Sebelum
manusia menemukan uang sebagai alat tukar, ekonomi dilakukan dengan menggunakan
sistem barter, yaitu barang ditukar dengan barang atau barang dengan jasa.
Menurut Syah Wali Allah ad-Dahlawy, (ulama besar asal India yang hidup pada
abad 18 M), pada tahap primitif atau kehidupan rimba, manusia telah melakukan
pertukaran secarabarter dan melakukan kerja sama untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya.
Sistem
barter ini merupakan sistem pertama kali dikenal dalam sejarah perdagangan
dunia. Hal ini terjadi jauh sebelum abad VII M (sebelum masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam). Dalam
sejarah kuno, binatang ternak pernah menjadi medium pertukaran yang dominan.
Tetapi dalam hal ini timbul masalah (kendala), karena ternak adalah barang yang
tidak awet dan terlalu besar dijadikan sebagai alat tukar.
Menurut
Agustianto dalam buku Percikan Pemikiran Ekonomi Islam (2004) sistem barter
banyak menghadapi kendala dalam kegiatan perdagangan dan bisnis.
Kendala-kendala itu antara lain, pertama, sulit menemukan orang yang
diinginkan. Kedua, sulit untuk menentukan nilai barang yang akan ditukarkan
terhadp barang yang diinginkan. Ketiga, sulit menemukan orang yang mau
menukarkan barangnya dengan jasa yang dimiliki atau sebaliknya. Keempat, sulit
untuk menemukakan kebutuhan yang akan ditukarkan pada saat yang cepat sesuai
dengan keinginan. Artinya, untuk memperoleh barang yang diinginkan, memerlukan
waktu yang terkadang relatif lama.
Tanpa mata
uang sebagai standar harga dan alat tukar maka proses pemenuhan kebutuhan
manusia menjadi sulit. Dalam ekonomi barter, transaksi terjadi bila kedua belah
pihak mempunyai dua kebutuhan sekaligus, yakni pihak pertama membutuhkan barang
yang dimiliki pihak kedua dan begitu sebaliknya. Misalnya seseorang mempunyai
sejumlah gandum, dan membutuhkan onta yang tidak dimilikinya. Sementara orang
lain mempunyai onta dan membutuhkan gandum. Maka, terjadilah barter. Tetapi
dalam hal ini, berapa banyak gandum yang akan ditukarkan dengan seekor onta,
ukurannya belum jelas, harus ada standar.
Menurut
Thahir Abdul Muhsin Sulaiman dalam buku ‘Ilajul Musykilah Al-Iqtishadiyah bil
Islam, “Dalam mengukur harga barang-barang yang akan dipertukarkan, harus ada
standar (ukuran). Dalam kasus di atas, sulit menentukan berapa banyak gandum
untuk sesekor unta. Demikian pula, halnya kalau ada orang akan membeli rumah
dengan baju, atau budak dengan sepatu, atua tepung dengan keledai. Proses
transaksi barter seperti itu dirasakan amat sulit, karena tiadanya ukuran yang
jelas mengenai harga suatu barang. Bila ini terjadi terus, maka perekonomian
mandeg dan lamban.
Untuk
memudahkan kondisi itu, maka Allah Subhanahu
wa Ta’ala menciptakan dinar dan dirham sebagai hakim dan ukuran harga suatu
barang. Misalnya, seekor unta sama dengan seratus dinar, sesekor kambing 20
dinar, segantang gandum 1 dirham, dsb.
Agustianto
menuturkan, untuk mengatasi berbagai kendala dalam transaski barter, manusia
selanjutnya menggunakan alat yang lebih efektif dan efisien. Alat tukar
tersebut ialah uang yang pada awalnya terdiri dari emas (dinar), perak
(dirham). Dengan demikian komoditas berharga seperti ternak, diganti dengan
logam, seperti emas atau perak. Logam mulia ini mempunyai kelebihan, pertama,
logam adalah barang yang awet. Kedua, ia bisa dipecah menjadi satuaan-satuan
yang lebih kecil. Ketiga, uang logam emas(dinar) dan perak (dirham) senantiasa
sesuai dengan antara nilai intrinsiknya dengan nilai nominalnya. Sehingga
ekonomi lebih stabil dan inflasi bisa terkendali. Hal ini sangat berbeda dengan
uang kertas yang nilai nominalnya tak seimbang dengan nilai intrinsiknya (nilai
materialnya). Sistem ini rawan goncangan krisis dan rawan inflasi (Buku
Percikan Pemikiran Ekonomi Islam, 2004)
Imam
al-Ghazali mengatakan , bahwa dalam ekonomi barter sekalipun, uang dibutuhkan
sebagai ukuran nilai atau barang. Misalnya unta nilainya 100 dinar dan satu
gantang gandum harganya sekian dirham. Dengan adanya uang sebagai ukuran nilai,
maka uang berfungsi pula sebagai media pertukaran (medium of exchange). Namun,
harus dicatat, bahwa dalam ekonomi Islam, uang tidak dibutuhkan untuk uang itu
sendiri. Uang diciptakan untuk melancarkan pertukaran dan menetapkan nilai yang
wajar dari pertukaran barang atau jasa.
Dalam
menjelaskan sejarah munculnya uang (alat tukar), Syah Wali Allah ad-Dahlawy
mengemukakan teori wisdom (kebijaksanaan). Menurutnya, salah satu kebijaksanaan
(wisdom) yang dimiliki manusia, adalah kebijaksanaan mengenai jual beli timbal
balik, (pembeli dan penjualan), memberi hadiah-hadiah, sewa-menyewa, memberi
pinjaman, hutang dan hipotik. Dengan kebijaksaaan inilah manusia menyadari
bahwa pertukaran barang dengan barang (barter) tidak dapat memenuhi
kebutuhannya seketika secara baik karena barter memerlukan syarat “kecocokan
kedua belah pihak pada saat yang bersamaan” (double coincidence of wants). Oleh
karena itu kemudian diperlukan “sesuatu” yang dapat diterima secara umun
sebagai media petukaran (medium of exchange) yang sekarang disebut uang.
Sesuatu
scbagai medium of exchange ini berkembang dalam berbagai bentuk (Goldfeld
(1990, hal 10) mulai dari tanah hat, kulit, garam, gigi ikan, logam, sampai
berbagai bentuk surat hutang (termasuk uang kertas). Sesuatu yang disebut uang
itu harus dapat diterima masyarakat umum yang menurut lbn Miskawaih (1030M)
harus memenuhi syarat-syarat : (1) tahan lama (durability), (2) mudah
(convenience) dibawa, (3) tidak dapat dikorup ; (incorruptibility), (4)
dikehendaki (desirability), (4) dikehendaki (desirability) semua orang, dan (5)
orang senang melihatnya.
Berdasarkan
rumusan Ibnu Miskawaih tersebut, maka dari berbagai bentuk “uang” yang
disebutkan di atas hanya emas dan peraklah yang memenuhi kelima syarat uang
yang dirumuskannya.
Dari paparan di atas dapat diketahui bahwa, di masa awal Islam, mata uang yang digunakan adalah dinar dan dirham. Fakta sejarah telah membuktikan hal ini. Di salah satu museum di Paris, dijumpai koleksi empat mata uang peninggalan Khilafah Islam. Salah satu diantaranya sampai saat ini, dianggap satu-satunya di dunia sebagai peniggalan sejarah mata uang. Mata uang itu dicetak pada masa pemerintahan Ali Ra. Sementara tiga lainnya adalah mata uang perak yang dicetak di Damaskus dan Merv sekitar tahun 60-70 Hijriyah..
Bersambung, Insya, Allah...
Referensi: dakwatuna.com
0 Pendapat:
Posting Komentar