Harta
haram sudah seharusnya dijauhi. Artinya, kita tidak boleh mencari pekerjaan
dari usaha yang haram. Jika terlanjur memilikinya, harus dicuci atau
dibersihkan dari harta yang halal. Adapun pembagian harta haram secara mudahnya
dibagi menjadi harta haram karena zat -seperti daging babi- dan karena
pekerjaan -seperti harta riba dari bunga bank-.
Jangan makan harta haram, yaa...
Pembagian Harta Haram
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan, harta haram ada
dua macam: pertama, haram karena
sifat atau zatnya, kedua haram
karena pekerjaan atau usahanya atau cara mendapatkannya.
Harta
haram karena usaha seperti hasil kezhaliman, transaksi riba dan maysir (judi). Harta
haram karena sifat (zat) seperti bangkai, darah, daging babi, hewan yang
disembelih atas nama selain Allah.
Haram Karena Pekerjaan Itu Lebih Berat
Harta
haram karena usaha lebih keras pengharamannya dan kita diperintahkan untuk wara’
dalam menjauhinya. Oleh karenanya ulama salaf, mereka berusaha menghindarkan
diri dari makanan dan pakaian yang mengandung syubhat yang dihasilkan
dari pekerjaan yang kotor.
Adapun
harta jenis berikutnya (karena zatnya) diharamkan karena sifat yaitu khabits
(kotor). Untuk harta jenis ini, Allah telah membolehkan bagi kita makanan ahli
kitab padahal ada kemungkinan penyembelihan ahli kitab tidaklah syar’i atau
boleh jadi disembelih atas nama selain Allah. Jika ternyata terbukti bahwa
hewan yang disembelih dengan nama selain Allah, barulah terlarang hewan
tersebut menurut pendapat terkuat di antara pendapat para ulama yang ada. Telah
disebutkan dalam hadits yang shahih dari ‘Aisyah,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ
عَنْ قَوْمٍ يَأْتُونَ بِاللَّحْمِ وَلَا يُدْرَى أَسَمَّوْا عَلَيْهِ أَمْ لَا ؟
فَقَالَ : سَمُّوا أَنْتُمْ وَكُلُوا
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya mengenai suatu kaum yang diberi
daging namun tidak diketahui apakah hewan tersebut disebut nama Allah ketika
disembelih ataukah tidak. Beliau pun bersabda, “Sebutlah nama Allah (ucapkanlah
‘bismillah’) lalu makanlah.”[1] (Majmu’ Al Fatawa, 21: 56-57)
Pencucian Harta Haram
Guru
kami, Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri -semoga Allah memberkahi umur
beliau- menerangkan bahwa harta haram bisa dibagi menjadi tiga dan beliau
menerangkan bagaimana pencucian harta tersebut sebagai berikut.
Pertama, harta yang haram secara zatnya.
Contoh: khmr, babi, benda najis. Harta seperti ini tidak diterima sedekahnya
dan wajib mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya atau dimusnahkan.
Kedua, harta yang haram karena berkaitan
dengan hak orang lain. Contoh: HP curian, mobil curian. Sedekah harta semacam
ini tidak diterima dan harta tersebut wajib dikembalikan kepada pemilik
sebenarnya.
Ketiga, harta yang haram karena
pekerjaannya. Contoh: harta riba, harta dari hasil dagangan barang haram.
Sedekah dari harta jenis ketiga ini juga tidak diterima dan wajib membersihkan
harta haram semacam itu. Namun apakah pencucian harta seperti ini disebut
sedekah? Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Intinya, jika
dinamakan sedekah, tetap tidak diterima karena Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ
طُهُورٍ وَلاَ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ
“Tidaklah
diterima shalat
tanpa bersuci, tidak pula sedekah dari ghulul (harta haram)” (HR. Muslim
no. 224). Ghulul yang dimaksud di sini adalah harta yang
berkaitan dengan hak orang lain seperti harta curian. Sedekah tersebut juga
tidak diterima karena alasan dalil lainnya, “Tidaklah seseorang bersedekah
dengan sebutir kurma dari hasil kerjanya yang halal melainkan Allah akan
mengambil sedekah tersebut dengan tangan kanan-Nya lalu Dia membesarkannya sebagaimana
ia membesarkan anak kuda atau anak unta betinanya hingga sampai semisal gunung
atau lebih besar dari itu” (HR. Muslim no. 1014).
Lihat bahasan Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri dalam Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, hal. 92-93.
Lihat bahasan Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri dalam Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, hal. 92-93.
Kaidah dalam Harta Haram Secara Umum
Syaikh
Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah menerangkan:
- Harta haram karena zatnya seperti harta rampasan atau curian, maka haram untuk menerima dan membelinya.
- Harta haram secara umum seperti khamr (minuman keras), rokok atau semacam itu tidak boleh diterima dan tidak boleh dibeli. (Liqa’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 151)
Kaidah dalam Harta Haram Karena Usaha (Pekerjaan)
Kaedah
dalam memanfaatkan harta semacam ini -semisal harta riba- disampaikan oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin,
أن ما حُرِّم لكسبه فهو حرام على الكاسب فقط، دون مَن أخذه منه
بطريق مباح
.
“Sesuatu
yang diharamkan karena usahanya, maka ia haram bagi orang yang mengusahakannya
saja, bukan pada yang lainnya yang mengambil dengan jalan yang mubah (boleh)” (Liqa’
Al Bab Al Maftuh, kaset no. 2)
Contoh
dari kaedah di atas:
- Boleh menerima hadiah dari orang yang bermuamalah dengan riba. (Liqa’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 2)
- Boleh transaksi jual beli dengan orang yang bermuamalan dengan riba. (Liqa’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 2)
- Jika ada yang meninggal dunia dan penghasilannya dari riba, maka hartanya halal pada ahli warisnya. (Liqa’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 10)
Contoh-contoh
di atas dibolehkan karena harta haram dari usaha tersebut diperoleh dengan cara
yang halal yaitu melalui hadiah, jual beli dan pembagian waris.
اللَّهُمَّ اكْفِنِى بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِى
بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ
Allahummak-finii
bi halaalika ‘an haroomik, wa aghniniy bi fadhlika ‘amman siwaak. [Ya Allah, cukupkanlah aku dengan
yang halal dari-Mu dan jauhkanlah aku dari yang Engkau haramkan. Cukupkanlah
aku dengan karunia-Mu dan jauhkan dari bergantung pada selain-Mu]. (HR.
Tirmidzi no. 3563 dan Ahmad 1: 153. Kata Tirmidzi, hadits
ini hasan ghorib. Sebagaimana disebutkan oleh Al Albani dalam Silsilah
Ash Shahihah, 1: 474, hadits ini hasan secara sanad)
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
[1] HR.
Ibnu Majah no. 3174, shahih kata Syaikh Al Albani.
Disadur dari 'Muslim.Or.Id'
0 Pendapat:
Posting Komentar