangkan kesejahteraan
buruh. Peran negara menjadi penting untuk menjembatani dan melindungi
kepentingan kaum buruh. Pengusaha maupun perusahaan harus menempatkan buruh
bukan sebagai faktor produksi melainkan partner.
Daftar Referensi
www.bps.go.id
www.detik.com
www.scribd.com
0 Pendapat:
Posting Komentar