Indonesia sudah lama dikenal sebagai negara agrais, sektor stratergis yaitu dibidang
pertanian. Menurut Soekarwi (1996) bidang pertanian dikatakan stategis karena bidang
pertanian merupakan mata pencaharian sebagian besar penduduk Indonesia, adanya
sumbangan dalam PDB, salah satu pemasukan di sektor eksport (devisa), sebagai sumber
bahan baku industri serta sumber bahan pangan.
Pada dasarnnya sektor ini sangat penting bagi masyarakat namun dalam pengembangannya
bidang pertanian menemukan berbagai kendala seperti masalah permodalan. Hamid (1986)
berpendapat bahwa sektor pertanian merupakan sektor essensial karena dapat meningkatkan
produksi dan pendapatan masyarakat, keterbaasan modal dapat menghambat keberjalan
sektor ini. Disisi lain, kebutuhan modal semakin dibutuhkan dengan adanya pola
perkembangan di bidang pertanian.
Pembiayaan di bidang pertanian mempunya risiko yang besar sehingga lembaga pembiayaan
tidak tertarik untuk mengivestasikan uangya di bidang pertaian. Menurut sebuah fakta,
pembiayaan di sektor pertanian ini hanya 3% dari total penyaluran kredit perbankan.
Lembaga keuangan lebih senang menginvestasikan uang mereka pada sektor industri,
perdagangan, hotel dan perhubungan. Adanya pembiayaan di sektor pertanian biasanya
mensyaratkan beberapa hal. Diantaranya : 1) Bunga pinjaman yang relative tinggi; 2) Sangat
selektif, yaitu hanya membiayai komoditas penting (high value); 3) chanelling, pembiayaan
pada program pemerintah.
Ada tiga sifat yang melekat pada skim kredit pertaian: Pertama, kredit selalu berasis bunga
tetap, skim kredit bagaimanapun bentukya menjadikan bunga sebagai harga tetap dari jumlah
pinjaman dan mempunyai jatuh tempo. Sedangkan sektor pertanian mempunyai risiko dan
fluktuasi harga yang cukup besar. Hal ini dapat meyebabkan petani sebagai salah satu pelaku
sektor pertanian tidak dapat melunasi pinjaman dan menyebabkan kredit macet.
Kedua, adanya kesenjangan usaha antara debitur dan kreditur. Debitur bergerak di sektor rill
sedangkan kreditur murni dibidang moneter, keduanya bergerak secara parsial. Dalam hal ini
pihak kreditur tidak perlu khawatir sebab apapun yang terjadi akan tetap mendapatkan
pemasukan. Namun, pihak debitur selalu dibayangi risiko kegagalan.
Oleh karena itu diperlukan pembiayaan alternative agar tercipta kredit sehat di sektor rill.
Salah satu pembiayaan alterbative yang sedang marak dilakukan yaitu pembiayaan syariah.
Pembiayaan syariah ini tidak akan memberatkan petani sebagai pelaku di sektor riil sebab
pembiayaan ini menggunakan sistem bagi hasil. Sistem ini akan sedikit menguntungkan
sektor riil yang mempunyai risiko cukup tinggi.
Dalam perkembangan di bidang pertanian, pembiayaan syariah megelompokan pembiayaan
menjadi beberapa kategori. Kategori pertama yaitu mudharabah. Mudharabah (trust
fiacig/trust ivesmet) merupakan akad kerjasama antara dua pihak, dimana pihak pertama
sebagai peyedia modal (100%) dan pihak lainnya sebagai pegelola modal. Keuntungan yang
diperoleh dalam kerjasama tersebut dibagi berdasarkan keseakatan dalam betuk perjajian.
Risiko kerugian ditaggung sepenuhya oleh pemilik modal, kecuali kerugian akibat
peyelewengan oleh pegelola modal.
Implemetasi mudharaah yaitu dapat dilakukan kemitraan usaha. Pola kemitraan yang dapat
dilakukan misalnya contract farming yang telah dikembanngkan dalam perusahaan inti rakyat
(pir) serta kerjasama operasioal agribisnis.
Kedua yaitu musyarakah (partnership/project financing participation) merupakan kerjasama
perkongsian dua pihak atau lebih untuk melakukan kegiatan usaha. Masing-masing pihak
mempunyai kotribusi tertentu dengan kesepakatan keuntungan dan risiko ditanggung bersama
sesuai kesepakatan. Menurut karim (2001) secara garis besar musyarakah terdiri atas empat
jenis yaitu : syarikat keuagan (amwal), syarikat operasioal (a’mal), syarikat good will (wujuh)
da syartikat mudharaah.
Katiga yaitu muzara’ah. Skim muzara’ah (harvest-yield profit sharing) adalah khusus
diterapkan di bidang pertanian. Muzara’ah merupakan kerjasama pegelolaan pertaian antara
pemilik lahan dan penggarap lahan. Kerjasama ini diawali dengan pemilik lahan yang
meyerahkan lahannya untuk dikelola si pengagarap dengan imbalan dari persetase hasil
panen. besarya persetase sudah di tetapkan diawal perjajian. Dalam muzara’ah ini benih
berasal dari pemilik lahan, apabila benih berasal dari penggarap lahan disebut mukhaarah
(Antonio,2001)
Bai’ al murabahah (differet paymet sale) adalah jual beli barang pada harga asal dengan
tambahan keuntugan yag telah disepakati. Lembaga pembiayaan akan membelikan suatu
barang yang dibutuhkan oleh nasabah, kemudian nasabah akan menerima dan membayarnya
sesuai kemampuan (berdasarkan kesepakatan) produk yang lazimya dipesan yaitu pembelian
peralatan pertanian seperti pembelian had tractor,pompa air,power therher,rice milling dsb.
Bai’ as-salam (Infront payment sale) merupkaan jual beli dengan ketetuan si pembeli
membayar saat ini sedangkan barang akan diterimaya dimasa yang akan datang. Pada Bai’
as-salam ini kuantitas, kualitas dan waktu pembayaran yang diminta harus jelas. Dalam
pembiayaan syariah misalnya perbankan memberikan pinjaman kepada nasabah untuk
membeli gabah petai dengan harga yang layak. Sistem ini sudah dilakukan oleh bulog.
Dengan adanya pola perkembanga pembiayaan oleh lembaga keuanga syariah ini diharapkan
memperbaiki pendapatan masyarakat dan adanya perkembangan pada idag pertaia segai salah
satu sektor riil yang menjadi ciri Negara Indonesia.
Laeli Suryani
Vice Manager Research And Development KEI FEB UNS 2015