Dalam beberapa hari ini,
tepatnya pada tanggal 1 s.d. 4 Maret 2009, Indonesia menjadi tuan rumah
World Islamic Economic Forum (WIEF) ke-5. WIEF biasanya dihadiri oleh
ratusan peserta dari berbagai negara untuk membahas ekonomi dan keuangan
Islam, dengan pendekatan ilmiah dan empiris-praktis. Pertemuan terakhir
digelar tahun lalu di Kuwait.
Forum kali ini memiliki arti yang sangat penting sekurang-kurangnya karena dua alasan. Pertama, karena ia diselenggarakan di tengah situasi ekonomi global yang semakin menunjukkan arah yang buruk. Dari forum ini diharapkan lahir tawaran-tawaran yang kongkret untuk membantu mengatasi situasi itu. Mungkin karena alasan inilah 5th WIEF ini mengambil tema, ''Food and Energy Security & Stemming the Tide of Global Financial Crisis.''
Forum kali ini memiliki arti yang sangat penting sekurang-kurangnya karena dua alasan. Pertama, karena ia diselenggarakan di tengah situasi ekonomi global yang semakin menunjukkan arah yang buruk. Dari forum ini diharapkan lahir tawaran-tawaran yang kongkret untuk membantu mengatasi situasi itu. Mungkin karena alasan inilah 5th WIEF ini mengambil tema, ''Food and Energy Security & Stemming the Tide of Global Financial Crisis.''
Kedua, karena kenyataan bahwa tingkat kesejahteraan dunia Muslim, jika kita ukur dengan tingkat kesejahteraan negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim, dengan ukuran Indeks Perkembangan Manusia (Human Development Index), saat ini tetap berada pada posisi yang sangat rendah, walaupun negara-negara Muslim Timur Tengah selama bertahun-tahun menikmati kemakmuran ekonomi akibat kekayaan alam yang melimpah, terutama minyak dan gas. Forum ini dapat dijadikan ajang untuk introspeksi tentang apa saja yang benar dan yang salah yang selama ini telah dilakukan oleh bangsa-bangsa Muslim itu.
Dengan tulisan ini, saya akan mengingatkan tentang tujuan dari syariah Islam yang tetap harus menjadi kerangka dasar sekaligus menjadi cita-cita utama dalam setiap kali kita berusaha mengembangkan ekonomi Islam. Dalam tulisan ini juga, saya akan mengungkapkan fakta-fakta penting tentang keadaan dan permasalahan yang berhubungan dengan kesejahteraan dunia Muslim, termasuk Indonesia, dan menawarkan solusi yang paling sesuai dengan tujuan dari syariah itu.
Tujuan Syariah
Imam Al-Syathibi (Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa Al-Syathibi, wafat 790 Hijriah), seorang pemikir Islam yang memelopori lahirnya ilmu maqaashid al-syarii'ah (tujuan-tujuan syariah) melalui karya monumentalnya, Al-Muwafaqaat, menjelaskan bahwa tujuan utama syariah Islam adalah meningkatkan kesejahteraan manusia. Syariah, menurut Al-Syathibi, adalah sesuatu yang berimplikasi pada kebaikan, seperti kejujuran, keadilan, keterbukaan, toleransi, dan kasih sayang, sebagaimana bahwa tujuan utama syariah itu ialah untuk menciptakan kesejahteraan manusia.
Jika kita menoleh ke Alquran, kita akan melihat betapa besarnya perhatian Tuhan pada kesejahteraan ini. Di dalam Alquran, sedikitnya ada 69 ayat yang secara khusus menyebut kemiskinan. Di samping itu, masih ada puluhan lagi ayat-ayat yang menyebut kata sejenis dengan kemiskinan, seperti kata faqir, fuqara, ba's, saa'il, qani', mu'tarr, dhaa'if, dan mustadh'afiin. Selain itu, sedikitnya ada 42 ayat tentang zakat yang korelasinya dengan kemiskinan juga amat erat. Jika dijumlah, kita akan menemukan lebih dari 150 ayat Alquran yang berkorelasi dengan kemiskinan.
Sekadar untuk perbandingan, yang terkait dengan riba, yang tentu saja juga merupakan prinsip penting di dalam ekonomi Islam, hanya ada 7 ayat. Besarnya perhatian Islam pada kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan manusia bisa juga dilihat dari banyaknya hadis Nabi Muhammad tentang hal itu. Di dalam salah satu hadis dikatakan bahwa kefakiran amat dekat pada kekafiran. Jadi, sejalan dengan tujuan diutusnya Muhammad SAW untuk menjadi 'tanda' bagi kasih sayang Tuhan bagi alam semesta (lihat Alquran surah Al Anbiyaa ayat 107), syariah yang dibawanya pun mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia.
Mengukur Kesejahteraan
Kamus Wikipedia menyatakan, sejahtera adalah kondisi atau keadaan yang baik di mana manusia dalam keadaan makmur, sehat, dan damai. Welfare (sejahtera) juga berarti well being (healthy, happy, and prosperous). Selama beberapa tahun setelah Perang Dunia II, pengukuran tingkat kesejahteraan manusia mengalami perubahan. Pada 1950-an, sejahtera diukur dari aspek fisik, seperti gizi, tinggi dan berat badan, harapan hidup, serta income. Pada 1980-an, ada perubahan di mana sejahtera diukur dari income, tenaga kerja, dan hak-hak sipil. Pada 1990-an, Mahbub Ul-Haq, sarjana keturunan Pakistan, merumuskan ukuran kesejahteraan dengan yang disebut Human Development Index (HDI). Dengan HDI, kesejahteraan tidak lagi ditekankan pada aspek kualitas ekonomi-material saja, tetapi juga pada aspek kualitas sosial suatu masyarakat.
HDI merupakan gabungan dari tiga komponen (subindeks), yaitu: 1. Life Expectancy Index (Indeks Harapan Hidup), 2. Education Index (Indeks Pendidikan) yang diukur dari Enrolment Index (indeks yang mencerminkan tingkat keterdaftaran penduduk di sekolah formal) dan Adult Literacy Index (indeks melek huruf di kalangan penduduk dewasa), dan 3. Per capita GDP at Purchasing Power Parity Index (Indeks Pendapatan Per kapita yang disesuaikan dengan paritas daya beli), yang dengan singkat disebut GDP Index. Ketiga sub indeks itu masing-masing mengambil porsi sepertiga di dalam menetapkan HDI.
HDI setiap tahun diukur dan dipublikasikan oleh United Nation Development Program (UNDP). Pada November 2008, UNDP memublikasikan ranking HDI tahun 2006 atas 179 negara. Dalam analisis ini, yang saya maksud dengan negara Muslim adalah negara dengan populasi Muslim 60 persen atau lebih dari total populasi penduduk negara itu. Dari 30 negara dengan HDI tertinggi diperoleh fakta-fakta terkait dengan dunia Muslim sebagai berikut:
Hanya ada dua negara Muslim, yaitu Brunei Darussalam (ranking 27) dan Kuwait (ranking 29), yang masuk di dalam jajaran 30 negara dengan HDI tertinggi. Dua negara tersebut memiliki HDI tinggi karena ditopang oleh GDP Index. Tanpa harus kita buktikan, tingginya GDP Index kedua negara tersebut adalah karena tingginya pendapatan dari kekayaan alam yang tidak terbarukan (minyak dan gas).
Sebaliknya, negara-negara Eropa dan Asia yang mendominasi urutan 30 negara dengan HDI tertinggi itu adalah umumnya negara-negara yang unggul di pengembangan teknologi (knowledge-based economy). Padahal, negara-negara tersebut tidak memiliki sumber daya alam yang dapat diunggulkan. Sekadar informasi tambahan, apabila kita susun 30 negara dengan Education Index tertinggi, kita tidak menemukan satu pun di antaranya yang merupakan negara Muslim.
Penduduk kedua negara Muslim itu hanya tidak lebih dari 2,77 juta jiwa, yaitu Brunei Darussalam 343.653 jiwa dan Kuwait 2.418.393 jiwa. Total penduduk kedua negara itu mewakili hanya 0,3 persen dari total penduduk negara di jajaran 30 negara dengan HDI tertinggi, yang jumlahnya mencapai kira-kira 913 juta jiwa, atau hanya 0,15 persen dari total Muslim dunia (appr. 1,5 miliar jiwa), dan 0,04 persen dari total penduduk dunia (appr. 6,3 miliar jiwa).
Sebagai negara dengan populasi yang sangat besar, ekonomi Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda dengan karakteristik negara-negara Muslim di Timur Tengah. Fokus peningkatan GDP per kapita dan pendidikan di Indonesia harus dilakukan dengan memberdayakan sektor-sektor yang memiliki banyak pelaku (the bottom of the pyramid, meminjam istilah Prahalad). Yaitu, sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), yang jumlahnya mencapai hampir 50 juta unit dan menyerap hampir 92 juta tenaga kerja. Dengan menempatkan UMKM dalam prioritas utama pembangunan ekonomi Indonesia, sesungguhnya kita juga sedang melaksanakan pesan Islam: Hendaknya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. [QS Al-Hasyr (59): 7].
Oleh: Yuslam Fauzi (praktisi perbankan syariah/Dirut Bank Syariah Mandiri)
0 Pendapat:
Posting Komentar