Oleh: Ahmad Ifham Sholihin, Pemerhati Ekonomi dan Sosial
Konsep Bank Syariah adalah menjalankan sistem perbankan sesuai dengan ketentuan syariah (hukum Islam). Cita-cita luhur yang diusung oleh bank syariah adalah mewujudkan kemaslahatan nasabah, menjadikan sistem perbankan yang adil, menenteramkan dan menguntungkan.
Sama halnya dengan bank konvensional, bank syariah juga memiliki produk pendanaan, pembiayaan (kredit), jasa, dan lain-lain. Namun, bank syariah dijalankan dengan konsep nirbunga.
Operasional perbankan syariah dijalankan untuk meniadakan sistem bunga dengan menggunakan akad-akad bisnis yang sesuai dengan ketentuan syariah Islam. Misalnya akad jual beli, bagi hasil, sewa menyewa, dan lain-lain.
Ada 3 cara bank syariah dalam memodifikasi produk perbankan, yaitu menyariahkan produk yang bisa disesuaikan dengan syariah, menghilangkan produk yang tidak bisa disyariahkan, dan membuat produk baru.
Tumbuh kembang perbankan syariah ini juga mendapat dukungan signifikan dari regulator seperti adanya Fatwa MUI tentang haramnya bunga bank, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Bank Indonesia serta berbagai regulasi lain yang mempermudah tumbuh kembang bisnis ini.
Namun, tetap saja bank syariah belum menjadi pilihan utama masyarakat untuk melakukan transaksi perbankan. Bank konvensional masih tetap menjadi pilihan utama masyarakat dengan berhasil menambah aset sebesar Rp.1.213 triliun hanya dalam waktu 5 tahun terakhir sehigga total aset bank konvensional saat ini adalah Rp.2.683 triliun (BI: Juli 2010).
Bandingkan dengan bank syariah yang hanya berhasil menambah aset sebesar Rp.58 triliun dalam waktu 5 tahun terakhir sehingga total aset bank syariah saat ini adalah Rp.78 triliun (BI: Juli 2010).
Kendala
Tumbuh kembang perbankan syariah dalam 2 dekade terakhir ini, tak bisa lepas dari pengaruh faktor psikologis, sosial, ekonomi dan kultural masyarakat yang ratusan tahun terlanjur menggunakan sistem perbankan konvensional yang berbasis bunga.
Meskipun mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, namun masyarakat terlanjur memaklumi eksistensi sistem perbankan berbasis bunga, bahkan sampai saat ini pun pemerintah melegalkan dan mendukung penuh sistem ini. Pemuka agama pun seakan merestui sistem ini berkembang pesat sampai sekarang.
Sementara itu, praktek bank syariah juga tetap harus melibatkan diri dengan hegemoni sistem keuangan global berbasis bunga tersebut. Penentuan margin keuntungan dalam akad jual beli, margin bagi hasil, margin sewa, dan fee based income bank syariah terpaksa harus melirik BI Rate.
Padahal masyarakat sebenarnya berharap agar bank syariah sama sekali beda dan memiliki nilai lebih dibanding bank konvensional baik dari segi akad, substansi maupun dampak yang dirasakan. Apalagi perbankan syariah sendiri juga menjanjikan adanya kemurnian nilai syariah dalam praktek operasionalnya.
Istilah bahasa Arab yang digunakan juga semakin menunjukkan bahwa perbankan syariah masih eksklusif. Faktor SDM, IT, manajemen serta insfrastruktur bank syariah yang kurang handal juga menjadi salah satu penyebab kurang diminatinya bank syariah.
Kondisi Ideal
Sebenarnya, perbankan syariah bisa menjadi seperti yang diharapkan masyarakat jika bank syariah bisa terlepas dari sistem fiat money (uang kertas dengan segala dampaknya) maupun interest system (sistem bunga). Fiat money bisa diganti dengan konsep ekonomi dan keuangan berbasis dinar/dirham, yaitu mata uang emas/perak yang memiliki nilai instrinsik sama dengan nominalnya, bersifat stabil, dengan nilai inflasi hampir selalau 0%.
Konsep dinar/dirham bisa meniadakan adanya faktor interest system, bisa terhindar dari time value of money, karena nilai uang tidak lagi tergantung oleh pergerakan waktu. Contoh sederhana jika nasabah membeli barang dari bank dengan harga 100 dinar, maka dia akan tetap membayar 100 dinar meskipun dibayar tunai atau secara angsuran dalam jangka waktu tertentu.
Untuk skema akad berbasis bagi hasil, sewa, atau fee based income, tentu akan menyesuaikan dengan seberapa besar bagi hasil yang diperoleh, seberapa besar margin sewa dari barang/jasa disewakan, atau fee atas jasa perbankan yang diberikan.
Lebih jauh lagi, transaksi online yang bernilai triliunan rupiah (misalnya) akan bisa dilakukan dengan tetap mencadangkan emas senilai transaksi tersebut. Kondisi ini menyebabkan seluruh transaksi bernilai riil sehingga bisa terhindar dari segala bentuk ketidakjelasan bertransaksi (gharar), dan manajemen risiko lebih terkontrol.
Bank syariah akan lebih berfungsi sebagai baytul mal yang akan mendistribusikan harta secara proporsional, namun tetap menjalankan fungsi profit maupun non profit. Nasabah tidak mampu akan diberikan prioritas yang lebih dibanding nasabah yang kaya raya.
Bank syariah juga akan mengumpulkan dana Zakat, Infak, Sedekah, dan Wakaf (ZISWAF) dari masyarakat yang mampu. Dana inilah yang akan digunakan bank syariah untuk memberikan pinjaman (qardh) kepada kaum dhuafa.
Konsep ini akan menyebabkan fungsi perbankan syariah lebih didominasi oleh investasi dan pembiayaan bersifat produktif, serta modal usaha di sektor riil. Sektor konsumsi diprioritaskan untuk melayani masyarakat tidak mampu.
Sudah saatnya pula bank syariah harus mulai memopulerkan penggunaan istilah-istilah bahasa Indonesia sehingga terasa ringan didengar, mengena, dan tidak terkesan eksklusif. SDM, IT, Infrastruktur, dan manajemen bank syariah harus dibenahi agar mampu bersaing dengan hegemoni perbankan konvensional yang sudah terlanjur matang.
Kondisi ideal tersebut bisa terwujud dengan syarat para praktisi, akademisi, dan penggiat bank syariah harus jujur bahwa praktek yang saat ini dijalankan adalah masih dalam kondisi darurat yang masih jauh dari ideal meskipun inilah praktek terbaik perbankan syariah yang bisa dilakukan untuk saat ini.
Kejujuran ini akan memicu kesungguhan berbagai elemen untuk mewujudkan sistem perbankan syariah seperti yang dicita-citakan. Sebuah kejujuran yang tentu harus didukung dengan keseriusan berbagai elemen untuk menyelesaikan tahap demi tahap menuju sistem perbankan syariah berbasis dinar/dirham.
Sumber: milis FoSSEI
0 Pendapat:
Posting Komentar