(Praktisi
Ekonomi Syariah dan Bisnis Islam)
Sektor keuangan dan jasa di dalam perekonomian dewasa ini memiliki share yang makin besar. Diantara bisnis di sektor ini yang mengalami booming adalah asuransi. Di dalam negeri hal itu bisa dilihat dari banyaknya perusahaan asuransi yang ada. Data Dewan Asuransi Indonesia Per akhir Juli 2000, terdapat 178 perusahaan asuransi dan reasuransi yang terdiri dari 62 perusahaan asuransi jiwa, 107 perusahaan asuransi kerugian, 4 perusahaan reasuransi, 2 perusahaan penyelenggara program asuransi sosial & Jamsostek, dan 3 perusahaan penyelenggara asuransi untuk PNS dan TNI & Polri yang memiliki izin usaha untuk beroperasi di Indonesia. Sementara itu juga terdapat 124 perusahaan penunjang asuransi yang terdiri dari 69 perusaaan pialang asuransi, 14 perusahaan pialang reasuransi, 23 perusahaan adjuster asuransi dan 18 konsultan aktuaria. Selama tahun 1999 sampai dengan akhir Juli 2000 terdapat 6 (enam) perusahaan pialang asuransi baru, dan 1 (satu) perusahaan adjuster.
Begitu pula
bisnis asuransi syariah mengalami kenaikan pesat. Secara industri, asset
asuransi jiwa syariah mengalami kenaikan lebih dari 100% dari tahun 2006 ke
tahun 2007. Data KARIM Business Consulting menunjukkan bahwa asset asuransi
jiwa syariah meningkat pesat dari 620 milyar pada Desember 2006 menjadi lebih
dari 1,5 trilliun pada akhir 2007. Demikian juga dari sisi produksi premi
mengalami peningkatan fantastis dari 300 an milyar di akhir tahun 2006 menjadi
lebih dari 1 trilliun pada akhir 2007 atau mengalami peningkatan tiga kali
lipat.
Walaupun jika
dicermati kenaikan tersebut disumbang 30% nya oleh Prudential life Assurance
yang baru membuka cabang syariah dan menawarkan produk unit link syariah nya
pada kuartal ke 4 tahun 2007. Asset Prudential cabang syariah mencapai 496
Milliar dan premi bruto sebesar 410 milliar (laporan publikasi tahun 2007).
Namun secara rata-rata perusahaan maupun cabang asuransi syariah mengalami
peningkatan asset maupun premi antara 50% - 100% di tahun 2007. Sebut saja
seperti AJB Bumiputera 1912, Allianz Life Cabang Syariah, AIA Cabang Syariah
ataupun BNI Life Syariah yang di tahun 2007 assetnya mengalami peningkatan diatas
100%. Demikian juga Asuransi Syariah Mubarakah yang kembali bergairah ditandai
dengan produksi premi brutonya yang mengalami peningkatan lebih dari 500% dari
tahun sebelumnya.
Sedangkan
asuransi kerugian di tahun 2007 mengalami peningkatan asset secara industri
berkisar 70% dengan pertumbuhan tahun 2006 - 2007 berkisar 50%. Rata-rata
perusahaan/cabang asuransi kerugian syariah mengalami peningkatan asset sebesar
30 - 50% dari tahun 2006 kecuali MAA General yang assetnya meningkat tajam dari
3 milyar menjadi 36 milyar di tahun 2007. Demikian juga peningkatan premi
rata-rata industri sebesar 50% di tahun 2007 dimana ada beberapa cabang syariah
mengalami peningkatan premi diatas 100% seperti Bumida, Adira ataupun Staco,
namun beberapa asurani lain pertumbuhan preminya di level 50 - 100% bahkan ada
juga yang dibawah 10%.
Gambaran di atas
menunjukkan bahwa transaksi asuransi baik konvensional maupun yang syariah
sangat besar dari sisi jumlah maupun nilai nominalnya. Pelaku dan pengguna
asuransi itu tentu saja kebanyakan adalah dari kaum muslim. Besar dan banyaknya
transaksi asuransi itu sayangnya belum diiringi oleh pengetahuan kaum muslim
tentang pandangan syariah atas asuransi itu. Padahal setiap muslim berkewajiban
terikat dan patuh kepada syariah dalam semua aktivitas dan transaksi yang
dilakukan, termasuk dalam transaksi asuransi. Karenanya penting disampaikan
kepada masyarakat bagaimana pandangan syariah tentang asuransi yang ada dan
berjalan saat ini.
Sekilas Sejarah Asuransi
Sekilas Sejarah Asuransi
Banyak dari para
ahli berpendapat bahwa jenis asuransi yang pertama muncul adalah asuransi
maritim (pelayaran), yang saat itu dipergunakan oleh Kaum Babilonia dengan nama
Akad Pinjam-Meminjam di atas Kapal. Bahkan beberapa pengamat berpendapat bahwa
Akad Pinjam-Meminjam ini telah disinggung sebelumnya oleh Hukum Hamurabi Tahun
250 SM. Baru kemudian Akad ini tersampaikan kepada Kaum Babilonia melalui Kaum
Phoenisia dan Hunud kuno. Lalu menyusul Romawi di abad 6-7 SM dan Yunani di
abad 4 SM.
Tapi Akad
Pinjam-Meminjam ini kemudian ditentang oleh Pihak Gereja Roma. Karena konon
akad ini memfasilitasi timbulnya aktivitas riba. Penentangan inilah yang
selanjutnya menyebabkan Akad Pinjam-Meminjam ini diamandemen menjadi Akad
Asuransi.
Dokumen asuransi
pertama pasca amandemen Akad Pinjam-Meninjam yang bisa didapatkan adalah
Dokumen Italia tertanggal: 23 Oktober 1347 M, tentang Asuransi Maritim
(Pelayaran). Kemudian asuransi ini mulai menggaung di beberapa kota di Italia
dan negara-negara sekitar Laut Tengah. Tetapi konsep asuransi kala itu hanya
terbatas pada barang dagangan yang dibawa oleh kapal, tidak pada asuransi atas
kapal itu sendiri ataupun awak kapalnya.
Sementara,
Asuransi Darat baru muncul paruh kedua abad ke tujuh Masehi di Inggris. Yakni
saat terjadi kebakaran besar selama empat hari di London tahun 1666 M yang
membumihanguskan lebih dari tiga belas ribu tempat tinggal dan seratusan
gereja. Akhirnya dibentuk jasa asuransi kebakaran dan disusul beberapa jenis
lainnya. Lalu konsep asuransi ini menyebar di beberapa negara semisal Jerman,
Perancis dan negara-negara lainnya. Kemudian konsep Asuransi Jiwa mulai
dirumuskan di Inggris pada awal abad ke-19. Pasca Revolusi Industri di Eropa,
muncul jenis asuransi baru, yakni asuransi mas'uliah (asuransi tanggung jawab).
Asuransi dengan
berbagai jenisnya itu kemudian menyebar di negeri-negeri Islam. Hanya saja
kemudian tampak bahwa asuransi itu dalam pandangan syariah bermasalah, terutama
karena adanya unsur gharar, gambling, riba dan sebagainya. Karenanya pada
sekitar tahun 1960-an banyak cendekiawan muslim mulai melakukan pengkajian
ulang atas penerapan sistem hukum Eropa ke dalam industri keuangan dan
sekaligus memperkenalkan penerapan prinsip syariah islam dalam industri
keuangannya.
Pada awalnya
prinsip syariah islam diterapkan pada industri perbankan. Dan, Cairo merupakan
negara yang pertamakali mendirikan bank Islam sekitar tahun 1971 dengan nama
“Nasser Social Bank” yang operasionalnya berdasarkan sistem bagi hasil.
Kemudian diikuti dengan berdirinya beberapa bank Islam lainnya seperti Islamic
Development Bank (IDB) dan the Dubai Islamic pada tahun 1975, Faisal Islamic
Bank of Egypt, Faisal Islamic Bank of Sudan dan Kuwait Finance House tahun
1977.
Majma’ al-Fiqh
al-Islâmy, pada kongresnya tanggal 10 Sya’ban 1398 H telah bersepakat mengharamkan
asuransi konvensional (asuransi komersial/at-ta’mîn at-tijârî) dengan sejumlah
alasan, yaitu: Asuransi mengandung gharar, mempraktikkan riba, mengandung unsur
judi, dan mengakibatkan memakan harta orang lain secara tidak sah.
Karenanya
kemudian dikembangkan asuransi dengan prosedur dan tata cara yang dinilai
sesuai dengan prinsip syariah berbeda dengan asuransi komersial dan
menghilangkan unsur riba, gharar, jahalah, qimar dan kezaliman. Yaitu asuransi
yang bersifat tolong menolong (ta’âwunî) dan saling menanggung (takâfulî)
diantara peserta asuransi. Asuransi yang pertama kali didirikan adalah Asuransi
Takaful di Sudan pada tahun 1979, yang dikelola oleh Dar al-Mal al-Islami (DMI)
Group. Dar al-Mal melebarkan sayap bisnisnya ke negara-negara Eropa dan Asia
lainnya. Setidaknya ada empat asuransi takaful dan retakaful pada tahun 1983,
yang berpusat di Geneva, Bahamas, Luxemburg, dan Inggris.
Dari sisi
legalitas, sistem asuransi syariah baru diakui dan diadopsi oleh ulama dunia
pada tahun 1985. Pada tahun ini, Majma al-Fiqhî al-Islâmî mengadopsi dan
mengesahkan takaful sebagai sistem asuransi yang sesuai dengan syariah.
Artinya, perkembangan takaful lebih didasarkan atas kreasi dan kebutuhan umat
muslim, ketimbang didorong oleh fatwa. Sistem asuransi diadopsi sebagai sistem
saling menolong dan membantu di antara para pesertanya.
Sejak saat itu
asuransi syariah berkembang bukan hanya ke negeri-negeri islam tetapi juga ke
seluruh dunia. Perkembangan asuransi dibilang cukup pesat. Dari asset $550 juta
pada tahun 2000, $193 juta diantaranya berada di Asia Pasifik, meningkat
menjadi $1,7 milyar. Pada tahun 2004 asetnya sudah mencapai $2 milyar.
Angka-angka di atas merupakan kumulasi untuk asuransi jiwa dan selain jiwa.
Asuransi keluarga syariah mendominasi perkembangan asuransi dunia, mencapai
75%, di mana 60%nya berasal dari asuransi jiwa syariah.
Perkembangan
asuransi syariah yang cukup progressif terjadi di negara-negara Arab, terutama
Arab Saudi, Qatar, Kuwait dan Bahrain. Di Bahrain pertama kali berdiri Asuransi
Takaful Internasional pada tahun 1989. Pangsa pasar asuransi di Bahrain
diperkirakan mencapai 65 juta dinar ($172 juta). Produk yang diluncurkan oleh
asuransi Bahrain antara lain, Asuransi Haji dan Umrah sejak Januari 2004,
asuransi kesehatan (The Best Doctors Takaful Health Care) sejak September 2004,
dan takaful pendidikan. Di Arab Saudi berkembang perusahaan asuransi syariah
diantaranya: Islamic Arab Insurance Company (al-Baraka Group tahun 1980),
Islamic Corporation for the Insurance, Investment dan Export Credit (1995),
Islamic Insurance Company Ltd., Islamic Insurance and Reinsurance Company
(1985), al-Aman co-Operative Insurance (ar-Rajhi tahun 1985), Global Islamic
Insurance co. (1986), Islamic Takaful and Retakaful Company (Dar al-Mal al-Islami
(DMI) Group tahun 1986). Sementara di Afrika, di Ghana pertama kali berdiri
perusahaan Metropolitan Insurance Company Limited (MIT) tahun 1994 dan menjadi
satu-satunya asuransi syariah di Ghana dengan sistem mudharabah dan takafuli.
Di Nigeria, African Alliance Insurance Company Limited mendirikan Islamic Life
Insurance System (Takaful) pada oktober 2003. Di Senegal didirikan Islamic
Takaful and Retakaful Co. dan Sonar al-Amane (al-Baraka Group). Di Trinidad and
Tobago didirikan Takaful Trinidad and Tobago Friendly Society pada tahun 1999.
Sementara di
Eropa, Inggris merupakan pelopor pengembangan asuransi syariah. Melalui HSBS’s
Amanah, Inggris bercita-cita menjadi leading sector bagi pengembangan asuransi
syariah di Eropa dan negara lainnya. Selain itu juga berdiri International
Co-operative and Mutual Insurance Federation (ICMIF) yang menghimpun 150 orang
dari 82 anggota organisasi dari 52 negara di dunia. Lembaga ini bertujuan untuk
memajukan dan memperkenalkan sistem asuransi syariah ke berbagai negara.
Di Amerika,
asuransi syariah pertama berdiri pada Desember 1996 yaitu Takaful USA Insurance
Company untuk menampung sedikitnya 12 juta penduduk muslim di sana. Di
Australia berdiri Australia Takaful Assosiation Inc.
Konsep takaful
(asuransi Islami) pertama sekali diperkenalkan di Malaysia pada tahun 1985.
Malaysia mendirikan Lembaga Penelitian dan Pelatihan Bank Syariah (BIRTI), yang
konsen pada bidang pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia. Lembaga ini
telah memberi andil dalam pengembangan industri syariah di belahan asia. Dengan
dukungan BIRTI, Takaful Malaysia menjalin kerjasama dengan Sri Lanka, Arab
Saudi, dan pernah pula memberikan dukungan teknis (technical assistance) untuk
operasionalisasi Takaful Australia. BIRTI juga memberikan dukungan teknis di
Lebanon, Bangladesh, dan Algeria. Kemudian pada tahun 1997, didirikan lagi The
Asean Retakaful International Labuan Ltd (ARILL). Saat ini, Malaysia memiliki
beberapa industri asuransi syariah, diantaranya : CIMB Aviva Takaful Berhad,
Hong Leong Tokio Marine Takaful Berhad, HSBC Amanah Takaful (Malaysia) Berhad,
MAA Takaful Berhad, Prudential BSN Takaful Berhad, Syarikat Takaful Malaysia
Berhad, Takaful Ikhlas Sdn Berhad, Takaful Nasional Sdn Berhad.
Sementara di
Indonesia, asuransi syariah mulai berkembang sejak tahun 1994. Diawali dengan
berdirinya perusahaan asuransi syariah pertama di Indonesia yaitu PT Syarikat
Takaful Indonesia (STI) pada 24 Februari 1994 yang dimotori oleh Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) melalui Yayasan Abdi Bangsa, Bank Muamalat
Indonesia, PT Asuransi Jiwa Tugu Mandiri, Departemen Keuangan RI, serta
beberapa pengusaha Muslim Indonesia. Selanjutnya, STI mendirikan dua anak
perusahaan: perusahaan asuransi jiwa syariah yaitu PT Asuransi Takaful Keluarga
(ATK) pada 4 Agustus 1994 dan perusahaan asuransi kerugian syariah bernama PT
Asuransi Takaful Umum (ATU) pada 2 Juni 1995. Setelah Asuransi Takaful dibuka,
berbagai perusahaan asuransi pun menyadari cukup besarnya potensi bisnis
asuransi
syariah di Indonesia.
syariah di Indonesia.
Hal tersebut
kemudian mendorong berbagai perusahaan ramai-ramai masuk bisnis asuransi
syariah. Diantaranya dilakukan dengan langsung mendirikan perusahaan asuransi
syariah penuh seperti yang dilakukan oleh Asuransi Syariah Mubarakah yang
bergerak pada asuransi jiwa syariah. Sedangkan kebanyakannya dilakukan dengan
membuka divisi atau cabang asuransi syariah seperti yang dilakukan oleh PT MAA
Life Assurance, PT MAA General Assurance, PT Great Eastern Life Indonesia, PT
Asuransi Tri Pakarta, PT AJB Bumiputera 1912, dan PT Asuransi Jiwa Bringin Life
Sejahtera, dan lainnya. Saat ini sesuai data Dewan Syariah Nasional (DSN)
terdapat 42 asuransi syariah, tiga reasuransi syariah dan enam broker asuransi
dan reasuransi.
Asuransi
Konvensional
Dengan
perkembangan seperti diatas, saat ini dikenal dua macam asuransi, yaitu
asuransi konvensional dan asuransi syariah. Asuransi konvensional merupakan
asuransi yang mengikuti model asuransi dari barat. Asuransi konvensional sering
juga disebut asuransi komersial (at-ta’mîn at-tijârî). Sedangkan asuransi
syariah merupakan asuransi yang dipercaya diselenggarakan berdasarkan prinsip
syariah. Asuransi syariah juga sering disebut asuransi yang bersifat tolong
menolong dan saling menanggung (at-ta’mîn at-ta’âwunî wa at-takâfulî).
Tentang asuransi
konvensional terdapat banyak definisi yang telah diberikan. Secara sepintas
tidak ada kesamaan antara definisi yang satu dengan yang lainnya. Hal ini bisa
dimaklumi, karena perbedaan sudut pandang dalam mendefinisikan asuransi.
Pasal 246 Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) Republik Indonesia –dulunya diambil dari KUHD
Belanda yang dipengaruhi oleh KUHD Perancis hasil kodifikasi Napoleon
Bonaparte– mendefinisikan, “Asuransi atau pertanggungan adalah suatu
perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri pada tertanggung
dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena
suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang
mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu”.
Sementara itu UU
tentang Usaha Perasuransian yaitu UU No. 2 tahun 1992 pasal 1 menyebutkan,
“Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih,
dimana pihak penanggung mengikat diri kepada tertanggung, dengan menerima premi
asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian,
kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab
hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul
dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau memberikan suatu peristiwa
pembayaran yang didasarkan atas meninggalnya atau hidupnya seseorang yang
dipertanggungkan.
Prof. Robert I.
Mehr dan Emerson Cammack, dalam bukunya Principles of Insurance menyatakan
bahwa suatu pengalihan risiko (transfer of risk) disebut asuransi. Ia
menyatakan, “Asuransi merupakan suatu alat untuk mengurangi resiko keuangan,
dengan cara pengumpulan unit-unit exposure dalam jumlah yang memadai, untuk
membuat agar kerugian individu dapat diperkirakan. Kemudian kerugian yang dapat
diramalkan itu dipikul merata oleh mereka yang tergabung”.
Menurut Prof.
Mark R. Green, “Asuransi adalah suatu lembaga ekonomi yang bertujuan mengurangi
risiko, dengan jalan mengkombinasikan dalam suatu pengelolaan sejumlah obyek
yang cukup besar jumlahnya, sehingga kerugian tersebut secara menyeluruh dapat
diramalkan dalam batas-batas tertentu”. Sedangkan D.S. Hansell, dalam bukunya
Elements of Insurance menyatakan bahwa asuransi selalu berkaitan dengan risiko
(Insurance is to do with risk).
Tujuan asuransi
konvensional ini adalah pengalihan resiko (transfer of risk) yang mungkin
diderita oleh pihak tertanggung yang muncul dari suatu peristiwa tak tertentu
dari pihak tertanggung kepada penanggung. Untuk itu pihak tertanggung harus
membayarkan sejumlah uang yang disebut premi kepada pihak penanggung.
Dalam asuransi
konvensional ini, pihak Penanggung adalah perusahaan asuransi, sedangkan pihak
tertanggung adalah orang yang membeli produk asuransi dan disebut juga pemegang
Polis. Tertanggung atau Pemegang Polis membayar sejumlah uang yang disebut
premi kepada perusahaan asuransi sebagai kompensasi atas kesediaan Penanggung
menanggung resiko yang mungkin dihadapi oleh tertanggung itu. Premi asuransi
yang dibayarkan oleh Tertanggung menjadi pendapatan perusahaan Asuransi.
Artinya terjadi perpindahan kepemilikan dana premi dari Tertanggung kepada
Perusahaan Asuransi. Bila Tertanggung mengalami risiko sesuai dengan yang
tertuang dalam kontrak asuransi, maka Perusahaan Asuransi harus membayar
sejumlah dana yang disebut Uang Pertanggungan kepada Tertangggung atau yang
berhak menerimanya. Sebaliknya bila sampai akhir masa kontrak Tertanggung tidak
mengalami risiko yang diperjanjikan maka kontrak Asuransi berakhir dan semua
hak dan kewajiban kedua belah pihak juga berakhir. Dari proses diatas dapat
disimpulkan bahwa terjadi perpindahan risiko financial yang dalam istilah
asuransi disebut dengan transfer of risk dari Tertanggung kepada Penanggung.
Dimana untuk itu penanggung memperoleh sejumlah uang sebagai kompensasinya.
Contoh, ketika seseorang membeli polis asuransi kebakaran untuk rumah tinggal dia akan membayar uang (premi) yang telah ditentukan oleh perusahaan asuransi, disaat yang sama perusahaan asuransi akan menanggung risiko finansial bila terjadi kebakaran atas rumah tinggal tersebut. Jika selama masa pertanggungan terjadi kebakaran rumah itu, maka perusahaan asuransi harus membayar uang pertanggungan sesuai klausul perjanjian. Sebaliknya jika selama masa pertanggungan itu tidak terjadi kebakaran atau kejadian yang tertuang di dalam klausul perjanjian, maka uang premi yang dibayarkan tertanggung akan menjadi hak perusahaan asuransi dan tertanggung tidak akan mendapatkan pembayaran apapun.
Contoh, ketika seseorang membeli polis asuransi kebakaran untuk rumah tinggal dia akan membayar uang (premi) yang telah ditentukan oleh perusahaan asuransi, disaat yang sama perusahaan asuransi akan menanggung risiko finansial bila terjadi kebakaran atas rumah tinggal tersebut. Jika selama masa pertanggungan terjadi kebakaran rumah itu, maka perusahaan asuransi harus membayar uang pertanggungan sesuai klausul perjanjian. Sebaliknya jika selama masa pertanggungan itu tidak terjadi kebakaran atau kejadian yang tertuang di dalam klausul perjanjian, maka uang premi yang dibayarkan tertanggung akan menjadi hak perusahaan asuransi dan tertanggung tidak akan mendapatkan pembayaran apapun.
Contoh lain dalam asuransi jiwa, ketika
seseorang membeli asuransi kematian (term insuransce) dengan jangka waktu
perjanjian 10 (sepuluh) tahun dengan uang pertanggungan 100 juta rupiah, maka
dia harus membayar premi yang telah ditentukan oleh perusahaan asuransi (misal
satu juta rupiah) per tahun. Maka bila tertanggung meninggal dunia dalam masa
perjanjian diatas (10 tahun), ahli waris atau orang yang ditunjuk akan
memperoleh uang dari perusahaan asuransi sebesar 100 juta. Sebaliknya bila
tertanggung masih hidup sampai akhir masa perjanjian maka dia, keluarga atau
orang yang ditunjuk tidak akan memperoleh apapun.
Motiv dalam
asuransi ini bagi penanggung bukan motiv kemanusiaan, tetapi motiv bisnis yaitu
untuk mendapatkan keuntungan. Pihak penanggung sebagai perusahaan dengan model
statistik dan probabilitas jelas lebih bisa menghitung berapa besar resiko yang
dihadapi oleh tertanggung dan kemungkinan klaim yang akan dibayarkan.
Perusahaan pun juga bisa menghitung besarnya nilai penggantian yang harus
dibayarkan. Kemudian perusahaan pun masih memasukkan biaya operasional dan
nisbah keuntungan yang diinginkan. Dengan itu perusahaan bisa menentukan
besaran premi yang harus dibayar oleh tertanggung. Semakin banyak nasabah yang
bisa direkrut oleh perusahaan maka lebih mudah memperhitungkan itu dan
keuntungan yang bisa diraih oleh perusahaan pun bisa lebih besar.
Memang bisa saja
perhitungan itu meleset. Namun pada kebanyakan kondisi dan dalam situasi
normal, perhitungan itu tidak meleset. Kecuali dalam kondisi terjadi bencana
sehingga perusahaan harus membayar pertanggungan dalam jumlah banyak sekaligus.
Namun sekali lagi kejadian seperti itu kemungkinannya kecil. Dan pada umumnya
perusahaan asuransi berupaya mengalihkan resiko itu agar juga ditanggung oleh
pihak lain dengan jalan mereasuransikan ke perusahaan reasuransi.
Asuransi Syariah
Asuransi Syariah
Asuransi Syariah
(Ta’min, Takaful atau Tadhamun), menurut Dewan Syariah Nasional (DSN-MUI)
adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah
orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru’ yang
memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad
(perikatan) yang sesuai dengan syariah. Maksud dari Akad yang sesuai dengan
syariah adalah yang tidak mengandung gharar (penipuan), perjudian, riba,
penganiayaan/kezaliman, suap, barang haram dan maksiat. Sedangkan AAOIFI
menyebutkan bahwa asuransi syariah adalah sistem menyeluruh yang pesertanya
mendonasikan (derma) sebagian atau seluruh kontribusinya yang digunakan untuk
membayar klaim atas kerugian akibat musibah pada jiwa, badan, atau benda yang
dialami oleh sebagian peserta yang lain.
Dalam asuransi
syariah transaksi atau akad yang ada di dalamnya ada tiga macam akad, yaitu
akad tabarru’, akad mudharabah dan akad wakalah bil ujrah. Penggunaan ketiga
akad tersebut bergantung pada model pengelolaan asuransi syariahnya. Secara
garis besar asuransi syariah ada dua jenis, non saving dan yang disertai
saving.
Konsep dasar
asuransi syariah atau takaful adalah pembagian resiko (sharing of risk) kepada
seluruh peserta asuransi. Mudahnya adalah bahwa seluruh peserta sepakat untuk
saling menolong dan saling menanggung diantara mereka. Maka setiap peserta
menyetorkan sejumlah uang (premi) yang telah disepakati (ditentukan), dan
disebut sebagai tabarru’ (derma/sumbangan). Seluruh uang premi dari seluruh peserta
itu dihimpun menjadi satu dan dimasukkan dalam satu akun yang disebut dana
tabarru’. Jika terjadi sesuatu yang telah disepakati pada salah seorang peserta
maka ia akan diberi uang pertanggungan yang diambil dari dana tabarru’.
Dalam asuransi
syariah (takaful) akad tabarru’ ini harus ada. Karena akad tabarru’ inilah yang
menjadi konsep dasar dari takaful. Jika akad ini tidak ada maka dengan
sendirinya takâful yang dirumuskan itu menjadi tidak ada.
Dalam asuransi
yang non saving, akad yang digunakan adalah akad tabarru’. Pengelolaan atau
menejemen dana tabarru’ dan saling menanggung diantara peserta diamanahkan
kepada perusahaan asuransi syariah. Perusahaan asuransi syariah berhak mendapat
konpensasi atas administrasi dan menejemen yang dilakukan. Akad yang digunakan
dengan perusahaan dalam hal ini adalah akad wakalah bil ujrah.
Sedangkan dalam
asuransi yang disertai saving, maka premi yang dibayarkan peserta sejak awal
dibagi dua bagian. Sebagian diakadkan sebagai tabarru’ dan dikelola seperti
pengelolaan dana tabarru’ diatas. Sedangkan sebagian lagi dan bisanya bagian
yang lebih besar, diakadkan sebagai penyertaan modal. Pengelolaan dana saving
ini dilakukan oleh perusahaan asuransi syariah sebagai pengelola. Akad yang
digunakan dalam hal ini adalah mudharabah. Hasil pengelolaan dana saving ini
dibagi diantara nasabah dengan perusahaan degan nisbah tertentu misalnya 40:60.
Model kedua
inilah yang kebanyakan dipakai oleh perusahaan asuransi syariah. Dalam konteks
ini, maka untuk pengelolaan dana tabarru’, perusahaan berstatus sebagai pihak
yang mengelola, memenej dan melakukan kegiatan administrasi termasuk pemasaran
dengan mendapatkan kompensasi. Akad yang digunakan adalah wakalah bil ujrah.
Pada saat yang sama, perusahaan juga berposisi sebagai pengelola dalam syarikah
mudharabah dimana nasabah berposisi sebagai pemilik modal (shâhib al-mâl).
Keuntungan dari pengelolaan mudharabah ini dibagi diantara perusahaan sebagai
pengelola dengan nasabah sebagai pemilik modal.
Contoh
prakteknya: A menjadi peserta asuransi jiwa syariah untuk masa pertanggungan 10
tahun. Misal premi yang ia bayarkan sebesar seratus ribu per bulan (1,2
juta/tahun). Dari jumlah itu sepuluh ribu/bulan ditetapkan sebagai tabarru’.
Maka seandainya A meninggal setelah lima tahun, maka keluarganya akan menerima:
(a) savingnya selama lima tahun sebesar Rp. 5.400.000,-; ditambah (b) yaitu
bagi hasil selama lima tahun itu misalnya sebesar Rp. 500.000,- dan (c) sisa
premi yang belum A bayar sebesar Rp. 6.000.000,-. Sehingga total keluarganya akan
mendapatkan: a + b + c = Rp. 11.900.000,-. Uang sebesar Rp. 6.000.000,- yaitu
besaran sisa premi yang belum A bayar itu diambilkan dari dana tabarru’.
Misalnya A
mengundurkan diri setelah lima tahun. Maka A akan menerima pengembalian dana
sebesar: total saving lima tahun (Rp. 5.400.000) ditambah bagi hasil (misalnya
Rp. 500.000). Jadi A akan menerima pengembalian dana sebesar Rp. 5.900.000,-.
Sedangkan jika
sampai akhir masa pertangungan A masih hidup, maka A akan mendapat pengembalian
dana sebesar total saving dia selama sepuluh tahun (Rp. 1.080.000,- x 10 tahun
= Rp. 10.800.000,-) ditambah bagi hasil yang A peroleh selama sepuluh tahun
itu, misalnya sebesar Rp. 2.000.000. Jadi A akan menerima pengembalian dana
sebesar Rp. 12.800.000,-.
Bagi seorang muslim yang berkeinginan taat
pada hukum syariah agamanya, menjadi penting mengetahui status hukum dari
muamalah asuransi. Untuk mengetahuinya, muamalah asuransi itu harus dibedah
secara rinci untuk mengetahui fakta muamalahnya dengan baik. Setelah diketahui fakta
muamalahnya akan bisa diukur dengan ketentuan syariah tentang muamalah tersebut
dan ditentukan status hukumnya menurut kaca mata syariah islam.
Menilik
pengertian dan deskripsi asuransi diatas tampak bahwa asuransi itu baik
asuransi konvensional maupun asuransi syariah (takaful) merupakan akad yang
berkaitan dengan pertanggungan (adh-dhamân). Dengan demikian instrument fikih
yang bisa digunakan untuk menilai muamalah asuransi adalah ketentuan tentang
akad secara umum dan tentang pertanggungan (adh-dhamân) secara khusus.
Disamping itu, sebagian pihak juga menyatakan bahwa di dalam asuransi
konvensional yang terjadi adalah transaksi pertukaran (tabâduli) sehingga untuk
menilainya juga sering digunakan ketentuan fikih tentang pertukaran.
Sementara itu
muamalah asuransi syariah (takaful), unsur yang harus ada di dalamnya adalah
akad tabarru’ yang merupakan hibah dan akad takâfuli (saling menanggung). Untuk
memenej akad dan dana tabarru’ ini diserahkan kepada perusahaan asuransi dengan
akad wakalah bil ujrah. Akad wakalah bil ujrah ini termasuk di dalam akad
ijâratul ajîr. Disamping itu di dalam jenis asuransi syariah yang disertai
saving, pengelolaan dana saving/investasi nasabah dilakukan oleh perusahaan
asuransi dengan pola syarikah. Akad syarikah yang secara luas digunakan adalah
mudharabah –karena biasanya perusahaan asuransi juga ikut andil modal, dalam
beberapa literatur termasuk di dalam fatwa DSN disebut akad mudharabah
musytarakah–.
Dengan demikian
untuk melihat asuransi syariah instrumen yang digunakan selain ketentuan fikih
tentang akad secara umum dan tentang adh-dhamân, juga ketentuan fikih tentang
akad tabarru’ (hibah), akad ijaratul ajir, dan akad syarikah terutama
mudharabah.
Terdapat
perbedaan pendapat tentang hukum asuransi konvensional. Mayoritas cendekiawan
muslim dan para ulama mengharamkannya. Hanya sebagian kecil yang
memperbolehkannya. Diantara yang memperbolehkan adalah Mushthafa Zarqa.
Kemudian pendapatnya itu diungkapkan kembali oleh Ali al-Khafif, Muhammad Yusuf
Musa, Abdul Wahab Khalaf dan Abdurrahman Isa. Mereka yang mengharamkannya
diantaranya: Ibn Abidin ulama hanafiyah abad ke-13 H, Muhammad Bakhit
al-Muthi’i mufti Mesir, Rasyid Ridha, Muhammad Abu Zahrah, Abdullah al-Qalqili
mufti Yordania, Muhammad Abu al-Yaser Abidin mufti Suria, Dr. Shadiq
adh-Dharir, syaikh Jad al-Haq syaikh al-Azhar, syaikh Muhamamd bin Ibrahim Ali
asy-Syaikh, Abdul Karim Zaydan, Sayid Sabiq dan lainnya. Keharamannya juga
difatwakan oleh Hai’ah Kibâr al-’Ulamâ’ di Saudi, Majma’ al-Fiqhî al-Islâmî
dibawah Rabithah al-’Alam al-Islami, Majma’ al-Fiqhî ad-Dawlî di bawah OKI,
Mu’tamar al-’Alami li al-Iqtishâd al-Islâmî dan lainnya.
Pandangan Syariah
Tentang Asuransi Konvensional
Dari deskripsi di
atas tampak jelas bahwa akad asuransi merupakan akad yang berkaitan dengan
pertanggungan (adh-dhamân). Maka untuk mengetahui pandangan syariah tentangnya
dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek akad secara umum dan dari aspek akad
pertanggungan (adh-dhamân).
Pertama, dari
sisi akad secara umum. Suatu akad agar bisa dinilai sah secara syar’i harus
memenuhi rukun dan syaratnya. Rukun akad secara umum adalah: 1) dua pihak yang
berakad (al-‘âqidân); 2) ijab dan qabul (shighât); dan 3) obyek yang diakadkan
(al-ma’qûd ‘alayh). Jika salah satu dari rukun akad itu tidak terpenuhi, maka
akad menjadi batil.
Dan jika kita
telaah semua akad yang dijelaskan syariah, maka tampak jelas bahwa akad itu
wajib terjadi atas barang atau manfaat; baik disertai kompensasi atau tidak.
Jadi akad bisa terjadi atas barang disertai kompensasi contohnya jual beli,
salam, syarikah, dan sebagainya; atau tidak disertai kompensasi contohnya
hibah, shadaqah, hadiah dan sebagainya. Bisa juga akad terjadi atas manfaat
disertai dengan kompensasi contohnya ijaratul ajîr (kontrak kerja) dan sewa
menyewa (ijârah/kirâ’), dan kadang tidak disertai kompensasi seperti ‘âriyah
(pinjaman). Jika akad itu tidak terjadi atas benda atau manfaat, maka akad
seperti itu secara syar’i merupakan akad yang batil, karena tidak terjadi atas
sesuatu yang bisa menjadikannya sebagai akad dalam pandangan syara’.
Di dalam akad
asuransi konvensional, memang ada dua pihak yang berakad, yaitu perusahaan
sebagai penanggung (insurer/al-muammin/adh-dhâmin) dan nasabah sebagai
tertanggung (insured/al-muamman ‘anhu/al-madhmûn ‘anhu). Begitu juga terdapat
ijab dan qabul yang tercermin dalam klausul asuransi yang disepakati. Tetapi
jika kita perhatikan di dalam akad asuransi itu tidak terpenuhi ketentuan
tentang obyek akad (al-ma’qûd ‘alayh).
Di dalam asuransi
konvensional, yang terjadi adalah nasabah berakad dengan perusahaan asuransi
dimana nasabah bersedia membayar sejumlah uang sebagai premi kepada perusahaan
dan perusahaan berjanji atau menjamin akan membayar sejumlah uang pertanggungan
jika terjadi peristiwa yang disebutkan di dalam klausul kontrak. Yang menjadi
obyek akad dalam akad asuransi itu adalah jaminan atau janji untuk membayar
sejumlah uang pertanggungan kepada tertanggung (insured/al-muamman
‘anhu/al-madhmûn ‘anhu) atau orang yang ditunjuk oleh tertanggung (al-muamman
lahu/al-madhmûn lahu). Jadi akad asuransi itu terjadi atas janji (ta’ahud) atau
jaminan (dhamânah). Janji atau jaminan itu sendiri bukanlah harta karena tidak bisa
dikonsumsi. Janji atau jaminan itu juga tidak bisa diambil manfaatnya dan tidak
bisa dipandang sebagai manfaat atau jasa, karena janji atau jaminan itu sendiri
tidak bisa diambil manfaatnya baik dalam bentuk sewa (upah) ataupun
dipinjamkan. Sementara obyek akad (al-ma’qûd ‘alayh) menurut syara’ wajib
berupa harta atau manfaat (jasa). Dengan demikian akad asuransi konvensional
itu tidak memenuhi ketentuan syara’ tentang obyek akad (al-ma’qûd ‘alayh).
Obyek akad
(al-ma’qûd ‘alayh) sendiri merupakan salah satu rukun akad yang wajib dipenuhi
sehingga akad itu bisa dinilai sah secara syar’i. Karena yang tidak terpenuhi
adalah salah satu rukun akad maka status akad asuransi konvensional itu adalah
akad yang batil.
Kedua, dari sisi
akad pertanggungan (adh-dhamân). Di dalam asuransi konvensional perusahaan
(penanggung) memberikan janji atau jaminan untuk membayar uang pertanggungan
sesuai syarat-syarat yang tertentu. Akad seperti itu termasuk akad
pertanggungan (adh-dhamân). Karenanya agar sah secara syar’i harus memenuhi
ketentuan akad adh-dhamân menurut syara’.
Ad-Dhamân secara
bahasa artinya al-iltizâm (keharusan/komitmen). Adh-dhamân sama dengan kafâlah
dan za’âmah. Secara syar’i, adh-dhamân (pertanggungan) adalah:
ضَمُّ ذِمَّةِ الضَّامِنِ إِلَى ذِمَّةِ الْمَضْمُوْنِ عَنْهُ فِيْ اِلْتِزَامِ الْحَقِّ
Penggabungan
tanggungjawab (tanggungan) penanggung kepada tanggungjwab tertanggung dalam
kewajiban menunaikan hak
Di dalam
adh-dhamân harus ada: penggabungan tanggungjawab kepada tanggungjawab pihak
lain (dhammu dzimmah ilâ dzimmah), penanggung (adh-dhâmin), tertanggung
(al-madhmûn ’anhu), dan pihak yang menerima tanggungan (al-madhmûn lahu).
Adh-dhamân (pertanggungan) merupakan komitmen untuk menunaikan hak yang berada
di dalam tanggungan tanpa disertai kompensasi.
Hal itu
dijelaskan di dalam hadis dari jalur Jabir bin Abdullah ra.:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ لِيُصَلِّيَ عَلَيْهَا فَقَالَ هَلْ عَلَى صَاحِبِكُمْ مِنْ دَيْنٍ؟ فَقَالُوْا: نَعَمْ دِيْنَارَانِ، فَقَالَ: صَلُّوْا عَلَى صَاحِبِكُمْ، فَقَالَ أَبُوْ قَتَادَةَ: هُمَا عَلَيَّ يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ فَصَلَّى عَلَيْهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Bahwa Nabi saw, di datangkan sesosok jenazah
agar Beliau menshalatkannya. Maka Nabi bertanya: “apakah ia mempunyai utang?”
Para sahabat berkata: “benar, dua dinar”. Lalu Nabi bersabda: “shalatkan teman
kalian!” Maka Abu Qatadah berkata: “keduanya (dua dinar) menjadi kewajibanku ya
Rasulullah”. Maka Nabi saw pun menshalatkannya (HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai dan al-Hakim)
Kisah tersebut juga diriwayatkan oleh imam Bukhari dari Salamah bin al-Akwa’ secara panjang lebar dan disebutkan bahwa utangnya tiga dinar. Di dalam riwayat Ibn Majah dari Abu Qatadah, ia ketika itu berkata: “wa anâ attakaffalu bihi –aku menjadi penanggungnya-“. Sedangkan di dalam riwayat al-Hakim tentang riwayat Jabir di atas terdapat tambahan sesudahnya:
Kisah tersebut juga diriwayatkan oleh imam Bukhari dari Salamah bin al-Akwa’ secara panjang lebar dan disebutkan bahwa utangnya tiga dinar. Di dalam riwayat Ibn Majah dari Abu Qatadah, ia ketika itu berkata: “wa anâ attakaffalu bihi –aku menjadi penanggungnya-“. Sedangkan di dalam riwayat al-Hakim tentang riwayat Jabir di atas terdapat tambahan sesudahnya:
" فَقَالَ هُمَا عَلَيْك وَفِي مَالِك وَالْمَيِّت مِنْهُمَا بَرِيء ؟ قَالَ نَعَمْ ، فَصَلَّى عَلَيْهِ ، فَجَعَلَ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا لَقِيَ أَبَا قَتَادَةَ يَقُول : مَا صَنَعَتْ الدِّينَارَانِ ؟ حَتَّى كَانَ آخِر ذَلِكَ إِنْ قَالَ : قَدْ قَضَيْتهمَا يَا رَسُول اللَّه ، قَالَ : الْآن حِين بَرَّدْت عَلَيْهِ جِلْده
"
Nabi bersabda
kepada Abu Qatadah: “keduanya menjadi kewajibanmu dan di dalam hartamu
sedangkan mayit tersebut terbebas?” Abu Qatadah menjawab: “benar”. Lalu Nabi
saw menshalatkannya. Maka Rasul saw jika bertemu Abu Qatadah beliau bertanya:
“apa yang telah dilakukan oleh dua dinar?” Hingga akhirnya jika Abu Qatadah
berkata: “aku telah membayar keduanya ya Rasulullah” Nabi saw bersabda:
“sekarang kulitnya telah dingin”
Abu Sa’id
al-Khudzri juga menuturkan:
كَانَ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أُتِيَ بِجِنَازَةٍ لَمْ يَسْأَل عَنْ شَيْء مِنْ عَمَل الرَّجُل ، وَيَسْأَل عَنْ دَيْنه ، فَإِنْ قِيلَ عَلَيْهِ دَيْن كَفّ ، وَإِنْ قِيلَ لَيْسَ عَلَيْهِ دَيْن صَلَّى . فَأُتِيَ بِجِنَازَةٍ ، فَلَمَّا قَامَ لِيُكَبِّر سَأَلَ هَلْ عَلَيْهِ دَيْن فَقَالُوا : دِينَارَانِ ، فَعَدَلَ عَنْهُ فَقَالَ عَلِيّ
: هُمَا عَلَيّ يَا رَسُول اللَّه وَهُوَ بَرِيء مِنْهُمَا ، فَصَلَّى عَلَيْهِ . ثُمَّ قَالَ لِعَلِيٍّ جَزَاك اللَّه خَيْرًا وَفَكَّ اللَّه رِهَانَكَ كَمَا فَكَكْتَ رِهَانَ أَخِيْكَ
Bahwa Rasulullah
saw jika didatangkan sesosok jenazah, Beliau tidak bertanya tentang amalnya,
tetapi Beliau bertanya tentang utangnya. Jika dikatakan jenazah itu memiliki
utang, Beliau menahan diri, Sebaliknya jika dikatakan jenazah itu tidak
mempunyai utang, Beliau pun menshalatkannya. Maka didatangkan sesosok jenazah.
Ketika Beliau berdiri dan hendak bertakbir, Beliau bertanya tentang utangnya.
Para sahabat mernjawab: “dua dinar”. Beliau pun urung menshalatkannya. Maka Ali
bin Abi Thalib berkata: “keduanya menjadi kewajibanku ya Rasulullah dan jenazah
itu bebas dari keduanya”. Maka Beliau menshalatkannya. Kemudian Beliau bersabda
kepada Ali: “semoga Allah membalasmu dengan yang lebih baik, dan semoga Allah
membebaskan tanggunganmu sebagaimana engkau telah membebaskan tanggungan
temanmu” (HR.
ad-Daraquthni)
Di dalam hadis
diatas jelas bahwa Abu Qatadah dan Ali bin Abi Thalib telah menggabungkan
tanggung jawabnya kepada tanggung jawab si mayit dalam hal kewajiban menunaikan
hak finansial kepada pihak yang memberikan utang. Juga jelas bahwa penggabungan
tanggung jawab itu dilakukan oleh Abu Qatadah dan Ali bin Abiy Thalib tanpa ada
kompensasi. Disamping juga tampak jelas di dalam adh-dhamân itu ada penanggung
(adh-dhâmin) yaitu Abu Qatadah dan Ali bin Abiy Thalib, tertanggung (al-madhmûn
‘anhu) yaitu si mayit; pihak yang menerima tanggungan (al-madhmûn lahu) yaitu
pihak yang memberikan utang kepada si mayit; dan ada sesuatu yang ditanggung
(al-madhmûn bihi) yaitu kewajiban membayar utang itu.
Meski dalam
adh-dhamân itu tidak disyaratkan, tertanggung (al-madhmûn ‘anhu) dan yang
menerima tanggungan (al-madhmûn lahu) harus jelas, melainkan keduanya boleh
majhul (tidak jelas). Hal itu karena di dalam hadis diatas, jelas Rasul
menyetujui adh-dhamân yang dilakukan oleh Abu Qatadah dan Ali bin Abiy Thalib.
Sementara Rasul tidak menanyakan siapa jati diri jenazah itu dan siapa yang
menghutanginya.
Dari hadis ini
para ulama kemudian mengistinbath bahwa di dalam akad adh-dhamân itu harus ada
dhammu dzimmah ilâ dzimmah (penggabungan tanggungan kepada tanggungan pihak
lain). Jika tertanggung tidak memiliki tanggungan maka jelas tidak ada
penggabungan tanggungan sehingga tidak akan ada adh-dhamân (pertanggungan).
Adanya tanggungan (adz-dzimmah) itu akan tampak pada hak atau tanggungan yang
wajib ditunaikan. Artinya adh-dhamân itu ada jika ada hak atau tanggungan
finansial yang wajib ditunaikan dan terbukti sudah ada (haqq[un] wâjib[un]
tsâbit[un] fî adz-dzimmah). Contohnya adalah utang si mayit itu adalah jelas
merupakan hak atau tanggungan finansial yang wajib ditunaikan dan terbukti ada
di dalam tanggungan si mayit. Adh-dhamân juga bisa ada jika ada hak atau
tanggungan yang nantinya wajib ditunaikan dan terbukti berada di dalam
tanggungan (haqq[un] yuawalu ilâ al-wâjib wa tsâbit fî adz-dzimmah).
Contohnya, jika A
berkata kepada seorang wanita, “menikahlah Anda dan mahar anda saya jamin”.
Pada saat A mengatakannya, kewajiban mahar itu belum ada. Tetapi, nanti jika
wanita itu menikah maka jelas mahar bagi si wanita itu akan menjadi hak atau
tanggungan yang wajib ditunaikan dan menjadi tanggungan mempelai pria. Dalam
konteks ini penanggung adalah si A, tertanggung adalah mempelai pria dan yang
mendapat tanggungan adalah si wanita itu.
Inilah ketentuan syariah tentang pertanggungan (adh-dhamân). Jika kita terapkan ketentuan tersebut terhadap akad asuransi konvensional, maka tampak bahwa ketentuan syariah tentang pertanggungan itu tidak terpenuhi.
Di dalam asuransi
itu tidak ada penggabungan tanggung jawab (dhammu dzimmah ilâ dzimmah) sama
sekali. Perusahaan asuransi tidak menggabungkan tanggung jawabnya kepada
tanggung jawab seseorang pun dalam menunaikan kewajiban finansial. Pihak
penerima pertanggungan (al-muamman lahu) tidak memiliki hak finansial yang
menjadi kewajiban atau yang nanti menjadi kewajiban si nasabah sebagai
tertanggung (insured/al-muamman ‘anhu). Misalnya, dalam asuransi jiwa, ketika
nasabah meninggal jelas pihak yang menerima pertanggungan yaitu keluarganya
atau orang yang ditunjuk, tidak memiliki hak finansial yang menjadi kewajiban
si nasabah yang meninggal itu. Begitu pula dalam asuransi kerugian, semisal
asuransi mobil. Ketika mobil itu rusak karena sesuatu atau hilang atau dicuri,
jelas bahwa nasabah yaitu pemilik mobil itu tidak memiliki hak finansial yang
menjadi kewajiban pihak lain untuk memperbaiki kerusakan atau mengganti mobil
itu. Jadi jelas di dalam asuransi konvensional tidak ada hak finansial yang
menjadi kewajiban atau nantinya menjadi kewajiban bagi tertanggung
(insured/al-muamman ‘anhu). Sementara adanya tertanggung itu ditentukan oleh
adanya hak finansial yang wajib atau nantinya wajib ia tunaikan. Jika hak
finansial yang wajib ditunaikan itu tidak ada maka tidak akan ada pihak yang
menjadi tertanggung (insured/al-madhmûn ‘anhu). Dengan demikian dalam asuransi
tersebut tidak ada yang menjadi pihak tertanggung karena tidak adanya
tanggungjawab (dzimmah) atau hak finansial yang wajib atau nantinya wajib
ditunaikan.
Dengan demikian akad asuransi konvensional itu
telah kosong dari unsur-unsur adh-dhamân (pertanggungan) sehingga bisa dinilai
sebagai adh-dhamân. Yaitu tidak ada tertanggung (insured/al-madhmûn ‘anhu). Di
dalamnya juga tidak ada penggabungan tanggung jawab (dhammu dzimmah ilâ
dzimmah), sementara adh-dhamân itu adalah dhammu dzimmah ilâ dzimmah. Pihak
yang menerima pertanggungan juga tidak memiliki hak finansial yang wajib
ditunaikan oleh nasabah yang dikatakan sebagai tertanggung. Karena semua alasan
itu, maka secara syar’i akad asuransi konvensional itu merupakan akad yang
batil.
Ibn Abidin (w.
1252 H/1836 M) di dalam Hasyiyah Radd al-Mukhtâr (4/170) menyatakan: “telah
berlangsung kebiasaan bahwa para pedagang jika mereka menyewa kapal dari
seorang kafir harbi, mereka selain menyerahkan uang sewanya juga menyerahkan
sejumlah uang kepada orang kafir harbi yang tinggal di negerinya itu. Harta
yang dibayarkan itu disebut sawkarah. Jika terjadi kerusakan apapun atas harta
di kapal itu baik karena terbakar, tenggelam, dirampok atau lainnya, maka orang
kafir harbi itu menjadi penjaminnya dengan kompensasi berupa harta yang ia
terima dari para pedagang itu. Orang kafir harbi itu memiliki wakil seorang
musta’man –orang kafir yang masuk ke negeri muslim karena mendapat izin– di
negeri kita yang tinggal di negeri-negeri pantai bagian dari negeri Islam atas
izin dari penguasa. Wakil itulah yang menerima uang sawkarah dari para pedagang
tersebut. Dan jika harta para pedagang itu rusak di laut manapun, maka orang
musta’man itu (wakil orang kafir harbi) akan menyerahkan pengganti harta
tersebut secara sempurna kepada para pedagang itu. Yang tampak jelas bagiku
adalah bahwa para pedagang itu tidak halal mengambil uang pengganti hartanya
yang rusak itu karena itu artinya iltizâm mâ lâ yalzam (mewajibkan sesuatu yang
tidak wajib).” Pernyataan ini agaknya merupakan jawaban Ibn Abidin tentang
status hukum asuransi maritim yang marak pada masa itu dan masuk ke negeri
Islam berasal dari Eropa. Di Eropa sendiri asuransi maritim itu sudah
berkembang sejak abad ke-14. Kata sawkarah itu sendiri menurut Muhthafa Zarqa
berasal dari bahasa perancis “sekurity” yang artinya aman dan menjadi aman. Dari
sini jelas bahwa menurut Ibn Abidin, asuransi seperti itu hukumnya haram.
Disamping semua
itu, ketika perusahaan asuransi berjanji atau menjamin akan membayar sejumlah
uang pertanggungan jika terjadi peristiwa tak tertentu yang disebutkan di dalam
klausul kontrak, perusahaan asuransi itu berkomitmen atas hal itu dengan
mendapat kompensasi. Maka itu merupakan iltizâm (komitment) dengan mendapat
imbalan. Yang demikian secara syar’i tidak sah. Karena syarat sah adh-dhamân
adalah harus tanpa imbalan. akad asuransi karena adanya imbalan itu juga
merupakan akad adh-dhamân yang batil.
Pendapat lain
dalam masalah asuransi ini menilai akad asuransi sebagai akad yang bersifat
pertukaran (tabâdulî). Yaitu terjadi pertukaran dimana nasabah mempertukarkan
uang premi yang ia bayarkan secara berangsur dengan sejumlah uang pertanggungan
yang akan ia, keluarganya atau orang yang ia tunjuk, peroleh ketika terjadi
peristiwa tak tertentu yang disebutkan di dalam klausul kontrak. Penilaian
demikian menjadi penilaian kebanyakan orang ketika menganalisis akad asuransi.
Meski yang lebih tepat adalah memandang akad asuransi itu sebagai akad
adh-dhamân (pertanggungan) yang disertai kompensasi.
Jika akad
asuransi itu dipandang sebagai tabâdulî, maka juga tampak jelas hal-hal yang menjadikannya
sebagai akad yang batil dan haram hukumnya. Yaitu bahwa di dalamnya tampak
terdapat unsur gharar, jahalah, maisir (perjudian/gambling), riba dan
kezaliman.
Gharar yang ada
terjadi pada obyek yang diakadkan. Nasabah (tertanggung) asuransi pada saat
akad/kontrak tidak mengetahui secara jelas/pasti berapa jumlah uang yang harus
ia bayar dan sampai kapan. Ia juga tidak tahu apakah akan bisa mendapatkan uang
pertanggungan atau tidak. Begitu pula perusahaan asuransi pada saat
akad/kontrak tidak mengetahui berapa jumlah uang premi yang akan ia peroleh dan
juga tidak bisa memastikan apakah harus membayar uang pertanggungan atau tidak.
Jadi unsur jahalah (ketidakjelasan) sangat menonjol dalam akad asuransi. Dimana
jahalah ini ada pada harta yang dipertukarkan dari kedua pihak. Jahalah yang
besar itu terjadi pada obyek akad yang merupakan salah satu rukun akad. Dengan
demikian akad asuransi itu batil karena salah satu rukunnya tidak terpenuhi.
Nasabah dan
perusahaan asuransi juga mendasarkan kewajiban dan apa yang akan diperoleh pada
unsur gambling (untung-untungan) karena mendasarkan pada peristiwa tak
tertentu. Peristiwa itu bisa terjadi kapan saja, dan sebaliknya bisa juga tidak
terjadi. Jika peristiwa itu terjadi maka nasabah akan mendapat uang pertanggungan
meski misalnya baru dua kali membayar uang premi. Seakan nasabah mempertaruhkan
sedikit uang untuk mendapatkan uang yang banyak. Sebaliknya perusahaan asuransi
seakan mempertaruhkan uang pertanggungan untuk mendapatkan kumulasi uang premi.
Jika sampai akhir masa pertanggungan tidak terjadi peristiwa yang disepakati
maka nasabah tidak akan mendapatkan uang pertanggungan. Sebaliknya perusahaan
asuransi akan mendapatkan kumulasi uang premi itu tanpa mengeluarkan
kompensasi. Dari deskripsi ini tampak jelas adanya unsur maysîr
(gambling/judi). Sementara maysîr sangat tegas dilarang (diharamkan) di dalam
al-Quran (QS. al-Mâidah [5]: 90).
Disamping itu di
dalam akad asuransi itu jika dipandang sebagai pertukaran, tampak di dalamnya
ada riba. Nasabah mempertukarkan sejumlah uang dengan mendapat uang yang lebih
banyak. Karena jumlah uang pertanggungan biasanya jauh lebih besar dari
kumulasi premi yang dibayar. Dilihat dari sisi ini tampak jelas adanya riba
fadhl, karena mempertukarkan uang jenis yang sama (misalnya, rupiah dengan
rupiah) dengan jumlah yang tidak sama. Disamping itu, nasabah akan mendapatkan
uang pertanggungan itu sebagai kompensasi dari uang premi yang ia bayarkan
secara berangsur. Artinya ia mendapat uang pertanggungan setelah jangka waktu
tertentu dari waktu ia menyerahkan uang premi. Dimana uang pertanggungan lebih
besar dari kumulasi uang premi. Dilihat dari sisi ini tampak jelas adanya riba
nasiah, sebab tambahan itu terjadi karena adanya tempo.
Dengan demikian
jika akad asuransi itu dipandang sebagai pertukaran sekalipun, tampak jelas
kebatilan dan keharamannya. Karena obyek akadnya (al-ma’qûd ’alayh) tidak jelas
atau majhûl. Di dalam obyek akad itu terdapat gharar. Juga bahwa akad asuransi
itu merupakan bentuk gambling. Disamping tampak jelas di dalamnya terdapat
riba.
Konsekuensinya,
sebagai akad yang batil maka haram bagi seorang muslim siapapun dia
melangsungkan akad asuransi. Akad yang batil dalam pandangan syariah dinilai
gugur sejak awal, seakan tidak pernah terjadi akad itu. Jika sudah terlanjur,
maka harus dikembalikan kepada keadaan awal sebelum terjadinya akad asuransi
tersebut. Selain itu, sebagai akad yang batil, semua harta yang diperoleh
dengan akad yang batil statusnya adalah harta yang diperoleh dengan tata cara
yang tidak sesuai dengan syariah, atau diperoleh dengan cara yang tidak haq.
Karenanya harta yang diperoleh dari akad asuransi itu adalah harta yang haram.
Asuransi Syariah,
Beberapa Catatan
Asuransi syariah
dikampanyekan sebagai alternatif bagi kaum muslim untuk menjalankan akad
asuransi. Sesuai dengan fatwa DSN (Dewan Syariah Nasional) tentang Pedoman Umum
tentang Asuransi Syariah disebutkan bahwa asuransi syariah adalah usaha saling
melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi
dalam bentuk aset dan / atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk
menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.
Akad yang sesuai dengan syariah yang dimaksud tersebut adalah yang tidak
mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, zhulm (penganiayaan),
risywah (suap), barang haram dan maksiat. Asuransi syariah itu disebut ta’mîn,
takâful atau tadhâmun. Konsep dasarnya adalah adanya saling menanggung diantara
peserta asuransi. Dengan demikian jelas bahwa asuransi syariah itu juga
merupakan adh-dhamân (pertanggungan).
Dipercaya oleh banyak kalangan bahwa asuransi
syariah dijalankan sesuai dengan prinsip syariah. Hanya saja dari perkembangan
berjalannya asuransi syariah, tampak ada kesenjangan antara tataran konsep
dengan tataran aplikasi. Dalam tataran konsep dan aplikasi masih ada beberapa
pertanyaan dan catatan.
Pertama, bahwa
asuransi syariah jelas termasuk adh-dhamân. Agar sah maka akad asuransi syariah
itu harus memenuhi syarat dan ketentuan syariah tentang adh-dhamân. Yaitu di
dalamnya harus ada: penanggung (adh-dhâmin), tertanggung (al-madhmûn ‘anhu),
yang mendapat pertanggungan (al-madhmûn lahu) dan penggabungan tanggung jawab
penanggung kepada tanggungan jawab tertanggung (dhammu dzimmah adh-dhâmin ilâ dzimmah
al-madhmûn ‘anhu). Agar ada dhammu dzimmah adh-dhâmin ilâ dzimmah al-madhmûn
‘anhu, harus ada hak finansial yang wajib atau nantinya wajib ditunaikan oleh
tertanggung. Jika kita telaah akad asuransi syariah, tampak bahwa dari sisi
jenis asuransinya tidak berbeda dengan asuransi konvensional. Yang berbeda
hanya prosedur dan mekanismenya saja. Di dalam akad asuransi syariah tampak
bahwa di dalamnya tidak terdapat hak finansial yang wajib atau nantinya wajib
ditunaikan oleh nasabah. Misalnya, asuransi jiwa syariah, jelas tidak ada hak
finansial yang wajib atau nantinya wajib ditunaikan oleh nasabah kepada pihak
yang mendapat pertanggungan (keluarganya atau pihak yang dia tunjuk). Begitu
juga dalam asuransi kerugian syariah seperti dalam asuransi kebakaran syariah.
Didalamnya tidak ada hak finansial yang wajib atau nantinya wajib ditunaikan
oleh nasabah sebagai tertanggung kepada pihak yang mendapat pertanggungan. Hal
yang sama dapat dilihat pada semua bentuk asuransi syariah yang ada.
Tidak adanya hak
finansial yang wajib atau nantinya wajib ditunaikan oleh nasabah sebagai
tertanggung (al-madhmûn ‘anhu) agaknya merupakan konsekuensi yang terlihat
sejak awal dirumuskannya asuransi syariah. Hal itu karena asuransi syariah
disodorkan sebagai alternatif untuk menghilangkan aspek-aspek bermasalah yang
ada pada asuransi konvensional. Sementara dari berbagai analisis yang ada,
hal-hal bermasalah dalam asuransi konvensional itu adalah gharar, jahalah,
riba, kezaliman, maysîr (gambling). Hal itu karena akad asuransi konvensional
dipandang sebagai akad tabâdulî. Padahal semestinya, akad asuransi konvensional
itu pertama-tama harus dipandang dan dianalisis sebagai akad adh-dhamân
(pertanggungan).
Karena tidak ada
hak finansial yang wajib atau nantinya wajib (haqq wâjib aw yuawwal ilâ
al-wâjib) ditunaikan oleh tertanggung (nasabah) kepada pihak yang mendapat
pertanggungan, itu artinya tidak ada tanggung jawab (dzimmah) bagi nasabah.
Karena itu tidak mungkin akan ada penggabungan dzimmah (tidak akan ada dhammu
dzimmah ilâ dzimmah). Padahal suatu akad adh-dhamân sehingga bisa dinilai
sebagai akad adh-dhamân yang sah secara syar’i harus ada penggabungan
tanggungjawab (harus ada dhammu dzimmah ilâ dzimmah).
Kedua, Jika
asuransi syariah itu menggunakan model tabarru’ murni atau model non saving,
artinya akad yang ada adalah akad tabarru’ yang diniatkan untuk saling
menanggung (takâfulî). Tabarru’ secara syar’i adalah hibah. Hibah adalah
pemindahan kepemilikan tanpa kompensasi apapun. Nah apakah hal itu benar-benar
terpenuhi? Bagaimanapun juga setiap nasabah ketika ikut serta menjadi peserta
asuransi, ia berharap akan mendapat uang pertanggungan ketika terjadi peristiwa
yang disebutkan di dalam kontrak. Disamping itu hibah tidak dibenarkan ditarik
kembali, apalagi dengan pengembalian yang lebih besar. Dari Ibn Abbas bahwa
Rasul saw pernah bersabda:
الْعَائِدُ فِي هِبَتِهِ كَالْكَلْبِ يَعُودُ فِي قَيْئِهِ
Orang yang
menarik hibahnya seperti anjing yang menjilati ludahnya (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, an-Nasai, Ibn
Majah dan Ahmad)
Pada sebagian
praktek asuransi syariah yang menggunakan model tabarru’ murni (non saving)
terdapat pengembalian dana kepada nasabah yang disebut pengembalian kelebihan
pengelolaan dana tabarru’ atau pengembalian surplus underwriting. Apakah yang
demikian tidak menyalahi ketentuan hibah tersebut?
Ketiga, adanya
dua transaksi dalam satu akad. Pada asuransi yang disertai saving, premi
nasabah dipisahkan menjadi dua, sebagian kecil dijadikan dana tabarru’, dan
sebagian besarnya dijadikan penyertaan modal dalam syarikah mudharabah dimana
perusahaan asuransi dikatakan sebagai pengelola dan nasabah sebagai pemilik
modal. Pertanyaannya adalah bisakah nasabah ikut salah satu saja, misalnya ikut
akad tabarru’ saja atau ikut akad mudharabah saja? Jika jawabannya tidak,
artinya nasabah harus ikut dua-duanya sekaligus dan kedua transaksi itu
diakadkan dalam satu akad sekaligus, maka jelas terjadi dua transaksi dalam
satu akad. Atau melangsungkan satu akad dengan mempersyaratkan akad lain. Dalam
hal ini Ibn Mas’ud menuturkan bahwa Nabi saw pernah bersabda:
« نَهَى رَسُولُ اللَّهِ عَنْ صَفْقَتَيْنِ فِي صَفْقَةٍ وَاحِدَةٍ
»
Rasulullah saw
melarang dua transaksi dalam satu akad
(HR. Ahmad, al-Bazar dan ath-Thabrani)
Makna shafqatayn fî shafqatin wâhidah adalah wujûd ‘aqdayn fî ‘aqdin wâhidin (adanya dua akad dalam satu akad). Disamping itu Rasulullah saw juga pernah bersabda:
Makna shafqatayn fî shafqatin wâhidah adalah wujûd ‘aqdayn fî ‘aqdin wâhidin (adanya dua akad dalam satu akad). Disamping itu Rasulullah saw juga pernah bersabda:
« لاَ يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلاَ شُرْطَانُ فِيْ بَيْعٍ، وَلاَ رِبْحٌ مَا لَمْ يُضْمَنْ، وَلاَ بَيْعٌ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
»
Tidak halal salaf
dan jual beli, tidak halal dua syarat dalam satu jual beli, tidak halal
keuntungan selama (barang) belum didalam tanggungan dan tidak halal menjual apa
yang bukan milikmu (HR. an-Nasa’i,
at-Tirmidzi dan ad-Daruquthni)
Menurut para
fukaha, larangan hadis ini diantaranya mencakup adanya bay’ wa syarth yaitu
salah satu pihak dalam akad bay’-nya mensyaratkan kepada pihak lain
akad/transaksi lain baik utang, sewa, kontrak kerja, bay’ lainnya, atau yang
lain. Dalam hadis tersebut Nabi saw menyatakan “la yahillu (tidak halal)”. Ini
adalah qarinah jazim yang menunjukkan bahwa apa yang dilarang itu adalah haram,
karena lafal “tidak halal” maknanya adalah haram. Dengan demikian akad yang di
dalamnya terjadi dua transaksi atau disyaratkan akad/transaksi lain, merupakan
akad/transaksi yang batil.
Keempat, tentang kedudukan perusahaan asuransi syariah. Di dalam asuransi syariah non saving murni, perusahaan asuransi berfungsi sebagai wakil para peserta takaful untuk mengelola takaful dan memenejnya termasuk memasarkannya. Untuk itu perusahaan berhak mendapat kompensasi berupa upah. Akad yang digunakan adalah wakalah bil ujrah. Dalam asuransi jenis ini, maka perusahaan berstatus sebagai wakil para peserta dengan mendapat fee. Perusahaan tidak berhak mendapat bagi hasil dari pengelolaan dana tabarru’. Sedangkan dalam asuransi yang disertai saving, maka selain akad wakalah bil ujrah, perusahaan juga melangsungkan akad mudharabah dengan peserta (nasabah) baik perusahaan ikut andil modal ataupun tidak.
Ketentuan syariah
tentang mudharabah, bahwa mudharabah merupakan syarikah antara modal dengan
badan. Artinya harus ada pihak pemilik modal dan pihak pengelola. Pihak
pengelola sendiri juga boleh ikut andil modal. Pihak pengelola merupakan pihak
yang mengelola kegiatan bisnis syarikah itu. Masalahnya di dalam asuransi,
benarkah perusahaan asuransi berfungsi dan menjalankan peran sebagai pengelola?
Benarkah perusahaan asuransi mengelola langsung dana/modal yang disetor nasabah?
Jawabannya adalah tidak. Hal itu karena perusahaan asuransi termasuk lembaga
keuangan non bank. Menurut UU, lembaga keuangan non bank hanya boleh menghimpun
dan tidak boleh menyalurkannya apalagi memutarnya sendiri dalam kegiatan usaha
riil. Jika tidak dikelola/diputar sendiri lalu dana/modal nasabah itu diapakan?
Jawabannya adalah disalurkan ke bank. Jika disalurkan ke bank konvensional,
jelas bahwa pendapatannya berasal dari riba. Tentu saja hal ini haram. Jika
disalurkan ke Bank syariah, ternyata bank syariah juga tidak mengelola/memutar
modal yang diterimanya dalam kegiatan usaha riil. Hal itu karena sesuai UU,
lembaga keuangan berupa bank hanya boleh menghimpun dan menyalurkan dana tetapi
tidak boleh melakukan kegiatan usaha riil.
Dengan demikian,
jika disalurkan ke bank syariah, dana itu akan disalurkan lagi oleh bank
syariah itu kepada pengusaha. Artinya, di sini perusahaan asuransi sebagai
pengelola syarikah mudharabah dana premi nasabah, tidak mengelola langsung dana
itu, tetapi justru menyalurkannya ke bank. Artinya perusahaan asuransi
bertindak sebagai pemilik modal dalam syarikah dengan bank. Selanjutnya bank
sebagai pengelola dana yang diterima dari perusahaan asuransi itu juga tidak
mengelola langsung dana itu, tetapi kembali menyalurkan kepada pengusaha dan
bertindak sebagai pemilik modal. Masalahnya terjadi di sini. Bolehkah secara
syar’i, pihak pengelola dalam syarikah mudharabah, tidak mengelola atau memutar
langsung modal syarikah itu, dan hanya menyalurkannya kepada pihak lain yang kemudian
mengelolanya? Secara syar’i apakah dibenarkan, pengelola syarikah mudharabah
itu lalu menyalurkan modal syarikah itu dan bertindak sebagai pemilik modal?
Jawabnya adalah tidak boleh. Karena pengelola
ikut serta dalam syarikah itu dengan badan, tenaga dan pikirannya. Karenanya
pengelola harus mengelola langsung usaha syarikah itu dengan badan, tenaga dan
pikirannya. Jika kemudian dana syarikah itu disalurkan dalam syarikah lainnya
kepada pengelola lainnya, maka pada saat itu pengelola itu tidak lagi bertindak
sebagai pengelola tetapi bertindak sebagai pemilik modal terhadap pengelola
lain itu. Jika perusahaan asuransi sebagai pengelola menyalurkan lagi dana
mudharabah itu kepada bank, maka pada saat itu bank lah yang bertindak sebagai
pengelola atas dana yang sama, sedangkan perusahaan asuransi bertindak sebagai
pemilik modal. Artinya yang bertindak sebagai pengelola langsung atas modal itu
adalah bank. Hak pengelolaan dana itu sepenuhnya menjadi wewenang pengelola
yaitu bank. Itu artinya perusahaan asuransi tersebut tidak lagi mengelola dana
mudharabah dari nasabah, padahal ia berstatus sebagai pengelola. Hal yang sama
terjadi lagi ketika bank menyalurkan kembali dana itu kepada pengusaha. Maka
yang mengelola dana itu secara langsung adalah pengusaha itu, bukan perusahaan
asuransi dan bukan pula bank. Padahal perusahaan asuransi dan bank berstatus
sebagai pengelola, namun faktanya tidak mengelola langsung modal syarikahnya.
Dengan demikian hal itu tidak memenuhi ketentuan syariah tentang syarikah.
Lalu jalan
keluarnya bagaimana? Jalan keluarnya, perusahaan asuransi bisa bertindak
sebagai perantara antara nasabah dan pengusaha. Sebagai perantara, perusahaan
asuransi bisa mendapat komisi. Atau perusahaan asuransi bisa juga bertindak
sebagai wakil dari nasabah dalam berhubungan dengan pengusaha. Perusahaan
asuransi dalam hal ini bisa menerima fee (upah).
Solusi Akhir
Masalah asuransi
ini muncul dalam konteks sistem kapitalisme dimana peran negara harus seminimal
mungkin. Masalah asuransi ini tidak akan marak dalam kerangka sistem islam. Hal
itu karena dalam sistem islam, negara berkewajiban menjamin terpenuhinya
kebutuhan pokok tiap-tiap individu rakyat, dan menjamin pemberian kemungkinan
kepada tiap orang untuk bisa memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai
kemampuannya. Kebutuhan pokok yang wajib dijamin pemenuhannya oleh nagara untuk
tiap individu rakyat itu adalah pangan, sandang dan tempat tinggal. Negara juga
wajib menjamin langsung pemenuhan kebutuhan akan kesehatan, pendidikan dan
keamanan. Dengan demikian tentu tidak akan diperlukan adanya asuransi
pendidikan dan kesehatan karena pemenuhan pendidikan dan pelayanan kesehatan
diberikan oleh negara secara gratis dan memadai kepada setiap individu rakyat.
Begitu pula dengan diterapkan sistem islam, peluang berusaha menjadi terbuka
bagi setiap orang. Dalam ketentuan islam, negara berkewajiban memelihara segala
urusan rakyat. Diantara pemeliharaan uruasan rakyat itu, negara memberi bantuan
yang diperlukan oleh rakyat dalam menjalankan usaha baik modal, sarana,
informasi atau lainnya. Jika hal demikian diterapkan, maka asuransi dengan
berbagai jenisnya tidak menjadi sesuatu yang penting di tengah-tengah
masyarakat.
Tambal sulam atau
modifikasi asuransi yang ada agar islami, tidak akan menyelesaikan permasalahan
yang ada secara tuntas. Jadi untuk mensolusi masalah asuransi secara tuntas
tidak lain adalah dengan menerapkan syariah islam dalam bingkai sistem islam
yaitu Khilafah Islamiyah.
Wallâh a’lam wa
ahkam.
0 Pendapat:
Posting Komentar