Retnia Wulandari
Mahasiswa Akuntansi Fakultas Ekonomi
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Salah satu indikator dalam penilaian
ketangguhan perekonomian suatu negara adalah keseimbangan pertumbuhan antara
sektor finansial dan sektor riil. Pertumbuhan sektor finansial yang siginifikan
tanpa diimbangi dengan komitmen peningkatan pertumbuhan sektor riil rentan
menimbulkan buble economic yang
berimbas pada krisis finansial. Karenanya, keberadaan sektor riil menjadi
penting agar pertumbuhan ekonomi dapat dirasakan secara merata bagi masyarakat
serta mampu menggerakan segenap aspek perekonomian suatu negara. Lembaga
keuangan menjalankan peran penting dalam pelaksanaan fungsi intermediasi antara
sektor finansial dan sektor riil.
Perbankan
syariah sebagai salah satu sektor perekonomian prospektif dengan pertumbuhan
asset mencapai 48,1% (yoy) pada Oktober 2011 memiliki nature of business yang berorientasi pada sektor riil. Aspek
keadilan dalam kemaslahatan umat menjadi tujuan utama perbankan syariah.
Perbankan syariah berupaya menggerakkan sektor riiil melalui kegiatan
pembiayaan berbasis ekuitas dengan tujuan tolong menolong dalam mencapai
kemaslahatan (rahmatan lil alamin).
Maka tidak mengherankan ketika sebesar 78,72% aktiva perbankan syariah atau Rp
96,62 triliun digulirkan begi sektor ini. Namun, dari presentase sebesar itu,
sebagian besar masih mengarah pada pembiayaan dengan tujuan konsumtif. Di mana
pembiayaan dengan akad murabahah masih memiliki proporsi tertinggi. Sisi
perbandingan komposisi portofolio pembiayaan antara industri perbankan secara
nasional dan syariah, terlihat bahwa pembiayaan syariah, yang didominasi
transaksi berbasis jual-beli, di mana risikonya relatif rendah, terutama
disalurkan untuk sektor retail, jasa usaha dan perdagangan[1].
Hingga tahun 2011 menurut data Bank
Indonesia, tercatat pembiayaan murabahah mencapai 17,23 triliun atau meningkat
sebesar 49,46% meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Fakta tersebut kemudian
memunculkan kekhawatiran terabaikannya komitmen perbankan syariah dalam meningkatkan
perekonomian “masyarakat ekonomi lemah” melalui fokus pembiayaan sektor riil
produktif.
Mannan (2000) menyatakan “…Don’t call a bank as an Islamic bank, if the
Islamic bank does not want to serve the grassroots”. Hal tersebut
menegaskan kembali orientasi utama perbankan syariah dalam menggerakan sektor
ekonomi lemah. Pembiayaan yang mengarah pada orientasi produktif seperti pembiayaan
UMKM dan sektor strategis lainnya hendaknya mendapatkan proporsi yang lebih besar
mengingat peran tersebut pembiayaan ini dalam menggerakan perekonomian.
Implementasi menggerakan ekonomi lemah
dilakukan melalui pembiayaan dengan akad mudharobah dan musyarakah. Faktanya,
pembiayaan ini masih kalah dibandingkan dengan pembiayaan murabahah. Hingga
tahun 2011, tercatat proporsi pembiayaan musyarakah berada pada angka 4,31 triliun
dan 1,73 triliun untuk pembiayaan mudharobah. Rendahnya pembiayaan mudharobah
disebabkan tingginya resiko pembiayaan dimana bank syariah menyediakan dana
100% dan bila terjadi kerugian maka bank harus menanggung kerugian tersebut[2].
Pembiayaan sektor riil produktif dinilai
akan memberikan resiko lebih tinggi serta jangka waktu yang lebih panjang dalam
pengembalian modal. Karenanya tidak banyak lembaga keuangan yang menjadikan
sektor ini sebagai sektor utama dalam penyaluran pembiayaannya. Padahal ketika
kita dilihat perkembangan beberapa sektor riil cukup potensial. Diversifikasi
pembiayaan pada sektor-sektor strategis tentu memberikan peluang yang lebih. Perbankan
syariah sebagai bank yang berorientasi pada grassroot
sudah selayaknya mulai melakukan reorientasi fokus pada pengembangan sektor
riil produktif untuk meningkatkan perekonomian masyarakat.
Upaya untuk mengurangi resiko pembiayaan
mudharobah dan musyarakah, bank syariah harus didukung oleh lembaga pembiayaan
penjaminan. Chapra (1996): “The risk may
be reduced by introducing a loan guarantee and partly by the government and
partly by the commercial banks”. Sinergisasi peran antara perbankan syariah
dan asuransi syariah menjadi alternatif solusi dalam upaya risk sharing dalam menggerakan sektor riil produktif.
[2] Mulya Siregar, Agenda Pengembangan Perbankan Syariah untuk
Mendukung Sistem Ekonomi yang sehat di Indonesia: Evaluasi, Prospek dan Arah
Kebijakan
0 Pendapat:
Posting Komentar