Oleh:
A. Pendahuluan
Kurikulum
ekonomi syariah kian diminati. Sebanyak lima wilayah di Jawa Barat
(Kabupaten dan Kota Cirebon, Kuningan, Indramayu, dan Majalengka) akan
menerapkan kurikulum ekonomi syariah di tingkat SMP dan SMA. Tiga tahun
lalu, Tasikmalaya telah memasukkan ekonomi syariah sebagai mata
pelajaran muatan lokal di tingkat SMP dan Madrasah Tsanawiyah.[2]
Tujuannya agar pemahaman terhadap ekonomi syariah dapat ditanamkan
sejak dini. Selama ini penyiapan sumber daya manusia syariah lebih
banyak difokuskan di tingkat perguruan tinggi. Padahal, permintaan yang
sama di SMP dan SMA juga banyak.[3]
Sebelumnya, Depdiknas menyetujui Universitas Gajah Mada (UGM) dan Universitas Indonesia (UI) membuka program studi ekonomi Islam. Depdiknas memberi kepercayaan kepada IAEI untuk membuat rekomendasi bagi perguruan tinggi yang ingin membuka program studi ekonomi Islam.[4]
Menteri Pendidikan Nasional, berharap agar lebih banyak perguruan tinggi membuka program studi ekonomi syariah di level S1 dan diploma. Pasalnya industri keuangan syariah saat ini terus berkembang sehingga dibutuhkan SDM berkualitas untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Dengan mulai banyaknya perguruan tinggi yang membuka program pendidikan ekonomi Islam diharapkan akan menghasilkan SDM berkualitas sehingga industri perbankan syariah Indonesia dapat terus berkembang.[5]
Salah satu persoalan utama yang kini dihadapi industri keuangan syariah sebagai salah satu wujud praktik ekonomi Islam di dunia, termasuk Indonesia adalah ketersedian SDM berkualitas. Terus berkembangnya industri keuangan dan perbankan syariah mendorong meningkatnya kebutuhan SDM berkualitas. Bank Indonesia pernah menyatakan untuk mengejar pangsa pasar perbankan syariah menjadi lima persen, Indonesia kekurangan tenaga kerja sekitar 40 ribu.[6]
Persoalan kedua adalah kurangnya pemahaman masyarakat terhadap sistem keuangan dan perbankan syariah. Hal tersebut terlihat dari belum banyaknya masyarakat yang mengakses layanan perbankan syariah dibandingkan layanan perbankan konvensional.
Salah satu perusahaan konsultan manajemen terbesar dunia, AT Kearney melaporkan terbatasnya SDM berkualitas di sektor perbankan syariah akan menjadi kendala terbesar dalam mengembangkan industri tersebut. Terlebih, dengan terus berkembangnya industri perbankan syariah, maka tuntutan akan SDM baru berkualitas akan semakin besar. AT Kearney memprediksi industri perbankan syariah Timur Tengah dalam satu dekade mendatang membutuhkan sedikitnya sekitar 30 ribu SDM baru berkualitas.
Menurut Direktur Dow Jones Islamic Market Index (DJIM), Rushi Siddiqui, terbatasnya sumber daya juga terjadi di sisi SDM pengawas syariah. Terlebih, kebutuhan akan SDM tersebut diprediksi akan terus meningkat sejalan dengan semakin banyaknya lembaga keuangan konvensional Barat yang mulai memasuki bisnis syariah.
Siddiqui
menyebutkan, data terbaru Islamic Finance Information Service (IFIS) di
London menunjukkan jumlah pakar syariah internasional saat ini sangat
terbatas. Pada tahun 2006, hanya terdapat 187 pakar syariah
internasional yang melakukan supervisi kesesuaian syariah bagi total 200
lembaga keuangan syariah di dunia. Sheikh Nizam Yaquby asal Bahrain
misalnya mensupervisi hampir 40 lembaga keuangan syariah. Siddiqui
menyebutkan, berdasarkan data tersebut, lembaga keuangan syariah dunia
terbukti masih membutuhkan penambahan jumlah pakar syariah lebih banyak.
Saat ini, terdapat sekitar 300 lembaga keuangan syariah di dunia. Mereka tersebar lebih di 75 negara. Pada awal tahun lalu, nilai aset mereka diestimasi mencapai sekitar 300 miliar dolar AS. Nilai aset itu diproyeksi akan tumbuh cukup signifikan dalam beberapa tahun mendatang dipicu tingginya permintaan pasar atas produk keuangan syariah. Situs www.researchandmarkets.com, melansir hasil penelitian mengenai perkembangan keuangan syariah global. Berdasarkan penelitian itu, perbankan syariah merupakan industri keuangan di dunia dengan tingkat pertumbuhan paling cepat.[7] Walaupun demikian, jika dibanding dengan lembaga keuangan konvensional masih sangat jauh market sharenya. Misalnya, di Indonesia market share perbankan Syariah masih di bawah 3 % dari perbankan nasional.
Akan tetapi, kebutuhan SDM ekonomi Islam yang benar-benar berkualitas merupakan kebutuhan pokok dan mendesak untuk mendorong pengembangan ekonomi Islam lebih kencang lagi. Untuk itu, eksistensi institusi pendidikan ekonomi Islam merupakan keniscayaan. Dalam paper ini akan dipaparkan demand SDM ekonomi berkualitas, eksistensi dan masa depan institusi pendidikan ekonomi Islam dalam konteks perkembangan trend ekonomi global.
B. Trend Ekonomi Era Global
Era globalisasi (the age of globalization), dalam beberapa literature dinyatakan bermula pada dekade 1990-an.[8]
Era ini ditandai, diantaranya dengan adanya fenomena penting dalam
bidang ekonomi. Kegiatan ekonomi dunia tidak hanya dibatasi oleh faktor
batas geografi, bahasa, budaya dan ideologi, akan tetapi lebih karena
faktor saling membutuhkan dan saling bergantung satu sama lain.[9]
Dunia menjadi seakan-akan tidak ada batas, terutama karena perkembangan
teknologi informasi yang begitu pesat. Keadaan yang demikian melahirkan
banyak peluang sekaligus tantangan,[10] terutamanya dalam upaya pengembangan ekonomi Islam.[11]
Proses
globalisasi diperkirakan semakin bertambah cepat pada masa mendatang,
sebagaimana dikemukakan oleh Colin Rose bahwa dunia sedang berubah
dengan kecepatan langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kehidupan
masyarakat termasuk kehidupan hukum dan ekonominya menjadi semakin
kompleks.[12]
Pada dasarnya sistem ekonomi menunjuk pada satu kesatuan mekanisme dan lembaga pengambilan keputusan yang mengimplementasikan keputusan tersebut terhadap produksi, konsumsi dan distribusi pendapatan.[13] Karena itu, sistem ekonomi merupakan sesuatu yang penting bagi perekonomian suatu negara. Sistem ekonomi terbentuk karena berbagai faktor yang kompleks, misalnya ideologi dan sistem kepercayaan, pandangan hidup, lingkungan geografi, politik, sosial budaya, dan lain-lain.
Pada era global ini terdapat berbagai macam sistem ekonomi negara-negara di dunia. Meskipun demikian secara garis besar, sistem ekonomi dapat dikelompokkan pada dua kutub, yaitu kapitalisme dan sosialisme. Sistem-sistem yang lain seperti welfare state, state capitalism, market socialisme, democratic sosialism pada dasarnya bekerja pada bingkai kapitalisme dan sosialisme. Akan tetapi, sejak runtuhnya Uni Soviet, sistem sosialisme dianggap telah tumbang bersama runtuhnya Uni Soviet tersebut. Oleh karena itu sistem ekonomi kapitalisme yang hingga kini masih menjadi sistem ekonomi kuat di dunia.
Sistem ekonomi kapitalis yang saat ini berkembang, memanglah tidak sama persis dengan pada masa awal lahirnya. Telah terjadi evolusi dalam proses perjalanan sistem kapitalis menuju ke arah yang lebih humanis dan memperhatikan etika, sebagaimana telah disinggung dalam pendahuluan artikel ini. Era ekonomi dewasa ini di era global sering disebut era ekonomi modern atau ekonomi baru (the new economy). Ekonomi Baru sebenarnya menyangkut keseluruhan industri (dalam arti luas) yang bersaing dalam tatanan dan cara baru. Ekonomi Baru bukan hanya menyangkut teknologi tinggi, tetapi lebih pada berinovasi dalam melakukan bisnis, terkait dengan produk (barang/jasa) dan sebagainya. Aktivitas produktif dalam Ekonomi Baru menghadapi isu dan karakteristik yang hampir serupa, yaitu cepat, global, berjaringan, semakin dipengaruhi/ditentukan oleh pengetahuan, semakin sarat teknologi/inovasi.
Perbedaan Ekonomi Baru dengan ekonomi lama (sebelumnya) pada dasarnya lebih pada paradigma dalam melaksanakan atau mengelola dan mengembangkan aktivitas ekonomi. Ekonomi Baru sangat sarat dengan dinamika perubahan yang cepat, aktivitas yang seolah tanpa batas (borderless), dan jaringan yang menjadi pola hubungan keseharian yang menentukan bagaimana proses nilai tambah dilakukan, serta bagaimana keterkaitan dan daya saing dibangun dan dipertahankan. Terlebih penting lagi sebenarnya adalah bahwa pengetahuan (knowledge) dan inovasi dianggap sebagai pendorong utama (the driving force) bagi Ekonomi Baru. Kenyataan ini memang untuk sementara ini lebih signifikan terjadi di negara ekonomi maju.
Senapas dengan Ekonomi Baru, berkembang jargon lain yaitu ekonomi pengetahuan atau ekonomi berbasis pengetahuan. Ekonomi pengetahuan (knowledge economy) merupakan suatu ekonomi yang membuat penggunaan pengetahuan secara efektif untuk pembangunan ekonomi dan sosial. Ini mencakup tapping pengetahuan asing, adaptasi dan menciptakan pengetahuan untuk kebutuhan-kebutuhan spesifik (World Bank Institute). Dalam definisi yang lain, Ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-based economy/KBE) pada dasarnya merupakan ekonomi di mana penciptaan (produksi), penyebarluasan (distribusi) dan pemanfaatan/pendayagunaan ilmu pengetahuan menjadi penggerak utama pertumbuhan, pengembangan kesejahteraan, dan penciptaan/perluasan lapangan kerja di semua industri/sektor ekonomi (McKeon dan Weir, 2000).
Istilah
berbeda yaitu Ekonomi Baru, ekonomi pengetahuan, Ekonomi berbasis
pengetahuan sebenarnya berbicara inti filosofis yang sama. Esensi
penting dari paradigma Ekonomi Modern adalah bahwa (1) Pengetahuan
merupakan satu di antara sumber daya terpenting dalam pembangunan; (2)
Kemampuan inovasi semakin menentukan keberhasilan bisnis/ekonomi; (3)
Kompetensi merupakan basis untuk fokus aktivitas produktif; (4)
Jaringan/keterkaitan rantai nilai menjadi pola aktivitas ekonomi
terbaik; (5) Faktor lokalitas semakin menentukan keunggulan dalam
persaingan global (keunggulan dalam tata persaingan global semakin
ditentukan oleh kemampuan bersaing dengan bertumpu pada potensi terbaik
lokal).[14]
C. Kagagalan Ekonomi Kapitalis dan Munculnya Mazhab Positif Ekonomi
C. Kagagalan Ekonomi Kapitalis dan Munculnya Mazhab Positif Ekonomi
Kegagalan ilmu konvensional kapitalis dalam menciptakan keadilan sosial dan menyelesaikan persoalan manusia sudah tidak terbantah.[15] Secara internasional hal itu dapat disimak melalui buku The Death of Economics karya Ormerod (1998), atau melalui buku Economics as Religion karya Nelson (2001). Sedangkan secara nasional, hal itu dapat disimak melalui buku Ekspose Ekonomika karya Sri-Edi Swasono (2005). Sesuatu yang menggembirakan adalah bahwa telah terjadi perkembangan yang positif dalam ilmu ekonomi, di mana banyak pakar ekonomi telah melakukan kritik tajam terhadap kegagalan ilmu ekonomi konvensional kapitalis dan menyumbangkan pemikirannya dengan mengemukakan ide-ide yang mengarah kepada perbaikan paradigma ilmu ekonomi menuju yang lebih baik, yaitu perhatian terhadap nilai-nilai moral, etik, dan keadilan sosial. Misalnya dikemukakan oleh Thomas Friedman ketika diadakan konferensi Davos, Agustus 1997 yang menghimpun para pemimpin dari seluruh dunia. Ia mengatakan yang artinya: “Serangan terhadap mereka yang akan membangun dunia pada basis satu dimensi, di mana perdagangan adalah segalanya, di mana hanya perhitungan-perhitungan finansial saja yang perlu, dengan mudah akan menemui serangan moral potensial terhadap globalisasi”.[16]
Amitai Etzioni menyatakan bahwa paradigma ilmu ekonomi neoklasik pada hakikatnya tidak hanya mengabaikan dimensi moral, tetapi juga menolak dimasukkannya moral ke dalam paradigmanya. Oleh karena itu perlu ada paradigma baru dalam ilmu ekonomi yaitu perlunya dimasukkan nilai-nilai moral, karena hanya dengan cara itulah memungkinkan untuk mencari mana yang benar dan mana yang menyenangkan.[17]
Christofam Buarque,[18] menyatakan bahwa kegagalan ilmu ekonomi dalam pandangannya terletak kepada pengabaian nilai-nilai sosial dan etika.[19]
Tujuan sosial telah dikesampingkan dan dipandang sebagai konsekuensi
dari kemajuan teknik daripada sebagai tujuan peradaban. Sementara itu,
nilai-nilai etika telah dipinggirkan. Perlu ada suatu perubahan
fundamental dalam pendekatan, penyusunan kembali prioritas-prioritas
secara total. Pendekatan yang dimaksudkan yaitu:
1. suatu etika untuk melakukan redifinisi tentang tujuan peradaban.
2. suatu definisi baru tentang sasaran dan area kajian
Timothy Gorringe menyatakan bahwa mereduksi manusia yang homo sapiens (makhluk bijaksana) dengan hanya homo economicus yang secara rasional memaksimalkan utiliti, bertindak berasas self interest saja merupakan reduksi yang sangat telak terhadap nilai-nilai moral.[21] Oleh karena itu perlu didirikan mahkamah international untuk keadilan ekonomi.[22]
Clive Hamilton mengungkapkan bahwa ilmu ekonomi berkait dan bersepakat dengan kehidupan manusia, sedangkan manusia adalah makhluk yang berperasaan selain berakal, oleh karena itu ekonomi modern yang mengabaikan perasaan (moral/etika) dan spirituality merupakan kesalahan yang sangat telak. Memahami sesuatu dengan hanya berasaskan akal semata merupakan pemahaman yang tidak lengkap.[23]
Sejak terbitnya buku Max Weber The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism
(1904-1905) orang yakin adanya hubungan erat antara (ajaran-ajaran)
agama dan etika kerja, atau antara penerapan ajaran agama dengan
pembangunan ekonomi. Weber memang mulai dengan analisis ajaran agama
Protestan (dan Katolik), meskipun menjelang akhir hayatnya dibahas pula
agama Cina (1915, Taoisme dan Confucianisme), India ( 1916 Hindu dan
Budha), dan Yudaisme (1917).[24]
Sementara Kurt W. Rothschild memberikan salah satu metode penyelesaian problem etika dalam ekonomi. Beliau menyatakan bahwa fairness (sebagai salah satu kategori etika) dapat menjadi jembatan penghubung antara keadilan dan efisiensi dalam ilmu ekonomi. Walaupun mungkin akan terjadi penyimpangan yang sedikit dari yang diidealkan, akan tetapi konflik dasar antara nilai-nilai etika dan ekonomi hanya dapat didamaikan dengan baik melalui cara ini.[25]
Lain halnya dengan Edward E. Zajac, dalam buku Political Economy of Fairness, beliau menjelaskan beberapa teori keadilan ekonomi baik yang bersifat normatif maupun positif ekonomi seperti John Rowls’ Theory of Justice, Robert Nozick Theory of superfairness (normatif) dan Perceived Economic Justice in Public Utility Regulation (positif) dan sebagainya. Perbincangan dalam buku ini selalu mengkaitkan antara makro dan mikro ekonomi, karena sumber persoalan moral dalam ekonomi, di antaranya karena tidak mesranya link antara makro dan mikro ekonomi. Ini seperti telah banyak dikritik tentang pembagian makro dan mikro itu tidak tuntas.[26]
Sehubungan
dengan banyaknya kritik terhadap ekonomi konvensional kapitalistik,
saat ini telah muncul berbagai mazhab ekonomi positif kritis,[27] diantaranya:
1. Grant Economics yang menyatakan bahwa perilaku altruistic tidak mesti dianggap sebagai suatu penyimpangan terhadap rasionaliti. Perlu ada integrasi antara self interest dan altruisme. Menyamakan atau menyederhanakan perilaku rasional hanya dengan mementingkan diri sendiri adalah tidak realistik.
2. Ekonomi humanistic
yang menekankan perlunya pembentukan asas-asas humanismenya untuk
mendorong kesejahteraan manusia dengan mengakui dan mengintegrasikan
nilai-nilai kemanusiaan dasar. Mazhab ini tidak menganut utilitarianisme
kuno tetapi psikologi humanistic.
3. Ilmu
ekonomi sosial yang mencakup usaha untuk revolusi teori ekonomi
dipadukan dengan petimbangan-pertimbangan moral. Menurut Amartya Sen
(2001), menjauhkan ilmu ekonomi dari etika berati telah mengerdilkan
ilmu ekonomi welfare dan juga melemahkan basis deskriptif dan
prediktif ilmu ekonomi. Hausaman, salah satu pendukung paham ini, suatu
perekonomian yang secara aktif melakukan kritik diri sendiri dengan
aspek-aspek moral akan menjadi lebih menarik, lebih bersinar, dan lebih
bermanfaat.
4. Ilmu
ekonomi institusional yang beranggapan bahwa perilaku manusia
dipengaruhi oleh berbagai lembaga yang saling berkaitan seperti sosial,
ekonomi, politik, dan agama.
Kesulitan yang dihadapi oleh ilmu ekonomi konvensional telah diuji oleh sejumlah pakar ekonomi terkemuka dalam suatu kajian, Economics in The Future: Towards a New Paradigm.[28] Konsensus yang muncul dari buku ini adalah bahwa yang diperlukan untuk menyelamatkan ilmu ekonomi dari krisis yang sedang dialaminya, bukanlah dengan melakukan penafsiran teori ini atau teori itu atau melakukan perubahan-perubahan dalam paradigma ilmu ekonomi, tetapi yang diperlukan adalah mengubah paradigma itu sendiri dan bergerak menuju paradigma baru di mana problem-problem ekonomi tidak dikaji secara terpisah, tetapi dikaji dalam konteks keseluruhan sistem sosial, di mana ide-ide, visi masyarakat, dan nilai-nilai moral tidak disembunyikan, tetapi mendapatkan tempat dalam parameter yang mempengaruhi proses pembuatan keputusan ekonomi.[29] Perekonomian modern telah gagal untuk menjamin keadilan distributif, pertumbuhan yang berkesinambungan, pembangunan manusia yang seimbang, dan keharmonisan sosial. Hubungan antara nilai-nilai moral, keputusan ekonomi dan gelagat individu telah mengalami goncangan pada masa ekonomi konvensional kapitalis.
Menurut Umar Chapra,[30]
revolusi ilmiah dalam ekonomi konvensional tidak komplit sehingga
menyebabkan tiadanya mata rantai yang tegas antara mikroekonomi dan
makroekonomi. Kurangnya mata rantai penghubung antara makroekonomi dan
mikroekonomi telah menimbulkan ketidakpuasan di kalangan para ahli
ekonomi. Justeru dalam kenyataannya seakan-akan terjadi pertentangan
antara makroekonomi dan mikroekonomi. Analisis mikroekonomi yang
didasarkan kepada kebebasan individu berlebihan memberi perhatian lebih
kepada efisiensi dengan pareto, tetapi tidak memperhatikan
realisasi tujuan-tujuan makroekonomi yang didasarkan kepada pandangan
dunia agama, yang menuntut pengekangan kepentingan diri sendiri.
Dalam
konteks problem tersebut, nilai-nilai moral/etika mempunyai kemampuan
membantu tugas ini, karena ia bisa dipergunakan untuk menciptakan
keharmonisan sosial dengan cara mereduksi kesenjangan antara kepentingan
individu dan sosial dalam mendorong penggunaan sumber-sumber daya
langka selaras dengan keperluan untuk mewujudkan tujuan.[31]
Pasar tidak mempunyai kemampuan untuk melaksanakan tugas itu. Pasar perlu dilengkapi dengan nilai-nilai moral yang membantu mengarahkan preferensi individu supaya selaras dengan tujuan-tujuan humanitarian. Tujuan yang sedemikian, sulit dicapai tanpa adanya reformasi pada tingkat individu dan sosial yang seirama dengan nilai-nilai moral.[32]
Persoalannya adalah darimana nilai-nilai moral dalam ekonomi itu diambil, agar siapapun yang melanggarnya dapat dihukum. Apakah ekonomi sosial dan beberapa mazhab positif lainnya dapat menyediakannya? Apakah dari moralitas sosial? Mungkin jawabannya adalah tidak. Karena moralitas sosial bergantung kepada standar yang disepakatai sebagai konsensus yang diterima sebagai aksioma yang hampir tidak bisa didiskusikan lagi. Utilitarianisme dan kontrak sosial tidak mempunyai potensi dapat menyediakan nilai-nilai yang diterima oleh semua orang.
Oleh karena itu, perbincangan tentang sumber nilai ini membawa kepada satu pembahasan tentang ekonomi Islam, baik yang berhubungan dengan paradigma, tujuan dan metode. Ini bukan bermakna akan menghapus teori-teori dan karya yang sophisticated dalam ekonomi konvensional, akan tetapi menyempurnakan revolusi ilmiah yang dilakukan oleh ilmu ekonomi konvensional. Kenapa ekonomi Islam? Jawaban ringkasnya karena peluang untuk menciptakan suatu konsensus dalam dunia muslim lebih besar jika bahasan masalah dilakukan dalam kerangka pandangan dunia Islam.[33]
D. Reborn Ekonomi Islam: Trend Baru yang Universal
Tidak bisa dipungkiri, bahwa sebutan ekonomi Islam melahirkan kesan yang beragam. Bagi sebagian kalangan, kata “Islam” memposisikan Ekonomi Islam pada tempat yang sangat eksklusif, sehingga menghilangkan nilai kefitrahannya sebagai tatanan bagi semua manusia (rahmatan lil’alamin). Bagi lainnya, ekonomi Islam digambarkan sebagai ekonomi hasil racikan antara aliran kapitalis dan sosialis, sehingga ciri khas spesifik yang dimiliki oleh Ekonomi Islam itu sendiri hilang.
Umar Chapra menyebut ekonomi Islam dengan Ekonomi Tauhid. Tapi secara umum dapat dikatakan sebagai divine economics. Cerminan watak “Ketuhanan” ekonomi Islam bukan pada aspek pelaku ekonominya — sebab pelakunya pasti manusia — tetapi pada aspek aturan atau sistem yang harus dipedomani oleh para pelaku ekonomi. Ini didasarkan pada keyakinan bahwa semua faktor ekonomi termasuk diri manusia pada dasarnya adalah kepunyaan Allah, dan kepadaNya (kepada aturanNya) dikembalikan segala urusan.[34]
Sebagai
ekonomi yang ber-Tuhan maka Ekonomi Islam — meminjam istilah dari
Ismail Al Faruqi — mempunyai sumber “nilai-nilai normatif-imperatif”,
sebagai acuan yang mengikat. Dengan mengakses kepada aturan Ilahiah,
setiap perbuatan manusia mempunyai nilai moral dan ibadah. Setiap
tindakan manusia tidak boleh lepas dari nilai, yang secara vertikal
merefleksikan moral yang baik, dan secara horizontal memberi manfaat
bagi manusia dan makhluk lainnya.
Ekonomi Islam pernah tidak populer sama sekali. Kepopuleran ekonomi Islam bisa dikatakan masih belum lama. Oleh karena itu, sering muncul pertanyaan, apakah ekonomi Islam adalah baru sama sekali? Jika melihat pada sejarah dan makna yang terkandung dalam ekonomi Islam, ia bukan sistem yang baru. Argumen untuk hal ini antara lain: pertama, Islam sebagai agama samawi yang paling mutakhir adalah agama yang dijamin oleh Allah kesempurnaannya, seperti ditegaskan Allah dalam surat Al-Maidah (5):3. Di sisi lain, Allah SWT juga telah menjamin kelengkapan isi Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia yang beriman dalam menjalankan perannya sebagai khalifah Allah di muka bumi. Hal ini ditegaskan Allah SWT dalam firmannya QS Al-An’am (6):38.
Kedua, sejarah mencatat bahwa umat Islam pernah mencapai zaman keemasan, yang tidak dapat disangkal siapapun. Dalam masa itu, sangat banyak kontribusi sarjana muslim yang tetap sangat diakui oleh semua pihak dalam berbagai bidang ilmu sampai saat ini, seperti matematika, astronomi, kimia, fisika, kedokteran, filsafat dan lain sebagainya. Sejarah juga membuktikan, bahwa sulit diterima akal sehat sebuah kemajuan umat dengan begitu banyak kontribusi dalam berbagai lapangan hidup dan bidang keilmuan tanpa didukung lebih awal dari kemajuan di lapangan ekonomi.
Ketiga, ٍsejarah juga mencatat banyak tokoh ekonom muslim yang hidup dan berjaya di zamannya masing-masing, seperti Tusi, Al-Farabi, Abu Yusuf, Ibnu Taimiyyah, Al-Maqrizi, Syah Waliyullah, Ibnu Khaldun dan lain-lain.[35] Bahkan yang disebut terakhir (Ibnu Khaldun) diakui oleh David Jean Boulakia[36] sebagai berikut: “Ibn Khaldun discovered a great number of fundamental economic notions a few centuries before their official births. He discovered the virtues and the necessity of a division of labor before (Adam) Smith and the principle of labor before Ricardo. He elaborated a theory of population before Malthus and insisted on the role of the state in the economy before Keynes. The economist who rediscovered mechanisms that he had already found are too many to be named.”
Ketiga argumen dan indikator di atas dapat dipakai sebagai pendukung yang amat meyakinkan bahwa sistem ekonomi Islam bukanlah hal baru sama sekali. Namun patut diakui bahwa sistem yang pernah berjaya ini pernah tenggelam dalam masa yang cukup lama, dan sempat dilupakan oleh sementara pihak, karena kuatnya dua sistem yang pernah berebut simpati dunia yaitu sistem kapitalisme dan sosialisme.
Sistem
ekonomi Islam mengalami perkembangan sejarah baru pada era modern.
Menurut Khurshid Ahmad, yang dikenal sebagai bapak Ekonomi Islam, ada
empat tahapan perkembangan dalam wacana pemikiran ekonomi Islam, yaitu:
1. Tahapan Pertama,
dimulai ketika sebagian ulama, yang tidak memiliki pendidikan formal
dalam bidang ilmu ekonomi namun memiliki pemahaman terhadap
persoalan-persoalan sosio-ekonomi pada masa itu, mencoba untuk
menuntaskan persoalan bunga. Mereka berpendapat bahwa bunga bank itu
haram dan kaum muslimin harus meninggalkan hubungan apapun dengan
perbankan konvensional. Masa ini dimulai kira-kira pada pertengahan
dekade 1930-an dan mengalami puncak kemajuannya pada akhir dekade
1950-an dan awal dekade 1960-an. Pada masa itu di Pakistan didirikan
bank Islam lokal yang beroperasi bukan pada bunga. Sementara itu di
Mesir juga didirikan lembaga keuangan yang beroperasi bukan pada bunga
bernama Mit Ghomir Local Saving. Tahapan ini memang masih bersifat
prematur dan coba-coba sehingga dampaknya masih sangat terbatas.
Meskipun demikian tahapan ini telah membuka pintu lebar bagi
perkembangan selanjutnya.
2. Tahapan kedua
dimulai pada akhir dasa warsa 1960-an. Pada tahapan ini para ekonom
Muslim yang pada umumnya dididik dan dilatih di perguruan tinggi
terkemuka di Amerika Serika dan Eropa mulai mencoba mengembangkan
aspek-aspek tertentu dari sistem moneter Islam. Mereka melakukan
analisis ekonomi terhadap larangan riba (bunga) dan mengajukan
alternatif perbankan yang tidak berbasis bunga. Serangkaian konferensi
dan seminar internasional tentang ekonomi dan keuangan Islam digelar
beberapa kali dengan mengundang para pakar, ulama, ekonom baik muslim
maupun non-muslim. Konferensi internasional pertama tentang ekonomi
Islam digelar di Makkah al-Mukarromah pada tahun 1976 yang disusul
kemudian dengan konferensi internasional tentang Islam dan Tata Ekonomi
Internasional yang baru di London pada tahun 1977. Setelah itu digelar
berbagai seminar tentang Ekonomi Moneter dan Fiskal serta Perbankan
Islam di berbagai negara.
Pada
tahapan kedua ini muncul nama-nama ekonom muslim terkenal di seluruh
dunia Islam anatara lain Prof. Dr. Khurshid Ahmad yang dinobatkan
sebagai bapak ekonomi Islam, Dr. M. Umer Chapra, Dr. M. A. Mannan, Dr.
Omar Zubair, Dr. Ahmad An-Najjar, Dr. M. Nejatullah Siddiqi, Dr. Fahim
Khan, Dr. Munawar Iqbal, Dr. Muhammad Ariff, Dr. Anas Zarqa dan
lain-lain. Mereka adalah ekonom muslim yang dididik di Barat tetapi
memahami sekali bahwa Islam sebagai way of life yang integral
dan komprehensif memiliki sistem ekonomi tersendiri dan jika diterapkan
dengan baik akan mampu membawa umat Islam kepada kedudukan yang
berwibawa di mata dunia.
3. Tahapan
ketiga ditandai dengan upaya-upaya konkrit untuk mengembangkan
perbankan dan lembaga-lembaga keuangan non-riba baik dalam sektor swasta
maupun dalam sektor pemerintah. Tahapan ini merupakan sinergi konkrit
antara usaha intelektual dan material para ekonom, pakar, banker, para
pengusaha dan para hartawan muslim yang memiliki kepedulian kepada
perkembangan ekonomi Islam. Pada tahapan ini sudah mulai didirikan
bank-bank Islam dan lembaga investasi berbasis non-riba dengan konsep
yang lebih jelas dan pemahaman ekonomi yang lebih mapan. Bank Islam yang
pertama kali didirikan adalah Islamic Development Bank (IDB) pada tahun
1975 di Jeddah, Saudi Arabia.
4. Tahapan keempat ditandai dengan pengembangan pendekatan yang lebih integratif dan sophisticated
untuk membangun keseluruhan teori dan praktek ekonomi Islam terutama
lembaga keuangan dan perbankan yang menjadi indikator ekonomi umat.
Tujuan utama ekonomi Islam adalah merealisasikan tujuan manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat (falah), serta kehidupan yang baik dan terhormat (al-hayah al-tayyibah).[37] Ini merupakan definisi kesejahteraan dalam pandangan Islam, yang tentu saja berbeda secara mendasar dengan pengertian kesejahteraan dalam ekonomi konvensional yang sekuler dan materialistik.[38] Dengan demikian tujuan sistem ekonomi Islam adalah berkait dengan tujuan yang tidak hanya memenuhi kesejahteraan hidup di dunia saja (materialis) namun juga kesejahteraan hidup yang lebih hakiki (akhirat). Allah SWT sebagai puncak tujuan, dengan mengedepankan pencarian keridloan-Nya dalam segala pola perilaku sejak dari konsumsi, produksi hingga distribusi.[39]
Ilmu ekonomi Islam mewakili suatu usaha sistematis yang dilakukan oleh para ekonom muslim untuk melihat ulang keseluruhan persoalan ekonomi, termasuk metodologi ilmu ekonomi dengan suatu pandangan untuk mengantarkan suatu solusi baru terhadap persoalan-persoalan lama dan kini yang masih mengganggu.[40] Pendekatan ini masih dalam tahapan pertumbuhan awalnya, tetapi tidak diragukan lagi bahwa ia merupakan suatu permulaan yang menjanjikan masa depan yang sangat besar dan gemilang.[41]
Umer
Chapra, merupakan salah satu di antara pemikir muslim yang melakukan
kajian sangat komprehensif mengenai masa depan ilmu ekonomi dalam
pandangan Islam. Bukunya yang berjudul The Future of Economics: An Islamic Perspective, telah
memberikan kontribusi yang sangat positif dalam area ini. Beliau telah
melakukan usaha yang besar untuk menghubungkan kembali ilmu ekonomi
dengan moral dan keadilan, sehingga menegakkan disiplin untuk membela
nilai-nilai kemanusiaan. Dalam buku tersebut, beliau melakukan
kritik ilmiah dan simpatik terhadap ilmu ekonomi konvensional, dari
sudut ekonomi maupun moral. Ia mengemukakan keterbatasan dan kelebihannya. Ia tidak hanya mengkritik
tetapi juga memberikan solusi. Pendekatannya sangat kreatif dan
positif. Beliau melihat di mana suatu telah bergerak ke arah yang salah
dan mengajukan apa yang diperlukan untuk meluruskannya. Keprihatinannya
tidak hanya terbatas kepada dimensi moral dan sosial saja, tetapi juga
memperkuat fondasi mikro dari ilmu ekonomi yang diperlukan untuk
memungkinkan mereka memperkuat fondasi kerangka makro dan mencapai
tujuan-tujuan sosial.
Beliau meletakkan ilmu ekonomi Islam dalam posisi yang tidak terpisah dengan ilmu ekonomi konvensional. Beliau mengkaji persoalan-persoalan ekonomi dengan kaca mata Islam secara komprehensif untuk mendapatkan view baru ilmu ekonomi yang berkeadilan, peduli pada etika dan nilai-nilai spiritual. Kajian ini telah menjelaskan secara singkat tetapi padat dan tingkat tinggi tentang ilmu ekonomi Islam. Penjelasan tersebut bukan merupakan suatu survei dalam arti kata teknik, ia menghadirkan suatu pemandangan mengenai kontribusi utama terhadap ilmu ekonomi yang dibuat dari pespektif Islam oleh para ekonom Islam pada abad-abad lalu.
Buku
ini telah memberikan kontribusi pendekatan-pendekatan baru untuk
memahami masa lalu dan merencanakan masa depan. Pesan utama buku ini
adalah bahwa ilmu ekonomi memerlukan pengayaan moral dari persektif
Islam sehingga ia benar-benar berguna untuk umat manusia dalam mencari
tatanan dunia yang lebih adil. Dengan demikian, hadirnya ekonomi Islam
merupakan jawaban terhadap ikhtiar menutup kekurangan dan kelemahan
ekonomi konvensional, sehingga ekonomi Islam merupakan kelanjutan
penyempurnaan dari perkembangan ekonomi konvensional.
E. Prospek Pendidikan Ekonomi Islam
Perkembangan praktik ekonomi Islam, terutama dalam bidang keuangan dan berbankan, baik di dunia maupun di Indonesia sangat menggembirakan. Di tingkat dunia, sudah banyak negara yang ada industri keuangan dan perbankan Syariahnya. Saat ini tidak kurang dari 75 negara di dunia telah mempraktekkan sistem ekonomi dan keuangan Islam, baik di Asia, Eropa, Amerika maupun Australia.
Demikian pula dalam bidang akademis, beberapa universitas terkemuka di dunia sedang giat mengembangkan kajian akademis tentang ekonomi syariah. Harvard University merupakan universitas yang aktif mengembangkan forum dan kajian-kajian ekonomi syariah tersebut.[42] Di Inggris setidaknya enam universitas mengembangkan kajian-kajian ekonomi syari’ah. Demikian pula di Australia oleh Mettwally dan beberapa negara Eropa seperti yang dilakukan Volker Nienhaus. Para ilmuwan ekonomi Islam, bukan saja kalangan muslim, tetapi juga non muslim.
Perkembangan praktik Ekonomi Islam di Indonesia juga menunjukkan fakta yang menggembirakan. Sejak lima belas tahun terakhir, perkembangan diskursus Ekonomi Islam di Indonesia mendapatkan perhatian banyak kalangan, baik dari aspek konseptual/akademis maupun aspek praktik. Dari sisi akademis, perkembangan Ekonomi Islam ditandai dengan banyaknya lembaga-lembaga pendidikan yang menawarkan program pelatihan maupun mata kuliah Ekonomi Islam, Keuangan Islam dan Perbankan Syariah baik pada tingkat Sarjana (S1) maupun tingkat Pascasarjana (S2 dan S3).
Pada tataran pendidikan formal terdapat Program Studi Ekonomi Islam Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia,[43] SBI institute, SEBI, STEI Yogyakarta, Jurusan Ekonomi Islam STAIN Surakarta, UIN Syarif Hidayatullah Ciputat, UIN Yogyakarta, IAIN Medan, dan Fakultas Ekonomi UNAIR, STEI Tazkia, dan Jurusan Timur Tengah dan Islam UI serta upaya lain dari beberapa universitas Islam dan sekolah tinggi Islam yang cukup banyak.
Pembangunan bidang pendidikan[44] mempunyai peran strategis sebagai salah satu faktor terwujudnya kehandalan Sumber Daya Manusia (SDM)[45] yang diperlukan sebagai salah satu modal dasar kesinambungan pembangunan nasional.[46] Oleh karena itu, pembangunan bidang pendidikan menjadi tanggung jawab semua pihak, baik pemerintah maupun swasta.[47] Lebih dari itu, perkembangan zaman di masa mendatang yang ditandai oleh kemajuan teknologi yang sangat cepat serta tingginya tingkat turbulensi perubahan lingkungan ekonomi, sosial, budaya, dan politik, membutuhkan kesiapan SDM yang ‘paripurna’ dari sisi jenjang akademik.[48] SDM yang sedemikian itu ditandai oleh kemampuan analisis dan prediksi yang handal, dilatarbelakangi dengan bekal teoritis yang komprehensif dan disertai dengan integritas yang tinggi untuk mengembangkan disiplin ilmu yang ditekuninya. Berbekal pada tekad ini diharapkan peranan perguruan tinggi dalam meningkatkan kualitas SDM melalui peningkatan kualitas pendidikan nasional akan lebih meningkat.[49]
Di samping itu, pembicaraan perkembangan Ekonomi Islam juga dilakukan melalui kegiatan pelatihan, seminar, simposium,[50]
konferensi, kajian buku dan kegiatan lain yang mengkaji lebih mendalam
mengenai perkembangan Ekonomi Islam dan aplikasinya dalam dunia ekonomi
dan bisnis. Diantara lembaga pelatihan itu adalah; Tazkia Institute, Shariah Economic and Banking Institute
(SEBI), Pusat Pelatihan dan Pengembangan Sumber Daya Mandiri (PPSDM),
Muamalat Institute, Karim Bussiness Consulting, dan Divisi Perbankan
Syari’ah Institute Bankir Indonesia (IBI).
Dalam aplikasinya, perkembangan sistem Ekonomi Islam ditandai dengan banyaknya lembaga-lembaga keuangan Syariah yang didirikan seperti Perbankan Syariah, Baitul Mal Wat-Tamwil, Pasar Modal Syariah, Reksadana Syariah, Pegadaian Syariah, Asuransi Syariah dan lembaga-lembaga lain yang dijalankan dengan prinsip-prinsip Syariah. Semakin banyak lembaga-lembaga keuangan yang berasaskan prinsip-prinsip dasar Syariah memberikan alternatif yang lebih besar kepada masyarakat untuk menggunakan lembaga keuangan yang tidak berdasarkan sistem bunga (lembaga keuangan konvensional).
Mencermati
perkembangan ekonomi Islam baik tingkat global maupun lokal yang
semakin pesat tersebut, dalam konteks trend ekonomi era globalisasi,
diperlukan suatu strategi yang lebih terarah dan jelas agar ekonomi
Islam semakin mendapatkan tempat yang kokoh dalam perkembangan ekonomi
masa depan, sehingga segera terwujudlah era ekonomi yang bermoral,
berkeadilan, dan bertuhan. Berdasarkan situasi yang ada, strategi
pengembangan Ekonomi Islam paling tidak perlu memperhatikan dua aspek
mendasar yaitu aspek konseptual/akademis dan implementatif/praktis dari
Ekonomi Islam. Pengembangan aspek konseptual lebih menekankan pada
pengembangan Ekonomi Islam sebagai ilmu atau sistem, sedangkan
pengembangan aspek implementatif menekankan pada pengembangan Ekonomi
Islam yang diterapkan pada lembaga-lembaga bisnis yang menerapkan
prinsip Syariah dalam menjalankan usahanya. Kedua aspek tersebut
seharusnya dikembangkan secara bersama-sama sehingga mampu membentuk
Sistem Ekonomi Islam yang dapat digunakan untuk menggali potensi dan
kemampuan masyarakat (dunia dan Indonesia) membangun sistem ekonomi
alternatif sebagai pengganti atau pelengkap sistem ekonomi konvensional
yang sudah ada.
Pengembangan Ekonomi
Islam terus diusahakan dengan melibatkan berbagai pihak baik secara
individual maupun kelembagaan. Para pemikir terus mencoba menggali dan
membahas sistem Ekonomi Islam secara serius dan kemudian
menginformasikannya kepada masyarakat baik melalui seminar, simposium,
penulisan buku maupun melalui internet serta media yang
lain. Di pihak para praktisi atau pelaku binis yang relevan juga terus
memperbaiki dan menerapkan sistem Ekonomi Islam sesuai dengan
prinsip-prinsip Syariah yang dibolehkan dalam melaksanakan bisnis
mereka. Dengan demikian pengembangan Ekonomi Islam diharapkan dapat
sejalan antara konseptual dan praktik dalam bisnis sesuai dengan
tuntunan yang ada yang pada akhirnya akan terbentuk sistem Ekonomi Islam
yang betul-betul sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Syariah yang
digariskan.
Di pihak pemerintah, pengembangan Ekonomi Islam bisa dipacu dengan membuat undang-undang yang digunakan sebagai landasan formal dalam menjalankan kegiatan bisnis berdasarkan sistem Ekonomi Islam, yaitu UU No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Dalam ranah keuangan publik, terdapat UU No. 38 Tahun 1999 tentang zakat, UU No 41 Tahun 2004 tentang wakaf, dan lain-lain.[51]
Salah
satu contoh momentum dan sekaligus fakta keunggulan bank Syariah
dibanding bank konvensional di Indonesia pada akhir 2006. Akhir 2006
memberikan catatan fantastik tentang keunggulan sistem perbankan Islam
yang merupakan salah satu aspek penting Syariat Islam dalam bidang
ekonomi dibanding perbankan konvensional. Hal ini terlihat dari
perbandingan beberapa aspek performance operasi sistem perbankan
meliputi Non Performing Loan/Financing (NPL/NPF), Financing/Loan to Deposits Ratio (FDR/LDR), simpanan bank di SBI atau SWBI, dan kinerjanya dalam menggerakkan sektor riil. Kenyataan
ini mestinya bisa menjadi landasan bagi pemerintah untuk membuat
regulasi yang menjadikan bank Syariah lebih dapat berkembang. Selain
itu, fakta tersebut juga mestinya bisa ”membuka” mata dan hati semua
masyarakat muslim Indonesia khususnya dan masyarakat Indonesia secara
keseluruhan untuk lebih bersungguh-sungguh menerapkan Syariat Islam
dalam bidang ekonomi secara keseluruhan, karena bukti empiris tentang
keunggulannya, khususnya dalam aspek perbankan sudah tidak terbantah
lagi. [52]
Pada dataran global, semakin banyak lembaga keuangan barat yang menawarkan berbagai produk keuangan syariah. Seperti yang dilakukan Citigroup, Deutsche Bank, HSBC, Lloyds TSB dan UBS. Namun, pesatnya perkembangan keuangan syariah tersebut tidak diikuti pertambahan jumlah sumber daya manusia (SDM) berkualitas yang memadai. Belanda dan Rusia juga mengembangkan perbankan Syariah.
Mencermati
fenomena tersebut, strategi pengembangan Ekonomi Islam tidak cukup
dilakukan melalui pendidikan Ekonomi Islam di Perguruan Tinggi. Bahkan
materi dasar ekonomi Islam perlu mulai diajarkan di tingkat Sekolah
Menengah, baik tingkat pertama maupun atas. Mata pelajaran ekonomi di
sekolah menengah tersebut harus memasukkan sub bahasan ekonomi Islam
dalam proses pembelajarannya. Dimasukkannya pelajaran Ekonomi Islam pada
peringkat sekolah menengah, maka konsep dan karakteristik Ekonomi Islam
dapat dikenalkan lebih dini sehingga masyarakat luas akan lebih
mengenal dan memahami penerapan sistem Ekonomi Islam tersebut. Dengan
demikian, pada tingkat perguruan tinggi, pengajaran ekonomi Islam tidak
mulai dari tingkat yang sangat mendasar, langsung bisa menuju pada yang
lebih advance, sehingga untuk mewujudkan SDM ekonomi Islam yang berkualitas akan lebih terjangkau.
Di antara tantangan lain yang dihadapi dalam pengembangan pendidikan ekonomi Islam, di antaranya adalah belum banyaknya lembaga funding yang menyediakan dana riset maupun beasiswa bagi mahasiswa ekonomi Islam.[53] Oleh karena itu perlu ada upaya yang lebih terarah dan sistematis serta kreatif untuk menggali sumber-sumber dana alternatif agar dapat memenuhi kebutuhan untuk mendanai pengembangan pendidikan ekonomi Islam. Salah satu alternatifnya misalnya dengan memberdayakan institusi waqaf, zakat, infaq dan sedekah sebagai media pengumpulan charitable fund untuk kepentingan maslahah ammah umat Islam.
Abbas
Mirakhor mengusulkan agar pendekatan dalam pengkajian ekonomi Islam
(dalam institusi pendidikan) juga menggunakan pendekatan hermenetik.
Pendekatan ini berbeda dengan tafsir, karena sifat hermenetik adalah the process of extracting economic meaning from the first order interpretation.[54]
Dengan pendekatan ini diperkirakan ekonomi Islam ke depan akan kaya
dengan teori-teori ekonomi yang betul-betul berbasis al-Quran dan
Sunnah.
Di antara tantangan lain yang dihadapi dalam pengembaangan ekonomi Islam di Indonesia adalah kurangnya pemahaman masyarakat terhadap sistem keuangan dan perbankan syariah. Hal tersebut terlihat dari belum banyaknya masyarakat yang mengakses layanan perbankan syariah dibandingkan layanan perbankan konvensional. Untuk itu diperlukan strategi sosialisasi yang lebih jitu kepada masyarakat. Bahkan kalau perlu diberlakukan bulan kampanye ekonomi Islam di masyarakat. Hal ini misalnya ditempuh dengan cara membangun kesepakatan semua takmir masjid di Indonesia untuk secara serentak tema khutbah jumat pada bulan tertentu adalah khusus bicara tentang ekonomi Islam. Jadi ada semacam gerakan nasional yang berporos di masjid sebagai sentra pendidikan umat dengan mengusung tema bulan ekonomi Islam.
F. Penutup
Dari
berbagai penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa ilmu ekonomi
konvensional tidak hanya mempunyai kelemahan tetapi juga
kelebihan-kelebihan. Kelemahannya terutama terletak kepada paradigma
sekulernya yang memisahkan antara ekonomi positif dan normatif,
ketiadaan hubungan yang kokoh antara ekonomi mikro dan makro, pengabaian
nilai-nilai moral dan etika dalam fungsi deskriptif dan prediktifnya.
Kelebihannya adalah kepada sophistificated-nya pencapaian
teori-teori ekonomi konvensional dengan model-model matematik dan
kalkulus. Era globalisasi dan fenomena trend perkembangan ilmu ekonomi
telah melahirkan banyak peluang sekaligus tantangan,
terutamanya dalam upaya pengembangan ekonomi Islam. Oleh karena itu,
pengembangan ekonomi Islam ke depan, selain perlu belajar dari
kesuksesan dan kegagalan ekonomi konvensional, perlu juga memanfaatkan
pendekatan-pendekatan baru yang kreatif dan inovatif untuk betul-betul
dapat mewujudkan ekonomi Islam yang rahmatan lil’alamin dalam
berbagai aspeknya. Di antaranya adalah melalui pendidikan ekonomi Islam,
baik pendidikan formal maupun nonformal. Tentu yang diandalkan untuk
dapat melahirkan SDM berkualitas dalam bidang ekonomi Islam adalah
pendidikan formal, tidak hanya di perguruan tinggi, tetapi juga jenjang
pendidikan di bawahnya. Mencermati perkembangan pendidikan ekonomi Islam
sebagaimana paparan di atas, layaklah kita optimis bahwa pendidikan
ekonomi Islam akan semakin siap dan memadai untuk melahirkan SDM
berkualitas dalam bidang ekonomi Islam. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa prospek pendidikan ekonomi Islam dalam konteks trend
ekonomi global semakin cerah dan menjanjikan.
DAFTAR PUSTAKA
Adnan, Muhamad Akhyar dan Muhamad. 2002.
Pengembangan Kurikulum Ekonomi Islam di Perguruan Tinggi Agama Islam.
Proceedings. Simposium Nasional I Sistem Ekonomi Islam. Pusat Pengkajian
dan Pengembangan Ekonomi Islam, Fakultas Ekonomi Universitas Islam
Indonesia, Yogyakarta, h. 351.
Ahmad, Khursid. 2001. ”Kata Pengantar” dalam Umer Chapra (2001), Masa Depan Ilmu Ekonomi: Sebuah Tinjauan Islam/The Future of Economics: An Islamic Perspective. Ikhwan Abidin Basri (terj.) Jakarta: Gema Insani Press
Ali, Mohammad Daud. 1988. Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia
Anto, M.B. Hendrie. 2003. Pengantar Ekonomika Mikro Islami. Yogyakarta: EKONISIA
Baldwin, R.W. 1966. Social Justice. London: Pergamon Press Joseph G. Eisenhauer, “Economic Models of Sin and Remorse: Some Simple Analytics”, Review of Sosial Economy, Vol. LXII, No. 2, June 2004
Boulakia, David Jean C. 1971. “Ibn Khaldun: A Fourteenth Century Economist”, Journal of Political Economy, Vol. 79, No. 5 (September/October), The University of Chicago.
Buarque, Christofam. 1993. The End of Economics: Ethics and Disorder of Progress. London, Zed Books
Chapra, M. Umar. 2001. What is Islamic Economics, Jeddah: IRTI – IDB.
Choudoury, Masudul Alam. 1989. The Paradigm of Humanomics. Bangi: UKM
Effendi, Rustam. 2003. Produksi dalam Islam. Yogyakarta: Magistra Insania Press.
Etzioni, Amitay. 1988. The Moral Dimensioan: Towards a New Economics (New York: McMillan
Gorringe, Timothy. 1999. Fair Shares: Ethics and The Global Economy. Slovenia: Thames & Hudson
Gregory, Paul R dan Robert C Stuart. 1981. Comparative Economic System, Boston: Houghton Miffin Company
Hafidhuddin, Didin. 2002. Zakat dalam Perekonomian Modern. Jakarta: Gema Insani Press
Hakim, Arif Rahman. 2004. “Meninjau Ulang Aspek Humanisme dalam Teori Ekonomi”, dalam Jurnal Balairung, Edisi 37, XVIII, 2004
Hamilton, Clive. 1994. The Mystic Economist. Australia: Hamilton
http://www.corebest.net/teori,_model,_metoda_dan_teknik_implementasi.htm, akses 24 September 2007
http://www.mail-archieve.com/riautika@yahoogroups.com, accessed 11 Januari 2007.
HU Republika, Jumat 25 September 2009
http://www.diknas.go.id/headline.php?id=1149, diakses pada 13 November 2009
http://www.republika.co.id/berita/56629/Mendiknas_Dorong_PT_Buka_Prodi_Ekonomi_Islam, diakses pada 13 November 2009
Khan, Muhammad Akram. 1989. “Methodology of Islamic Economics” dalam Aidit Ghazali dan Syed Omar (eds.), Readings in The Concept and Methodology of Islamic Economics, Petaling Jaya: Pelanduk Publications
Koslowski, Peter. 1993.”The Business of Business is Ethical Business” dalam Peter Koslowski dan Shionoya (1993), The Good and The Economical, Ethical Choice in Economics and Management. London: Springer-Verlag
Leimgruber, Walter. 2004. Between Global and Local, Aldershot (England): Ashgate Publishing Limited
Mannan, M. Abdul. 1986. Islamic Economics, Theory and Practice. Cambride: Hodder and Stoughton, The Islamic Academy
Manzoor,
S. Parvez. 2004. “Book Review ‘Islam in the Era of Globalization:
Muslim Attitudes Towards Modernity and Identity” oleh Johan Meuleman
(ed.) (2002), London: RoutledgeCurzon, dimuat dalam Journal of Islamic Studies, Vol. 15, No. 2, Mei 2004, Oxford: Oxford Centre for Islamic Studies, h. 280.
Mirakhor, Abbas. 2007. A Note on Islamic Economics, Jeddah: Islamic Research and Training Institute.
Moten,
Abdul Rashid. 2005. “Modenization and The Process of Globalization: The
Muslim Experience and Responses”, dalam K.S. Nathan dan Mohammad Hashim
Kamali (eds.), Islam in Southeast Asia: Political, Social and Strategiec Challenges for the 21st Century, Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, hh. 231-255.
Mubyarto. 2002. “Penerapan Ajaran Ekonomi Islam Di Indonesia“ dalam Jurnal Ekonomi Pancasila, Th. I - No. 1 - Maret 2002, http://www.ekonomirakyat.ora/edisi 1/artikel 4.htm
Pronk, Jan. 2001. “Globalization: A Developmental Approach”, dalam Jan Nederveen Pieterse (ed.), Global Futures, Shaping Globalization, London: Zed Books
Rose, Collin dan Malcolm J. Nicholl. 1997. Accelerated Learning for the 21 st Century. New York: Delacorte Press
Rothschild, Kurt W. 1993. Ethics and Economic Theory. Cambridge: Edward Elgar
Siddiqi,
Muhammad Nejatullah. 1991. “Islamic Economic Thought: Foundations,
Evolution and Needed Direction”, dalam AbulHasan M. Sadeq et al. (eds.), Development and Finance in Islamic, Petaling Jaya: International Islamic University Press.
Syahrial Syahdan, “Paradigma Baru Stiglitz dan Ekonomi Islam”, dikutip dari republika online
Syarif,
Djohan. 2002. “Prospek, Tantangan dan Bagaimana Mengajarkan Ekonmi
Islam di Perguruan Tinggi”, dalam Adnan dan Muhamad, dalam Proceedings
Simposium Nasional I Sistem Ekonomi Islam. Pusat Pengkajian dan
Pengembangan Ekonomi Islam, Fakultas Ekonomi Universitas Islam
Indonesia, Yogyakarta.
Wafa, Syed Mohd. Ghazali Wafa Syed Adwam et al., 2005. Pengantar Perniagaan Islam, Petaling Jaya: Pearson Malaysia Sdn. Bhd.
Yahya, Rizal. 2003. “An Analysis on Anglo Saxon Corporate Governance Model Based on Islamic Perspective” dalam ISEFID Review: Journal of The slamic Economic Forum for Indonesian Development, Vol. 2, No. 1, 2003
Zajac, Edward E. 1995. Political Economy of Fairness. London: MIT Press
Zarqa’, Anas. 1989. “Islamic Economics: An Approach to Human Welfare”, dalam Aidit Ghazali dan Syed Omar (eds.), Readings in The Concept and Methodology of Islamic Economics, Petaling Jaya: Pelanduk Publications.
BIODATA SINGKAT PENULIS
Nur Kholis, lahir di Blitar, 1 Nopember 1977
Pekerjaan : Dosen tetap UII dan Aktivis Pusat Studi Islam UII (PSI-UII)
Alamat Kantor : Prodi Ekonomi Islam FIAI UII,
Jl. Kaliurang km 14,5 Yk telp. (0274) 898462, HP:08156883480
Pendidikan
dasar dan menengah diselesaikan di Blitar. Selama menyelesaikan
pendidikan dasar dan menengah tersebut, juga menempuh pendidikan di
madrasah diniyah dan pondok pesantren MADIS Kasim Selopuro Blitar.
Kemudian melanjutkan studi dengan mondok di pesantren modern yang
dikenal sebagai MAPK di Jember, lulus tahun 1996. Setelah itu
melanjutkan studi ke Pesantren Unggulan Universitas Islam Indonesia
angkatan pertama, di samping kuliah di Fakultas Ilmu Agama Islam UII,
lulus tahun 2000 dengan predikat wisudawan terbaik dan tercepat, IPK
4,00. Pada tahun 2004, melanjutkan studi S2 ke Program
Pascasarjana Departemen Syariah Ekonomi, University of Malaya, Kuala
Lumpur, Malaysia, tahun 2004 – 2005, (selesai 3 semester), lulus
tercepat dengan IPK 3,88. Saat ini diamanahi untuk menjadi ketua program studi ekonomi Islam FIAI UII.
Penulis
telah terlibat dalam diskursus ilmiah tingkat internasional yang
dibuktikan dengan telah dipresentasikannya paper karyanya dalam “The
First International Conference on Inclusive Islamic Financial Sector
Development: Enhancing Islamic Financial Services for Micro and Medium
Sized Enterprises”, di The Empire Hotel and Country Club, Brunei
Darussalam, 17-19 April 2007 yang lalu. Pada 3-5 April 2006 juga telah
mempresentasikan papernya dalam International Colloquium “INCEIF
ISLAMIC BANKING AND FINANCE EDUCATIONAL COLLOQUIUM 2006, Creating
Sustainable Development of Human Capital and Knowledge in Islamic
Finance Through Education, di Kuala Lumpur Convention Center, Kuala Lumpur, Malaysia. Februari 2009, sebagaimana pengumuman dari IRTI, penulis juga akan presentasi di Bangladesh, akan tetapi ditunda karena sedang chaos di Bangladesh.
Tahun 2009 ini telah mempresentasikan paper dalam 3 forum nasional
yaitu Simposium Nasional Ekonomi Islam ke-4 di Hotel Syahid Yogyakarta,
Annual Conference on Islamic Studies di Hotel Sunan Surakarta, dan
Seminar Nasional Ekonomi Islam di STAIN Salatiga.
Pendidikan informal yang pernah ditempuhnya antara lain: Pendidikan
Kader Ulama Majlis Ulama Indonesia (PKU-MUI) Tingkat Nasional Angkatan
Ke-7 di Jakarta, tahun 1997 – 1998 (lulus dengan predikat wisudawan
terbaik, IPK 4,00), The Summer Camp of Student Leadership from the Universities of the Islamic World di Jordan,
tahun 1999, Pelatihan Kepengacaraan oleh ISMAHI se-Indonesia di UNDIP
Semarang, tahun 1999, Pelatihan Kuasa Hukum di Lingkungan Peradilan
Agama Angkatan IV di Parung Bogor, tahun 2000, Daurah Mukassafah li kibari al Du’at yang
diselenggarakan Kedubes Arab Saudi di Bogor, tahun 2002, dan lain-lain.
Aktif mengikuti berbagai seminar, pelatihan, dan penataran.
Karir
menulisnya dimulai sejak di MAPK, kemudian dikembangkan pada masa
kuliahnya, dengan menjadi Juara I Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI)
mahasiswa Tingkat Nasional, tahun 1999, Juara I Lomba Esai Mahasiswa
Tingkat Nasional, tahun 2000, Juara I LKTI tingkat UII, tahun 1999 dan
Juara I LKTI tingkat FIAI UII. Ketika
menjadi dosen, juga pernah menjadi juara I nasional untuk kompetisi
penulisan di jurnal yang diselenggarakan DEPAG RI tahun 2007. Hingga sekarang aktif menulis, sebagian tulisannya pernah dimuat
di harian Nasional Jawa Pos, Radar Jogja, Republika, Jurnal MILLAH
Magister Studi Islam UII, Jurnal AL MAWARID, Jurnal Mukaddimah, Jurnal La_Riba, Buletin ISLAMIYAH, dan lain-lain.
Sejak
April 2001 menjadi dosen tetap UII. Selain mengajar sebagai dosen UII,
juga melakoni peran sebagai aktivis Pusat Studi Islam Universitas Islam
Indonesia. Pernah menjadi Program Officer untuk Penguatan
Nilai-nilai Demokrasi dan Pluralisme pada MPK UII (kerjasama PSI dan The
Asia Foundation) Sept 2003 - Mei 2004. Tahun 2007-2008 ini menjadi
salah satu tim pelaksana kerjasama PSI UII dan CORDAID Belanda. Selain
mengajar di program sarjana, penulis juga dipercaya untuk mengajar
program pascasarjana MSI UII konsentrasi Hukum Bisnis Syariah sejak
pertengahan 2006.
Demikian sekilas biodata penulis yang disusun dengan sebenar-benarnya.
Yogyakarta, Nov 2009
Hormat saya,
Nur Kholis
[1] Paper ini dipresentasikan dalam SIMPONAS Ekonomi Islam ke-4 di Hotel Sahid Raya Yogyakarta, tanggal 8-9 Oktober 2009. Penyelenggara: UII bersama consortium beberapa perguruan tinggi di DIY.
Ò
Penulis adalah Ketua Program Studi Ekonomi Islam periode 2006-2010,
FIAI UII, Yogyakarta dan peneliti pada Pusat Studi Islam UII.
[2] HU Republika, Jumat 25 September 2009
[4] Ibid.
[5] http://www.republika.co.id/berita/56629/Mendiknas_Dorong_PT_Buka_Prodi_ Ekonomi_Islam, diakses pada 13 November 2009
[6] HU Republika, 2 Mei 2007
[7] www.researchandmarkets.com, Jumat, 13 Juni 2008.
[8]
Globalization is accepted as one of the fundamental of the processes
that characterize the contemporary world, a process leading towards an
increasingly strong interdependence between increasingly large parts of
the world. S. Parvez Manzoor. 2004. “Book Review ‘Islam in the Era of
Globalization: Muslim Attitudes Towards Modernity and Identity” oleh
Johan Meuleman (ed.). 2002. London: RoutledgeCurzon, dimuat dalam Journal of Islamic Studies, Vol. 15, No. 2, Mei 2004, Oxford: Oxford Centre for Islamic Studies, h. 280.
[9] Jan Pronk. 2001. “Globalization: A Developmental Approach”, dalam Jan Nederveen Pieterse (ed.), Global Futures, Shaping Globalization, London: Zed Books, h. 43.
[10] Walter Leimgruber. 2004. Between Global and Local, Aldershot (England): Ashgate Publishing Limited, hh. 18-19.
[11]
Untuk mendapat penjelasan lebih lengkap tentang pengalaman dan respon
umat Islam terhadap globalisasi, lihat Abdul Rashid Moten. 2005.
“Modenization and The Process of Globalization: The Muslim Experience
and Responses”, dalam K.S. Nathan dan Mohammad Hashim Kamali (eds.), Islam in Southeast Asia: Political, Social and Strategiec Challenges for the 21st Century, Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, hh. 231-255.
[12] Collin Rose dan Malcolm J. Nicholl. 1997. Accelerated Learning for the 21 st Century. New York: Delacorte Press, h. 1.
[13] Paul R Gregory dan Robert C Stuart. 1981. Comparative Economic System, Boston: Houghton Miffin Company, h. 16.
[14] http://www.corebest.net/teori,_model,_metoda_dan_teknik_implementasi.htm, akses 24 September 2007
[15] Sebagaimana dikutip Khursid Ahmad dari New York Times, 28 November 1993
[16] Sebagaimana dikutip oleh Khursid Ahmad dalam “Kata Pengantar” buku Umer Chapra, The Future of Economics: An Islamic Perspective. Khursid Ahmad (2001), ”Kata Pengantar” dalam Umer Chapra. 2001. Masa Depan Ilmu Ekonomi: Sebuah Tinjauan Islam. Ikhwan Abidin Basri (terj.) Jakarta: Gema Insani Press, h. xvii.
[17] Amitay Etzioni. 1988. The Moral Dimensioan: Towards a New Economics (New York: McMillan, h. ix-x.
[18] Christofam Buarque. 1993. The End of Economics: Ethics and Disorder of Progress. London, Zed Books, h. xi.
[19]
Menurut Didin Hafidhuddin, kehancuran system ekonomi saat ini kerana
paradigma berpikir kapitalis dan sosialis yang telah menjadikan hawa
nafsu manusia sebagia pengendali aktiviti ekonominya, bukannya moral,
etika dan akhlak. Lihat Didin Hafidhuddin. 2002. Zakat dalam Perekonomian Modern. Jakarta: Gema Insani Press, h. 67.
[20] Christofam Buarque. 1993. op.cit., h. xii
[21] Timothy Gorringe. 1999. Fair Shares: Ethics and The Global Economy. Slovenia: Thames & Hudson, h. 31.
[22] Ibid., h. 101
[23] Clive Hamilton. 1994. The Mystic Economist. Australia: Hamilton, h. 6-7. Lihat pula Masudul Alam C. 1989. The Paradigm of Humanomics. Bangi: UKM
[24] Mubyarto. 2002. “Penerapan Ajaran Ekonomi Islam Di Indonesia“ dalam Jurnal Ekonomi Pancasila, Th. I - No. 1 - Maret 2002, http://www.ekonomirakyat.org/edisi 1/artikel 4.htm
[25] Kurt W. Rothschild. 1993. Ethics and Economic Theory. Cambridge: Edward Elgar, h. 152
[26] Edward E. Zajac. 1995. Political Economy of Fairness. London: MIT Press
[27] M.B. Hendrie Anto. 2003. Pengantar Ekonomika Mikro Islami. Yogyakarta: EKONISIA, h. 16
[28] Sebagaimana dikutip Khursid Ahmad dalam “Kata Pengantar” buku Umer Chapra, The Future of Economics: An Islamic Perspective. op.cit., h. xix
[29] Lihat pula pendedahan Peter Koslowski. 1993. ”The Business of Business is Ethical Business” dalam Peter Koslowski dan Shionoya. 1993. The Good and The Economical, Ethical Choice in Economics and Management. London: Springer-Verlag, h. 4
[30] Umer Chapra. 2001. Masa Depan Ilmu Ekonomi: Sebuah Tinjauan Islam/The Future of Economics: An Islamic Perspective. Ikhwan Abidin Basri (terj.) Jakarta: Gema Insani Press, h. 33
[31]
Untuk mendapatkan maklumat lebih lengkap tentang penggunaan
sumber-sumber daya langka agar selaras dengan keperluan untuk mewujudkan
tujuan pengeluaran dalam Islam, lihat Rustam Effendi. 2003. Produksi dalam Islam. Yogyakarta: Magistra Insania Press.
[32] Umer Chapra. 2001. op.cit., h. 34
[33] Ibid., h. 44
[34] QS Ali Imran: 109.
[35] M. Abdul Mannan. 1986. Islamic Economics, Theory and Practice. Cambride: Hodder and Stoughton, The Islamic Academy; M. Umar Chapra. 2001. What is Islamic Economics, Jeddah: IRTI – IDB, h. 44.
[36] David Jean C. Boulakia. 1971. “Ibn Khaldun: A Fourteenth Century Economist”, Journal of Political Economy, Vol. 79, No. 5 (September/October), The University of Chicago, h. 1117-1118.
[37] Al-Quran menyebut kata falah dalam 40 tempat. Falah mencakup konsep kebahagiaan dalam dua dimensi yaitu dunia dan akhirat. Kebahagiaan dimensi duniawi, falah mencakup
tiga aspek, yaitu: (1) kelangsungan hidup, (2) kebebasan dari
kemiskinan, (3) kekuatan dan kehormatan. Sedangkan dalam kebahagiaan
dimensi akhirat, falah mencakup tiga aspek juga, yaitu: (1)
kelangsungan hidup yang abadi di akhirat, (2) kesejahteraan abadi, (3)
berpengetahuan yang bebas dari segala kebodohan. Falah hanya dapat dicapai dengan suatu tatatan kehidupan yang baik dan terhormat (hayah al-tayyibah). Lihat M. B. Hendrie Anto. 2003. op.cit., h. 7.
[38] Muhammad Akram Khan. 1989. “Methodology of Islamic Economics” dalam Aidit Ghazali dan Syed Omar (eds.), Readings in The Concept and Methodology of Islamic Economics, Petaling Jaya: Pelanduk Publications, h. 59; Syed Mohd. Ghazali Wafa Syed Adwam Wafa et al. 2005. op.cit., h. 53; M. B. Hendrie Anto. 2003. op.cit., h. 7.
[39] Anas Zarqa’. 1989. “Islamic Economics: An Approach to Human Welfare”, dalam Aidit Ghazali dan Syed Omar (eds.), Readings in The Concept and Methodology of Islamic Economics, Petaling Jaya: Pelanduk Publications, h. 29-38.
[40] Rizal Yahya. 2003. “An Analysis on Anglo Saxon Corporate Governance Model Based on Islamic Perspective” dalam ISEFID Review: Journal of The slamic Economic Forum for Indonesian Development, Vol. 2, No. 1, 2003, h. 25
[41] Khursid Ahmad. 2001. op.cit., h. xx-xxi
[42] Nama forumnya adalah The Harvard University Forum on Islamic Finance. Forum ini diselenggarakan tiap 2
tahun. Forum pertama pada Mei 1997, topiknya “Islamic Finance in the
Global Market,” diikuti 100 partisipan. Forum ke-2, “Islamic Finance
into the 21st Century,” diselenggarakan 2 hari diikuti lebih dari 200
partisipan, Forum ke-3, “Islamic Finance: Local Challenges, Global
Opportunities,”. Forum ke-4, “Islamic Finance: The Task Ahead”. Forum
ke-5, “Islamic Finance: Dynamics and Development” covered theoretical
and practical, current and upcoming issues at that time in Islamic
finance and economics, in addition to the shari‘a. Forum ke-6, “Islamic
Finance: Current Legal and Regulatory Issues” diselenggarakan 8-9 Mei,
2004 by uniting several topics of current interest in the field of
Islamic finance. Forum ke-7, “Integrating Islamic Finance in the
Mainstream Regulation, Standardization and Transparency”,
diselenggarakan April 2006.
[43]
Di lingkungan UII, dalam rangka implementasi visi Universitas Islam
Indonesia untuk menjadi universitas Islam berkualitas seperti
universitas di negara-negara maju, dilahirkanlah Program Studi Ekonomi
Islam FIAI UII tahun 2003/2004. Eksistensi Program Studi
Ekonomi Islam di Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia
merupakan jawaban terhadap tuntutan perkembangan zaman di masa mendatang
yang ditandai oleh kemajuan teknologi yang sangat cepat serta tingginya
tingkat turbulensi perubahan lingkungan ekonomi, sosial, budaya, dan
politik, membutuhkan kesiapan SDM yang ‘paripurna’ dari sisi jenjang
akademik. SDM yang sedemikian itu ditandai oleh kemampuan analisis dan
prediksi yang handal, dilatarbelakangi dengan bekal teoritis yang
komprehensif dan disertai dengan integritas yang tinggi untuk
mengembangkan disiplin ilmu yang ditekuninya. Berbekal pengalaman UII
mengelola pendidikan tinggi lebih dari 65 tahun diharapkan program studi
ini mampu menyediakan SDM professional di bidang ekonomi Islam. Menurut
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Agama Islam pada masa itu (Prof.
Dr. Arif Furqon), program studi Ekonomi Islam UII merupakan prodi
Ekonomi Islam pertama kali yang mendapatkan izin operasional dari
Departemen Agama RI untuk mengeluarkan ijazah sarjana ekonomi Islam
(SEI) pada tahun 2003. Sebelum izin operasional diberikan, Dirjen Diktis
Depag RI meminta UII untuk menyelenggarakan workshop kurikulum ekonomi
Islam yang hasilnya akan menjadi pedoman untuk kurikulum prodi ekonomi
Islam di Indonesia. Seiring dengan perkembangan praktik ekonomi Islam di
Indonesia, setelah diadakan evaluasi terhadap kurikulum 2003, ternyata
ditemukan kekurangan-kekurangan yang perlu disempurnakan. Untuk itulah,
prodi ekonomi Islam FIAI UII melakukan pembaharuan kurikulum pada tahun
2007 yang disempurnakan pada tahun 2009. Kurikulum baru telah
betul-betul berupaya merespon perkembangan mutakhir praktik ekonomi
Islam di Indonesia baik dalam industri dan bisnis keuangan Syariah. Sejak Maret 2009, telah terakreditasi B berdasarkan SK Nomor 001/BAN-PT/Ak-XII/S1/III/2009.
[44]
Untuk mengetahui bagaimana pola-pola pengembangan pendidikan di
berbagai wilayah dunia, bisa dibaca buku I.N. Thut (1984) berjudul Educational Patterns in Contempporary Societies,
diterjemahkan oleh SPA Teamwork dengan judul Pola-pola Pendidikan Dalam
Maasyarakat Kontemporer, diterbitkan Pustaka Pelajar tahun 2005.
[45] M. Enoch Markum (2007), Pendidikan Tinggi dalam Perspektif Sejarah dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, hlm. 4-5.
[46] Djohar (2006), Pengembangan Pendidikan Nasional Menyongsong Masa Depan. Yogyakarta: Grafika Indah, hlm. 5, 9 dan 98-104.
[47] Jusuf Amir Faisal (1995), Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta : Gema Insani Press, hlm. 49-50
[48] H.A.R Tilaar (2002), Membenahi Pendidikan Nasional. Jakarta: PT Rineka Cipta, hlm. 2-10. Lihat juga Anita Lie (2004), ”Pendidikan dalam Dinamika Globalisasi” dalam Pendidikan Manusia Indonesia. Jakarta: PT Kompas, hlm. 217-225.
[49] Haidar Putra Daulay (2004), Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia. Jakarta: Prenada Media, hlm. 133-135. Lihat juga Abuddin Nata (2003), Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media, hlm. 77-83.
[50]
Simposium Nasional Ekonomi Islam (SIMPONAS) di Indonesia
diselenggarakan 2 tahunan sekali. Tahun 2009 ini adalah SIMPONAS ke-4,
diselenggarakan di Yogyakarta. Hostnya adalah UII bersama beberapa
Perguruan Tinggi di DIY. Jika berminat mendapatkan proceedingnya
(gratis), bisa menghubungi email: nurkholis@fiai.uii.ac.id.
[51]
Untuk mendapat info lebih lanjut tentang UU tersebut dan berbagai UU
lain yang terkait, bisa browse di www.bpkp.go.id/unit/hukum/.pdf
[52] A Riawan Amin. 2006. “Reorientasi Kebijakan Perbankan”, Artikel dalam HU nasional Republika, 4 Desember 2006.
[53] Abbas Mirakhor. 2007. A Note on Islamic Economics, Jeddah: Islamic Research and Training Institute, h. 23.
[54] Ibid., h. 18
0 Pendapat:
Posting Komentar