Dengan suara menahan sakit, seorang karyawan menelpon dan melapor kepada atasannya,” pak maaf hari ini saya terlambat masuk kantor. Saya jatuh terserempet bus.”
Tanpa sadar si atasan bertanya,” bagaimana keadaan motornya? Ada yang rusak?”
Sambil menahan sakit dan geram, karyawan itu menjawab,”Tidak!” dan telepon ditutup. Pembicaraan usai, hubungan kerja, dan silaturahmi antara atasan dan karyawan pun tamat.
Dalam episode lain, seorang jenderal dan ribuan anak buahnya sedang lari menyelamatkan diri adari kejaran musuh. Sudah hampir seminggu terus berlari dan berlari. Ransum pun habis, pakaian compang camping dan hanya tersisa yang menempel di badan. Sementara udara dingin malam menusuk samapi ke tulang sumsum. Seorang prajurit muda menggigil kedinginana. Mulutnya terkatup, muka kebiruan, gigi saling beradu. Gemeretak. Tanpa berpikir panjang, sang jenderal mencopot mantel lusuhnya dan mengenakannya pada prajurit itu. Sekilas sorot mata sang prajurit menyiratkan rasa haru. Demikian pula mata teman – temannya.
Waktu berlalu, sang karyawan telah menjadi orang kaya, hidup berkecukupan, dan rejeki yang melimpah ruah. Tangannya terbuka menolong siapapun yang membutuhkan.
Suatu sore, kawan lama datang, “mantan boss kita meninggal dunia. Besok dikuburkan. Bagaimana kalau malam nanti kita ke rumah duka?”
“kamu saja yang pergi. Aku malas pergi.”
Sang kawan terdiam dan tak melanjutkan ajakannya. Dia sadar, sakit hati sang teman belum tersembuhkan. Luka kecil di masa lalu rupanya telah membekas. Ah betapa tajamnya guratan kata – kata, pikirnya. Sahabatnya yang baikhati dan suka menolong pun tak bisa melupakan rasa sakitnya.
Hanya karna sang atasan salah ucap, karyawannya masih tersakiti. Pada dasarnya atasannya baik. Namun ia kurang bisa mengemas katta-kata. Akibatnya ia sering terlihat kurang ramah, kurang perhatian dan terlihat kaku. Saat itu sang teman melapor datang terlambat karena terseremet bus. Namun, sang atasan tidak menanyakan bagaimana kondisi temannya, tapi menanyakan kondisi motornya. Salah ucap ini terlihat kecil tapi dampaknya sangat besar. Temannya keluar dari kantor dan kedongkolan masih tersimpan bertahun – tahun lamanya, mengkristal dan tak terhapuskan.
Sebagai teman dia mengingatkan bahwa atasannya tak sejahat itu. Apa yang ditanyakan atasannya hanyalah reaksi spontan belaka. Karena didengarnya sang aryawan masih bisa menelpon, dianggapnya tidak ada masalah yang berarti. Makanya ditanyakan sesuatuyang belum dilaporkan yaitu kondisi motor. Sayangnya, penjelasan itu tidak berarti apa-apa. Sang teman sudah merasa sakit, harga dirinya dianggap lebih murah dibandingkan harga sebuah motor.
Ya, kepemipinan adalah soal mengelola hati manusia. Kalau hatinya sudah kena, hal-hal lainnya akan terasa lebih mudah. Kisah seorang jenderal yang memberikan mantelnya ternyata menyisakan kisah yang heroik. Sang prajurit merasa berutang budi kepada jenderal itu. Suatu ketika, jenderal berada dalam bahaya. Dia ditembaki oleh musuhnya. Semua anak buahnya setia membela. Bahkan si penerima mantel tersebut memasang badang melindungi jendral itu dari peluru maut. Si prajurit tewas membela jendral, hanya demi membayar kehangatan yang didapatnya dari sebuah mantel lusuh. Sebuah mantel lusuh yang dibayar mahal dengan nyawa.
Ah, mulutmu harimaumu. Ucapan lebih tajam dari pedang pusaka. Luka oleh pedang dapat disembuhkan,meski meninggalkan bekas. Luka karena ucapan yang menyakitkan tidak meninggalkan bekas yang kasat mata tapi sulit disembuhkan. Menjadi kawan tidaklah mudah. Menjadi sahabat tentu jauh lebih sulit. Menjadi pemimpin sejati sangat luar biasa sulit.
0 Pendapat:
Posting Komentar