Diambil dari sebuah buku Bertambah Bijak Setiap Hari 8 x 3 = 23! Karangan Budi S. Tanuwibowo dengan sedikit penyesuaian
Pada sebuah kerajaan ada hubungan yang sangat erat antara murid dan guru. Pada suatu hari, Si Murid bertanya kepada Gurunya tentang bagaimana seseorang harus bersikap di dalam hidup. Sang Guru tidak menjawab dengan kata-kata belaka. Beliau mengajak Si Murid masuk ke dapur. Ketika Si Murid bingung menunggu, Gurunya sudah asyik menyiapkan perapian dan mulai memasak air. Kala air mulai mendidih, Sang Guru keluar rumah dan kemudian masuk kembali sambil membawa sebongkah batu. Kemudian batu itu dimasukkannya ke dalam air yang mulai mendidih. Sang guru merebus batu!
Dalam hati Si Murid bertanya-tanya tentang keanehan Sang Guru. Namun ia belum berani bertanya dan diam menunggu. Selang beberapa waktu, Sang Guru mengeluarkan batu tersebut dan menaruhnya di atas meja. Tiba-tiba Sang Guru berkata,”Kamu jangan seperti batu!” Si Murid menganga, “Batu ini begitu keras, direbus di dalam air panas mendidih pun tak berkurang kerasnya. Orang yang seperti batu, sangat kaku, merasa paling benar, merasa jagoan, dan tidak bisa berubah. Padahal kehidupan selalu berubah. Di atas pohon tinggi masih ada awan. Di atas awan masih ada langit. Bagaimana mungkin kita, manusia biasa, boleh merasa dirinya paling sempurna?”
Si murid tersadar. Sang Guru sedang memberikan pelajaran lewat contoh sederhana. Inilah yang membuat gurunya sangat dikagumi oleh murid-muridnya. Pelajaran yang begitu rumit dan dalam sekali pun bisa diuraikan dengan sederhana. Setelah merenung sejenak Si Murid bertanya, “Guru, saya harus bersikap bagaimana?”
Seperti tadi, kali ini Sang Guru pun tidak menjawab. Ditambahkannya kayu ke dalam perapian dan sekali lagi beliau beranjak ke luar rumah. Tak lama kemudian ia membawa sebongkah salju yang mengeras. Tanpa berkata-kata bongkahan salju itu dimasukkannya ke dalam air yang bergolak panas. Dalam hitungan detik, salju pun meleleh. Hilang dari pandangan, luluh menjadi air. Lalu sang guru berkata,”Kamu jangan seperti bongkahan salju. Kelihatannya keras, berkarakter, punya prinsip dan teguh pendirian, namun baru diuji sebentar saja semuanya lenyap tak berbekas. Suka mengecam orang lain yang tidak jujur, berlaku sok suci, namun ketika dihadapkan pada kehidupan nyata, semua idealismenya hancur tak berbekas dan akhirnya ikutan korup.”
Si Murid pun tersadar. Dia kini sudah dihadapkan dua ekstrim: keras kepala vs tak berpendirian. Punya prinsip kaku vs fleksibel banget. Terlalu kiri tidak baik. Terlalu kanan juga tidak baik. Terlalu cepat tidak tepat. Terlalu lambat juga tidak tepat. Terlalu maju, perlu direm. Terlalu lambat, perlu didorong. Yang terbaik adalah tengah. J
Si Murid pun tidak sepenuhnya bisa mengerti. Sang Guru pun bangkit lagi dari tempat duduknya dan segera beranjak. Tidak ke depan, melainkan ke belakang. Tak lama kemudian Sang Guru membawa 2 butir telur ayam di tangannya. Telur yang pertama kemudian dipecahkannya di depan muridnya. Segera si murid melihat cairan telur yang pecah meleleh membasahi meja. Cair namun kental. Telur kedua kemudian dimasukkan ke dalam air yang mendidih.
Setelah cukup lama, tiba-tiba sang guru mengeluarkan telur tersebut dan mengupasnya. Segera tercium harum aroma telur rebus dan terlihat putih ranumnya telur matang. Telur yang semula cair dan kental ketika masih mentah, sudah menjadi lebih keras setelah matang. Lalu Sang Guru pun berkata,”Kamu jangan menjadi telur rebus. Baru belajar sedikit, sudah merasa mampu menguasai semua. Baru paham secuil ilmu, merasa sudah memonopili kebenaran, sombong, ekstrim, dan takabur.”
Cukup lama Si Murid merenung. Betapa sulit mencari seorang pembelajar sejati, yang tekun belajar tanpaa lelah, mampu menerapkan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari dengan baik dan tetap rendah hati. Tidak sombong.
Tanpa menunggu pertanyaan Si Murid, Sang Guru kembali bergegas ke belakang. Diambilnya sebuah wortel dari kebun. Seperti sebelumnya, wortel itupun dimasukkannya ke dalam air mendidih. Selang beberapa waktu, wortel itu diangkatnya dari air rebusan. Saat itu juga Sang Guru berkata, “Muridku, kamu juga tak boleh seperti wortel rebus.”
Sejenak Si Murid tercenung. Dipegangnya wortel rebus itu sambil dipencet-pencet. Wortel yang semula keras, kini telah menjadi lunak. Namun ia tetap bisa dikenali sebagai wortel. Mengapa gurunya mengatakan seperti itu? Bukankah wortel melambangkan fleksibelitas, keluwesan, namun sekaligus kekukuhan untuk mempertahankan prinsip, sehingga tetap tidak kehilangan jati diri? Mulut Si Murid ingin mengatakan banyak kata – kata, berjuta argumen, namun entah mengapa seakan terkunci.
Sang Guru tersenyum,”Muridku, wortel memang luwes, fleksibel, mampu beradaptasi menyesuaikan diri. Hebatnya lagi ia tidak kehilangan jati dirinya. Lambang seseorang yang teguh pendirian dan memegang prinsip, namun tidak kaku. Bagus. Tapi, cobalah kamu lihat air ini. Air ini tetap tidak berubah. Tidak ada nilai tambah. Apa artinya? Pengorbanan wortel menjadi sia-sia. Tidak mengubah apa-apa.”
Si Murid mulai mengerti apa makna yang dimaksudkan oleh Sang Guru melalui contoh tadi. Seketika ia pun menyadari bahwa Sang Guru telah merebus air kembali dan menaruh sebongkah gula batu ke dalam air mendidih.
Tak lama berselang Sang Guru berkata,” Jadilah kamu gula batu, muridku. Tubuhnya memang hancur seperti sebongkah salju, tapi bukan karena tidak memiliki prinsip. Kelihatannya ia kalah, tapi sebenarnya dialah pemenang, yang menguasai,yang membuat air menjadi manis. Biarkan orang menyangka diri mereka menang, namun sesungguhnya telah dikalahkan dengan cerdik dan halus. Bila kamu meresapi dan menghayati makna filosofi gula batu ini, kamu akan bisa menerapkannya di bidang apa pun sepanjang hidupmu. Itulah jawaban atas pertanyaanmu semula, bagaimana sikap terbaik dalam kehidupan. :)